bontangpost.id – PT Pertamina (Persero) menjual solar premium atau minyak diesel kecepatan tinggi (High Speed Diesel/HSD) dengan harga miring ke negeri Jiran, Malaysia. Volume HSD yang diekspor sekitar satu kargo atau 31,8 ribu kiloliter (200 ribu barel) dengan nilai USD 9,5 miliar.
Keputusan BUMN energi itu pun menjadi pertanyaan para anggota dewan di Senayan. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Kardaya Warnika melihat isu penjualan solar dengan harga lebih murah ke Malaysia sungguh tidak mengenakkan.
“Itu isu negatif buat Pertamina,” ungkapnya dalam rapat dengan pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI dengan PT Pertamina (Persero), Senin (5/10/2020).
Dia menambahkan, meski yang diekspor Pertamina adalah HSD, namun orang awam tetap akan memahaminya sebagai ekspor solar. “Pengertian umum HSD, ada kata-kata dieselnya, itu solar juga pengertian orang awam,” katanya.
Atas dasar itu, dia meminta Pertamina untuk menjelaskan keputusan soal ekspor solar tersebut. Direktur Utama PT Kilang Pertamina International (KPI) Ignatius Tallulembang menyampaikan, selama pandemi Covid-19, permintaan terhadap bahan bakar jenis solar turun drastis.
Merespons penurunan permintaan, perseroan pun telah mengoperasikan kilang Pertamina pada kapasitas minimum atau Turn Down Ratio 75 persen.
“Dengan kapasitas tersebut ternyata masih dihasilkan solar berlebih karena demand solar di dalam negeri selama pandemi sangat rendah. Sehingga menyebabkan penampung tidak mampu lagi,” katanya.
Kapasitas produksi solar minimum telah melewati kapasitas penampungan (storage) nasional lantaran rendahnya permintaan. Pada kondisi normal, permintaan solar mencapai 13,5 juta barel.
Namun selama pandemi, atau kumulatif mulai April 2020, permintaan solar hanya 10,6 hingga 12,9 juta barel. Masalah rendahnya permintaan hingga menyebabkan keterbatasan penampungan ini harus dicarikan jalan keluar.
Tallulembang lantas menjelaskan, ada dua alternatif solusi yang bisa diambil. Pertama, menyetop operasi kilang. Kedua, mencari pasar lain yang bisa menyerap produk solar.
“Kalau kita stop, bukan solar saja yang nggak bisa dihasilkan, tapi produk lain seperti gasoline, LPG, dan lain-lain. Maka guna menekan kerugian lebih besar, dilakukan penjualan ekspor solar,” terangnya.
Dia menegaskan, penjualan kargo mendesak ini dilakukan untuk menghindari stop operasi kilang. Sementara itu, terkait harga yang lebih murah, Tallulembang menyampaikan, tentu harga jual HSD menyesuaikan harga pasar secara Free on Board (FoB).
“Karena mengikuti mekanisme pasar, saat itu harganya seperti itu ya kami lepas sesuai harga pasar yang ada pada saat itu,” pungkasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post