Perusahaan asuransi pelat merah, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tengah mengalami musibah gagal pembayaran polis JS Saving Plan milik nasabah yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Liabilitas perusahaan telah bermasalah sejak 2004 silam.
Mengutip keterangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak 2004 lalu, perusahaan BUMN tersebut memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya. Sehingga perusahaan mengalami insolvency mencapai Rp 2,769 triliun.
Kemudian, pada 2006, masalah keuangan Jiwasraya membengkak hingga nilai ekuitas negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibanding kewajiban. Saat itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer atau Tidak Menyatakan Pendapatan (TMP). Dalam hal ini keuangan Jiwasraya mengalami kendala.
Pada tahun 2007 penyajian informasi cadangan Jiwasraya pun tidak dapat diyakini kebenarannya. Hingga 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan semakin membengkak menjadi Rp 5,7 triliun dan Rp 6,3 triliun pada 2009.
Lalu, pada 2009, perseroan mulai mengambil langkah untuk penyelamatan jangka pendek melalui re-asuransi. Hasilnya, dapat membawa nilai ekuitas menjadi surplus Rp 1,3 triliun per akhir 2011. Namun, Bapepam-LK meminta agar perusahaan memiliki alternatif penyelesaian jangka panjang.
Atas permintaan Bapepam-LK, pada 2012 peluncuran produk JS Proteksi Plan (produk bancassurances dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY) mendapat restu.
Sebagai informasi, per akhir 2011, jika skema reasuransi masih diterapkan maka Jiwasraya masih surplus Rp 1,6 triliun. Namun jika tidak menerapkan skema tersebut, maka Jiwasraya mengalami defisit Rp 3,2 triliun.
Selanjutnya pada 2013, direksi Jiwasraya menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS (nilai buku Rp 278,2 miliar). Setelah direvaluasi, asetnya menjadi Rp 6,56 triliun, dan Jiwasraya mencatatkan laba sebesar Rp 457,2 miliar.
Namun, tim audit BPK pada tahun 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang perusahaan di mana laporan aset investasi keuangan overstated (melebihi realita) dan kewajiban understated (di bawah nilai sebenarnya).
Sebagai informasi, pada 2013 hingga 2016, keuangan Jiwasraya tercatat surplus. Selama 2013 hingga 2017, pendapatan premi Jiwasraya meningkat ditopang penjualan produk JS Saving Plan dengan periode pencairan setiap tahun.
Namun sayangnya, Jiwasraya diberikan sanksi oleh OJK karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017. Kinerja keuangan saat itu masih tumbuh positif dengan mencatatkan pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp 21 triliun, meskipun perusahaan terkena denda sebesar Rp 175 juta.
Namun pada April 2018, OJK dan direksi Jiwasraya mendapati adanya penurunan pendapatan premi karena guaranteed return JS Saving Plan juga turun. Hingga pada Mei 2018 saat pergantian direksi, direksi yang baru menyampaikan ada hal yang tidak beres terkait laporan keuangan perusahaan kepada Kementerian BUMN.
Berdasarkan hasil audit KAP pada laporan keuangan 2017 terdapat koreksi laporan keuangan interim dari yang semula Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar. Ditambah, tim audit BPK tahun juga menyebutkan bahwa perusahaan berinvestasi pada aset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi.
Tinggal menunggu bom waktu, akhirnya pada Oktober 2018, perusahaan mengumumkan ketidaksanggupannya membayar polis nasabah JS Saving Plan senilai Rp 802 miliar. Manajemen Jiwasraya dan OJK mulai membahas penyehatan keuangan perusahaan untuk triwulan III.
Hingga menjelang akhir tahun ini, keuangan Jiwasraya tak kunjung membaik. Dengan demikian, OJK mengeluarkan izin pembentukan anak usaha Jiwasraya, Jiwasraya Putra, demi menyehatkan induknya. Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menyatakan perusahaan butuh modal Rp 32,89 triliun untuk memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko sebesar 120 persen.
Sementara, aset perusahaan tercatat senilai Rp 23,26 triliun, namun harus memenuhi kewajibannya yang mencapai angka Rp 50,5 triliun. Ekuitas negatif Rp 27,24 dan liabilitas produk JS Saving Plan mencapai Rp 15,75 triliun hingga sekarang.
Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Hexana Tri Sasongko menyebut, sepanjang uapaya penyehatan dari 2006 hingga 2018 belum terbilang maksimal.
“Dari 2006 sampai 2008, penyehatan keuangan sudah dengan fundamental, belum. Hanya 2009, reasuransi. Ekuitas bisa positif itu karena kami melakukan reasuransi, kewajiban jadi turun dari Rp 10,7 triliun menjadi Rp 4,7 triliun,” jelasnya seperti diberitakan Sabtu (28/12).
Hexana menjabarkan, berdasarkan data Jiwasraya, manajemen berhasil merevaluasi aset yang semula hanya Rp 208 miliar menjadi Rp 6,3 triliun. Dalam hal ini, pengakuan aset yang diperkenankan atau admitted asset hanya 15 persen, tetapi perusahaan mendapatkan kebijakan khusus mencapai 100 persen.
Namun sayangnya, revaluasi aset tidak menghasilkan cash flow, liabilitas atau kewajiban hutang perseroan justru bertambah.
Mengenai produk saving plan, kata dia, hal tersebut demi mendapatkan dana segar dari nasabah pada 2013 lalu. Adapun tawaran imbal hasil yang digaransi (guaranteed return) sebesar 9-13 persen dengan periode pencairan per tahun.
Imbal hasil yang ditawarkan lebih besar dari tingkat suku bunga deposito yang hanya 5,2 hingga 7 persen per tahun pada 2018, serta tingkat pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 2018 yang minus 2,3 persen.
Namun, produk tersebut yang diharapkan dapat menolong Jiwasraya justru membuatnya semakin suram. Hal tersebut lantaran perusahaan butuh ketersediaan likuiditas yang tak sedikit karena ada utang jatuh tempo setiap tahun.
Sehingga, Jiwasraya tercatat defisit sebesar Rp 15,83 triliun pada tahun lalu. Selain itu, perusahaan juga memutuskan untuk menyetop pembayatan klaim jatuh tempo sejak Oktober 2018 sebesar Rp 802 miliar.
“Mulai saat ada produk saving plan diperlukan likuiditas,” katanya..
Sementara itu, Hexana menambahkan, rekam jejak untung yang berhasil tercatat di laporan Jiwasraya sehingga mendapat catatan wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK, tapi Hexana menilai tidak sepenuhnya positif.
“Artinya laporan audit bersih. Tapi bersih seperti apa, bersih tapi negatif ekuitasnya. Opini audit itu kaitannya dengan tata kelola, padahal tidak apa rugi tapi diakui,” tuturnya. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: