Oleh Lukman M
DIKUTIP dari laman CumaGamer.com, pada 18 Juni lalu, organisasi kesehatan dunia WHO secara resmi menetapkan kecanduan bermain video game sebagai salah satu gangguan mental. Banyak hal telah dipertimbangkan WHO sebelum akhirnya memasukkan kecanduan jenis ini ke dalam versi terbaru International Statistical Classification of Diseases (ICD).
ICD merupakan sistem yang berisi daftar penyakit berikut gejala, tanda, dan penyebab yang dikeluarkan WHO. Berkaitan dengan kecanduan game, WHO memasukkan kecanduan game ini ke daftar penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan atau kecanduan. Menurut mereka, kecanduan game bisa disebut penyakit bila memenuhi tiga hal.
Pertama, seseorang tidak bisa mengendalikan kebiasaan bermain game. Kedua, mulai memprioritaskan game di atas kegiatan lain. Ketiga, seseorang terus bermain game meski ada konsekuensi negatif yang jelas terlihat. Permainan game yang dimaksud mencakup berbagai jenis permainan yang dimainkan seorang diri atau bersama orang lain, baik itu online maupun offline.
Meski demikian, bukan berarti semua jenis permainan bersifat adiktif dan dapat menyebabkan gangguan. Menurut WHO, bermain game disebut sebagai gangguan mental hanya apabila permainan itu mengganggu atau merusak kehidupan pribadi, keluarga, sosial, pekerjaan, dan pendidikan. WHO mengklaim, sudah banyak bukti menunjukkan kencanduan game dapat menimbulkan masalah kesehatan.
Menurut saya pribadi, cukup tepat bila kecanduan game ini masuk dalam kategori gangguan mental. Karena dari pengamatan saya, termasuk dari pengalaman saya pribadi, kecanduan bermain video game memiliki banyak mudarat walaupun awalnya berfungsi sebagai media hiburan. Karena kalau sudah kecanduan, seseorang bisa rela menghabiskan waktu sia-sia hanya untuk menatap layar gadget game. Padahal, waktu yang terbuang itu bisa menjadi berguna bila dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif.
Selain menjadi tidak produktif, kecanduan video game turut menyebabkan berbagai potensi berbahaya bagi kesehatan pemainnya. Sudah sering terpapar di media massa, ada seseorang yang meninggal saat bermain video game. Setelah ditelusuri, yang bersangkutan sudah bermain selama berjam-jam nonstop tanpa beranjak sekali pun dari tempat duduknya.
Dalam hal kesehatan jiwa sendiri, bermain video game turut memunculkan masalah bagi mental dan kejiwaan pemainnya. Meliputi sikap anti sosial dan pengurangan kemampuan dalam bersosialisasi. Malahan ada kasus ekstrem di luar negeri sana, ada pasangan suami-istri yang membiarkan anaknya mati kelaparan gara-gara kecanduan bermain game simulasi di kafe internet. Lantas ada juga kasus seorang anak yang bunuh diri gara-gara dilarang bermain video game. Naudzubillahimindzalik.
Tapi hal ini tidak bisa dipukul rata begitu saja. Karena faktanya, banyak pemain game yang mendapatkan manfaat positif dari video game, tanpa terpapar dampak negatifnya. Khususnya bagi mereka yang menjadikan video game sebagai sarana mendapatkan penghasilan tambahan. Contohnya Dede Sumarna, seorang polisi di Samarinda yang mendapatkan pundi-pundi dolar dari konten video game yang diunggahnya di situs berbagi video YouTube.
Hal positif lainnya yaitu adanya penelitian yang menunjukkan korelasi bahwa bermain video game tertentu bisa ikut membantu kemampuan berpikir pemainnya. Bermain video game juga disebut berkontribusi terhadap perilaku sosial para pemainnya, yaitu melalui permainan bersama-sama. Dan jangan lupakan juga fungsi utama video game, yaitu memberikan hiburan atau melepas penat bagi mereka yang memainkannya. Bermain video game terbilang ampuh untuk menghilangkan stres.
Intinya sih video game itu ibarat pisau. Bila penggunaannya tepat, maka tiada masalah. Namun bila penggunaannya tidak tepat, misalnya dimainkan berlebihan, bukan tidak mungkin masalah-masalah sosial dan gangguan mental yang telah saya sebutkan tadi bisa terjadi.
Maka merujuk pada sikap WHO, hal ini harus menjadi perhatian semua pihak. Khususnya oleh para orang tua untuk dapat mengawasi anak-anaknya agar tidak kecanduan video game, mengingat betapa gadget kini begitu lekat dengan anak-anak kita sejak usia belia. Hal ini pun harus turut menjadi perhatian bagi orang-orang dewasa dan para remaja penggemar game, agar tidak kecanduan sehingga merusak masa depan.
Sebenarnya maksud saya menulis catatan ini bukan untuk fokus membicarakan kecanduan video game saja. Melainkan juga untuk bentuk-bentuk kecanduan lainnya yang juga menyimpan potensi bahaya besar nan mengerikan selain game. Seperti kecanduan narkoba atau pornografi, yang kita semua sepakat semua itu merusak generasi bangsa.
Kecanduan pornografi di satu sisi, menurut pakar punya daya rusak otak yang lebih besar ketimbang narkoba. Sampai-sampai ada istilah Narkolema, akronim untuk “narkotika lewat mata”. Berapa banyak generasi muda kita yang terjerumus dan kehilangan masa depan karena dijejali materi-materi pornografi yang jelaslah merupakan sebuah dosa menurut agama.
