bontangpost.id – Pemberitaan palsu (hoaks) jelang pemilu 2024 meningkat. Dilansir dari laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), tercatat sebanyak 91 isu hoaks yang beredar mulai Januari hingga 26 Oktober. Peningkatan yang signifikan pun terjadi sejak Juli lalu.
Angka tersebut meningkat hampir sepuluh kali lipat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 10 hoaks pemilu.
Peran jurnalis pun menjadi penting untuk menangkal berita hoaks. Baik itu malainformasi, disinformasi, maupun misinformasi.
“Untuk itu kami menggandeng jurnalis untuk sama-sama memerangi hoaks, dengan menggandeng dua organisasi jurnalis di Bontang,” kata Ketua Bawaslu Kota Bontang Aldy Artrian.
Hal itu ditandai penandatanganan nota kesepahaman antara Bawaslu Bontang dengan Forum Jurnalis Bontang (FJB) dan PWI Bontang, Jumat (17/11/2023).
Aldy Artrian menuturkan, pemberantasan hoaks jelang pemilu bukan hanya peran Bawaslu.
“Secara institusi, kepengawasan memang berada di Bawaslu. Tetapi media massa menjadi ujung tombak guna menjaga pilar demokrasi,” tuturnya.
Oleh karena itu, diperlukan sinergitas antara bawaslu dan media massa, mengingat jurnalis menjadi perpanjangan tangan dalam ranah pengawasan kepemiluan.
“Kalau Bawaslu hanya memiliki mata yang terbatas, tetapi ketika bersama dengan jurnalis, pelanggaran seputar pemilu mudah ditemukan,” pungkasnya.
Penandatanganan nota kesepahaman itu juga dirangkai diskusi terkait pemberitaan hoaks dengan Edwin Agustyan sebagai narasumber.
“Berita hoaks dapat memicu perselisihan hingga menyebarkan kebencian. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrem, dapat menyebabkan sebuah negara hancur,” ucap Edwin yang juga pemimpin redaksi bontangpost.id tersebut.
Diungkapkan pria yang juga anggota Bidang Pendidikan FJB itu, berita hoaks banyak dibagikan oleh sumber berita yang kurang terpercaya. Selain itu, foto atau video dalam berita ialah rekayasa sehingga tidak sesuai dengan isi berita.
“Biasanya terdapat unsur politik atau sara dan menggunakan kalimat proaktif. Sering mendapat komentar negatif meski ada pula yang percaya,” ungkapnya.
Pelaku penyebar hoaks dapat diancam dengan pasal 28 ayat 1 UU No 11 Tahun 2008 dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Jika demikian, pemerintah dapat menjadi penengah sekaligus verifikator untuk menghentikan pemberitaan palsu yang beredar luas.
Menurutnya, keterlibatan masyarakat juga sama pentingnya. Pemerintah dapat membuat komunitas yang ditujukan guna memberantas hoaks.
Selain itu, pembuatan situs atau aplikasi resmi dapat dijadikan opsi lain untuk membantu mengurangi penyebaran hoaks dan disinformasi.
“Upaya lain dengan membentuk badan siber nasional yang menjadi penyaring. Jadi masyarakat dapat membedakan antara berita bohong dan valid,” jelasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post