SAMARINDA – Kematian orang utan yang berhabitat di Taman Nasional Kutai (TNK), Selasa (6/1) lalu mendapatkan sorotan dunia internasional. Bagaimana tidak, satwa dilindungi tersebut ditemukan dalam keadaan pesakitan setelah ditembus 130 butir peluru angin di Desa Teluk Pandan, Kutim. Meski sempat mendapat pertolongan medis dari tim dokter hewan, hewan malang tersebut akhirnya mati.
Manajer Perlindungan Habitat Center for Orang utan Protection (COP), Ramadhani menyebut, kematian orang utan di kawasan TNK bukanlah kali pertama. Namun dari sederet kasus serupa, kematian orang utan kali ini telah mendapatkan sorotan dunia.
“Setelah berita kematian orang utan itu tersebar, salah satu media asing menghubungi saya. Dia tanya banyak hal tentang kasus itu. Salah satunya, soal ditemukannya 130 peluru di tubuh orang utan. Ini yang terbanyak, setelah kasus yang serupa di Kalteng. Saat itu orang utan mati setelah tertembak 102 peluru,” ungkap dia, Kamis (8/2) kemarin.
Hasil autopsi tim medis Rumah Sakit Pupuk Kaltim (RSPKT) Bontang mengungkap, telapak kaki kiri orang utan hilang, 19 luka menganga karena benda tajam, dan dua matanya dalam keadaan buta, sebab peluru bersarang di mata primata itu. Sebanyak 74 butir peluru bersarang di kepala, 23 butir di tangan kiri dan kanan, 16 butir di kaki kiri dan kanan, dan 17 peluru di dada.
Hewan dengan nama latin pongo pygmaeus tersebut pertama kali ditemukan Sabtu (3/2) lalu. Sedianya hewan tersebut dikubur Rabu (7/2) pukul 10.00 Wita. Namun guna proses penyelidikan, jasad hewan primata tersebut masih disimpan di RSPKT Bontang.
“Harusnya kasus ini memalukan kita semua, di tengah gencarnya pemerintah melakukan strategi dan konservasi secara nasional,” kata Ramadhani.
Kematian orang utan yang juga dikenal dengan nama mawas ini juga mendapat perhatian serius dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar. Karena itu, Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Ade Yaya Suryana, mengaku akan mengungkap tuntas kasus ini.
Dia mengaku telah melakukan koordinasi dengan Polres Bontang untuk mengungkap kasus tersebut. “Kami sudah komunikasi dengan Kapolres Bontang, sekarang anggota kami di sana sedang bekerja secara intensif,” ungkapnya.
Kepolisian memastikan akan bekerja secara maksimal mengungkap kasus tersebut, karena sejumlah bukti sudah diamankan. Langkah-langkah pengembangan akan segera dilakukan, sehingga pelaku bisa segera terungkap.
Dalam konferensi pers di Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, Kamis (8/2) kemarin, Kepala Seksi Wilayah II Samarinda, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakum) LHK, Annur Rahim menduga jika kekerasan dan penembakan itu dilakukan oleh warga yang tidak jauh dari kawasan orang utan ditemukan. Namun, dugaan tersebut masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
“Hingga saat ini Polres Kutim terus melakukan penyelidikan, karena kami sudah menegaskan bahwa kasus ini akan menjadi perhatian serius. Kami upayakan kasus ini segera terungkap,” kata Kompol Budi.
Dia tidak berani menetapkan target, namun memastikan penyelidikan akan terus berjalan. Penyelidikan ini memerlukan analisis yang lebih luas, karena tempat kejadian bukan di permukiman penduduk. Pihak penyidik akan segera menanyakan pada warga di sekitar areal ditemukan orang utan, untuk memastikan kepemilikan senapan yang digunakan untuk membunuh hewan primata tersebut.
“Karena di sekitar wilayah ditemukan orang utan itu tidak ada warga yang hobi menggunakan senapan angin. Sehingga kami perlu melakukan penelusuruan lebih lanjut, termasuk analisis wilayah yang memungkinkan ada bukti-bukti penguat,” tegasnya.
Kepala BKSDA Kaltim, Sunandar Trigunajasa menyebut, pengungkapan kasus pembunuhan orang utan itu bukan hanya upaya untuk melindungi orang utan, tetapi kejadian ini dianggap sebagai yang terkejam sepanjang sejarah kematian orang utan.
“Pengungkapan kasus ini bukan hanya upaya melindungi orang utan, tetapi karena kami merasa pembunuhan ini saya anggap kekejaman yang tidak boleh diampuni,” tegasnya.
Ke depan, potensi kematian orang utan akan semakin besar karena TNK sebagai sarang orang utan dikepung permukiman warga dan perkebunan. Kematian primata tersebut adalah salah satu bukti kuat betapa konflik manusia dan orang utan masih akan terus berlangsung.
Penyebabnya, warga berusaha mempertahankan kebunnya dari gangguan orang utan. Sebab lainnya, pernah terungkap bahwa pengusaha di bidang perkebunan sengaja membayar oknum untuk membunuh primata karena dianggap merusak kebun. Pengusaha berani membayar Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta pada setiap orang yang berhasil membunuh hewan liar yang dilindungi negara itu.
Pada 1990, hutan TNK memiliki luas sekitar 198.629 hektare. Berada di wilayah Kukar, Kutim, dan Bontang. Seiring berjalannya waktu, luasannya terus menyusut. Penyebabnya, diduga karena maraknya aktivitas pembangunan permukiman dan perkebunan.
Kepala Balai TNK, Nur Patria Kurniawan mengungkapkan, penggunaan lahan TNK untuk permukiman dan perkebunan membuat konflik warga dan orang utan terus berlanjut. Karena antara warga dan satwa liar saling berebut ruang hidup.
“Perluasan kawasan permukiman dan perkebunan sudah pasti menimbulkan konflik perebutan kawasan antara warga dan orang utan. Sehingga oknum tertentu tak segan membunuh dengan senjata api atau senapan,” kata Kurniawan.
Pada 2014, TNK telah merelakan sebagian lahannya berkurang menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) untuk permukiman dan perkebunan. Salah satu lokasi yang sudah beralih fungsi yakni Teluk Pandan Kutim, lokasi yang ditemukan orang utan yang di tubuhnya bersarang 130 peluru angin.
Satwa tersebut diketahui tak hidup dalam satu tempat, sehingga kapan saja bisa berpindah. Jika sebelumnya berada di areal TNK, pada waktu tertentu bisa berpindah karena terdesak sebab makanannya habis.
“Satwa itu punya tiga kebutuhan penting, yakni cover, shelter, dan water. Kalau salah satu di antara ketiganya itu bermasalah, maka satwa itu akan berpindah tempat,” jelasnya. (*/um/drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: