bontangpost.id – Kasus pembunuhan sepasang kekasih Vina dan Rizky (Eky) di Cirebon, Jawa Barat, pada Agustus 2016 kembali jadi sorotan publik. Setelah film yang mengangkat kisah itu ramai ditonton, berbagai fakta-fakta baru terkait kasus pembunuhan Vina bermunculan.
Hingga kini, ada delapan orang yang telah diadili dan dijatuhi vonis hukuman. Polisi awalnya menyebut total ada 11 orang pelaku yang terlibat pembunuhan Vina dan Eky, sehingga masih ada tiga orang yang buron selama delapan tahun.
Polda Jawa Barat bahkan merilis tiga orang itu dalam daftar pencarian orang (DPO). Baru-baru ini, polisi menangkap seorang bernama Pegi Setiawan alias Perong alias Robi Irawan. Ia diyakini jadi salah satu pelaku utama dalam pembunuhan Vina.
Namun, setelah penangkapan Pegi, polisi meralat bahwa total pelaku hanya sembilan. Maka, semua pelaku pembunuhan telah ditangkap.
Dua DPO yang digugurkan yakni Andi dan Dani. Polisi menjelaskan pencabutan status DPO terhadap dua orang itu karena ternyata para terpidana hanya asal sebut.
Pengamat Kepolisian dari ISSES Bambang Rukminto menilai polisi belum bekerja secara profesional. Menurutnya, saat ini penyelidikan polisi dalam kasus pembunuhan Vina terasa janggal.
Ia mengatakan seharusnya polisi bekerja secara objektif dan ilmiah sehingga tak gegabah ketika menetapkan para DPO terduga pelaku.
“Kalau polisi bekerja secara profesional tentu bekerja dengan objektif, ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan, tak bisa dipengaruhi subjektivitas personal penyidik atau pihak-pihak lain, maupun desakan masyarakat,” kata Bambang.
Bambang menduga ada kesalahan prosedur dan lemahnya alat bukti ketika polisi menetapkan tiga DPO pembunuh Vina.
Ia berpendapat mestinya polisi sudah bisa menangkap tiga DPO itu sejak delapan tahun lalu jika tak salah prosedur. Ia menegaskan kepolisian modern tak bisa mengandalkan kesaksian sebagai alat bukti, tapi juga hal lain yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Kepolisian tak punya alat bukti lain selain kesaksian [delapan pelaku lain] itu untuk mentersangkakan tiga DPO itu. Ini dua orang malah dianulir dari DPO. Ini konfirmasi bahwa selama ini proses dilakukan oleh kepolisian ini bisa jadi menyalahi prosedur. Karena penetapan tersangka dengan dua alat bukti yang kuat itu tidak dilakukan,” ucap dia.
Bambang menilai suatu kebenaran tak bisa ditentukan hanya karena tekanan massa. Karena itu, ia mengatakan kasus Vina ini dapat jadi momentum perbaikan Polri dengan melakukan audit investigasi secara menyeluruh.
Ia mengatakan langkah ini bisa dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri melalui audit penyelidikan ataupun penyidikan kasus pembunuhan Vina.
“Ini kan jadi membuat beban Polri saat ini. Audit investigasi oleh Divpropam untuk mengklarifikasi apakah ada kesalahan SOP atau tidak. Sehingga bisa menjawab keraguan yang muncul di masyarakat,” kata Bambang.
Tak wajar cabut status DP
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menganggap keputusan polisi mencabut status dua DPO di kasus pembunuhan Vina tidak wajar. Sebab, nama-nama DPO tersebut sudah tercantum dalam dokumen penyidikan dan penyelidikan polisi hingga amar putusan majelis hakim.
“Ini tidak wajar, khususnya karena tiga nama itu tercantum dalam amar putusan hakim. Tentunya, data dalam amar sudah tersaring sejak dokumen penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan juga sudah menjalani pemeriksaan di pengadilan,” kata Adrianu
Ia pun menilai lamanya penyelesaian kasus ini membuat banyak bukti serta ingatan hilang. Kasus pun jadi sumir.
Adrianus menduga polisi hanya memiliki bukti dan fakta yang kuat terhadap salah satu DPO saja yakni Pegi sehingga berhasil ditangkap.
“Dua DPO lain diyakini tidak ada [bukti], daripada nanti diserang oleh penasehat hukum dari dua DPO tersebut,” kata dia.
Selain itu, Adrianus menyoroti gugurnya status dua DPO membawa masalah terkait konstruksi kasus. Ia mengatakan awalnya diyakini pembunuhan tersebut dilakukan oleh 11 orang.
Namun, kini polisi menyatakan pelaku hanya sembilan orang. Ia mengatakan polisi harus membuat konstruksi kasus baru yang belum tentu diyakini majelis hakim.
“Jadi, bagi tersangka baru maupun pelaku yang sudah selesai menjalani pidana, plus pengacara masing-masing bersiap saja menempuh mekanisme praperadilan dan pengadilan untuk meyakinkan hakim bahwa mereka adalah korban salah tangkap. Tentunya kepolisian akan mengajukan alat bukti sebaliknya,” kata dia. (cnn)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post