Sebagaimana kecanduan game, dua bentuk kecanduan ini yaitu narkoba dan pornografi menurut saya akan sangat mudah diklasifikasikan sebagai gangguan mental. Dan saya yakin semua pihak memiliki concern untuk bersama-sama memerangi dua hal tersebut. Tapi yang menurut saya juga perlu mendapat perhatian masyarakat adalah, sebuah kecanduan yang sudah akrab dalam kehidupan kita sehari-hari namun seakan dibiarkan begitu saja, kecanduan rokok.
Sekalipun disadari mudaratnya yang besar, merokok nyatanya sudah menjadi tradisi di masyarakat Indonesia. Bahkan juga dilakukan oleh para tokoh masyarakat maupun pemuka agama. Seakan memberikan contoh dan menjadi pembenaran bahwa merokok itu sah-sah saja dilakukan. Padahal bila mau sedikit menggunakan akal sehat, jelaslah merokok merupakan kesia-siaan sekaligus bentuk pengerusakan pada tubuh manusia.
Sebagaimana bermain video game, merokok di Indonesia merupakan perbuatan yang legal. Ya walaupun sudah ada upaya-upaya dari pemerintah untuk membatasinya di antaranya dengan larangan merokok di tempat umum serta gambar menyeramkan di bungkus rokok itu sendiri. Namun sebagaimana bermain game, merokok juga bisa membuat pelakunya kecanduan. Tingkat kecanduannya seperti video game, bisa berdampak bagi pribadi maupun lingkungannya.
Malahan menurut saya, dampak kecanduan merokok lebih berbahaya ketimbang bermain game. Pasalnya, orang-orang di sekitar perokok itu bisa menderita masalah kesehatan yang jauh lebih parah dari si perokok itu. Padahal orang-orang itu tidaklah merokok, melainkan terpapar asap rokok atau menjadi perokok pasif.
Kecanduan merokok, sebagaimana namanya, membuat pelakunya tidak bisa menahan keinginan untuk merokok. Sehingga dia bisa merokok di mana saja dan kapan saja setiap kali nafsu merokoknya timbul. Karena sudah kecanduan, sering kali para perokok ini tidak memedulikan lingkungan sekitarnya. Dengan seenaknya mereka merokok di tempat umum atau merokok di sekitar anak-anak. Sehingga racun rokok yang mengerikan itu tersebar kemana-mana.
Yang menyebalkan adalah, saking ketergantungan merokok, seseorang bisa merokok sembari berkendara. Entah mengendarai sepeda motor atau mobil. Akibatnya, asap atau percikan api dari rokok ini bisa berterbangan dihirup para pengendara lain yang tidak punya pilihan karena berada di tengah perjalanan. Parahnya apabila percikan api ini lantas mengenai wajah pengendara tak berdosa lainnya sehingga bisa membahayakan penglihatan. Ujung-ujungnya bisa menyebabkan kecelakaan.
Seperti kecanduan game, kecanduan merokok juga seharusnya dikategorikan sebagai suatu gangguan mental. Apalagi masalah rokok sudah sejak lama menjadi perhatian dunia internasional termasuk WHO sebagai organisasi kesehatan dunia. Karena merujuk pada klasifikasi WHO yang saya paparkan di awal catatan ini, kecanduan merokok memenuhi semua hal yang dipersyaratkan.
Seorang perokok yang kecanduan jelas-jelas tidak bisa mengendalikan kebiasaan mereka untuk merokok, sebagaimana syarat pertama gangguan mental. Lantas, karena memprioritaskan rokok di atas kegiatan lain, akibatnya perokok itu tidak peduli walaupun asap atau percikan api rokoknya melukai orang lain di sekitarnya. Atau, karena lebih memilih membeli rokok, kebutuhan rumah tangga jadi tak terpenuhi. Syarat kedua gangguan mental pun terpenuhi.
Terakhir, perokok itu terus saja merokok meski tahu ada konsekuensi negatif yaitu masalah kesehatan yang jelas terlihat olehnya dan orang-orang di sekitarnya. Maka sudah sangatlah tepat bila kecanduan merokok dikategorikan sebagai gangguan mental, dan pengidapnya layak dilabeli penderita penyakit mental. Logikanya kan memang begitu.
Terkadang saya merasa kasihan kepada para perokok yang sudah masuk tahap kecanduan. Seakan-akan mereka tak bisa hidup kalau tidak merokok, seakan-akan mereka akan mati bila melewatkan sebatang rokok. Mereka akan pusing, gelisah, mata memerah, dan marah-marah. Herannya, yang seperti itu kok dikampanyekan “kalau gak merokok, gak jantan”. Yang jantan itu justru yang mandiri, yang tak tergantung pada benda apapun termasuk rokok. Bukankah para banci juga banyak yang merokok?
Maka ayo berhenti merokok sekarang juga, pasti bisa kalau benar-benar diniatkan. Sementara bagi yang belum memulai, jangan sekali-kali berpikiran untuk mencobanya. Karena ibarat narkoba dan pornografi, kalau sudah kecanduan rokok, akan sangat sulit untuk lepas darinya. Karena kecanduan itu mengerikan. Mengerikan buat si pelaku dan orang lain. Berapa banyak lagi sih perokok pasif yang mesti menderita karena keegoisan para perokok aktif yang mentalnya sakit dan terganggu itu?
Entahlah, saya bingung. Kalau para pemimpin kita, para wakil rakyat kita, para tokoh-tokoh dan pemuka agama kita saja masih memberikan contoh buruk merokok, saya rasa potensi-potensi untuk kecanduan merokok akan terus ada di masa mendatang. Sekalipun WHO mungkin bakal mengategorikannya sebagai gangguan mental di masa depan. Kalau sudah begitu saya cuma bisa bilang “Silakan saja merokok, tapi mohon asapnya ditelan sendiri.” (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: