Obat virus HIV mungkin telah ditemukan, tapi bahaya penyakit ini tak berkurang. Beberapa warga kota, masih ada yang meninggal karena stadium AIDS.
LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram
SAAT itu sekitar tahun 2008. Ketika seorang pemuda rupawan dengan was-was mendekati pria beraroma parfum kencang. Ia tak bisa menutupi gelisah pikirannya. Maklum untuk kali pertama ia melakukan ini semua.
Banyak orang mengaggumi fisik pemuda itu. Kulit badannya jernih. Tinggi badan ideal. Tubuhnya atletis. Wanita tak sedikit yang histeris jatuh hati. Begitu melihat untuk pertama kali. “Saya seorang pegawai pemerintahan,” aku dia. Sebut saja ia Kumbang.
Ia mulanya ada merasakan kelainan orientasi sesual pada dirinya. Tapi begitu melihat barang mewah ia selalu gagal menahan keinginan memilikinya. Saking kuatnya uang dari penghasilannya sebagai PNS tidak pernah dirasa cukup.
“Rasanya waktu gajian lama sekali datangnya, sementara saya punya keinginan banyak sekali pengen dibeli,” kisahnya.
Sampai suatu ketika. Ada seorang kawan mengajari ia cara dapat uang yang mudah. Dengan mengandalkan daya tarik fisiknya. Cara yang akhirnya untuk pertama kali di tahun itu Kumbang bersolek untuk sesama jenisnya. “Kami menyebut dengan nama Judi atau Jual Diri,” bebernya.
Kumbang bertemu pelanggan untuk pertama kali di sebuah hotel berbintang. Pertemuan terjadi dengan mudah. Keduanya sudah lebih dahulu akrab melalui ponsel. Pelanggannya itu adalah seorang pengusaha besar. “Ia langsung menyukai penampilan saya,” kisahnya.
Pengusaha itu pun langsung memutuskan ‘memelihara’ Kumbang. Darinya, Kumbang bisa dapat dengan mudah uang-uang untuk membeli apa saja yang ia mau. Kompensasinya ia juga harus mau melayani pengusaha tajir itu dalam hubungan intim sesama lelaki.
“Ya pertama canggung dan risih tapi melihat dia (pengusaha) itu sepertinya sudah biasa saya coba imbangi,” ujarnya.
Lama kelamaan Kumbang mulai terbiasa melayani gairah seksual pria itu. Dari adegan ciuman hingga sodomi. “Oral seks,” detailnya.
Dari awalnya risih Kumbang pun lama kelamaan ketagihan dapat uang dengan cara mudah. Puncaknya ia pun ikut menikmati hubungan sesama pria di atas ranjang. Bahkan ia pun makin liar dengan menjajakan tubuhnya ke pria lain dan memasang tarif yang lebih mahal.
Ia disukai banyak pria bukan karena ngondek. Atau berpenampilan gemulai di hadapan sesama pria. Justru karena maskulin, macho, dan perkasa ia banyak diburu pria yang alami kelainan orientasi seksual. “Mereka ingin pengalaman seksual yang tidak biasa,” bebernya.
Ini lazim disebut hubungan Lelaki Sesama Lelaki (LSL). Sampai suatu ketika Kumbang mulai khawatir. Ia terkena virus HIV. Ia mulai sering meluangkan waktu mengunjungi RSUD atau Puskesmas yang punya poli khusus untuk penanganan virus HIV.
Sepanjang tahun 2008-2009 gejala virus tidak terlihat dalam tubuhnya. Kumbang akhirnya ragu virus HIV bisa menular melalui hubungan sesama jenis. Ia lengah mendatangi poli deteksi dini HIV. “Tapi pada tahun 2016 dalam tubuh saya divonis ada virus HIV,” kisahnya.
Kumbang terkejut bukan main. Ia panik dan takut. Virus HIV dalam tubuhnya meningkat jadi stadium AIDS. Saat itu juga ia memutuskan untuk keluar dari dunia seksual LSL.
“Saya rutin mengikuti pendampingan pengobatan virus HIV, sampai akhirnya viral load virus dalam tubuh tidak terdeteksi,” kisahnya.
Kumbang sembuh. Sebelum HIV meningkat jadi stadium AIDS. Tapi bukan berarti Kumbang telah bebas lepas. Virus itu selamanya akan ada dalam tubuhnya. Jika ia lalai meminum obat, virus itu bisa saja kembali berkembang. “Memang terdeteksi nol, tapi bisa berkembang lagi kalau saya lalai berobat,” ujarnya.
Ia sampai saat ini masih rutin. Mengkonsumsi obat yang dinamai Antiretroviral. Obat ini harganya sangat mahal. Tapi untung bisa didapat gratis melalui RSUD atau Puskesmas yang ada penanganan HIV-nya. “Saya sudah menikah dengan wanita,” terangnya.
Untuk menghindari agar anak dan istrinya tidak merwarisi virus dalam tubuhnya. Setiap kali hubungan badan ia menggunakan alat kontrasepsi. “Pakai kondom,” akunya.
Jika ingin punya anak, ia hanya boleh berhubungan sekali saja tanpa kondom. Yakni saat istrinya sedang di masa subur-suburnya. Ini adalah salah satu strategi program punya anak bagi pengidap virus HIV. “Setelah itu harus pakai kondom lagi,” ujarnya.
Virus HIV dan AIDS saat ini termasuk penyakit kronis yang bisa ditangani. Dengan syarat pengidapnya harus rutin mengkonsumsi obat antiretroviral. Jika tidak ingin virus ini berkembang dan merusak sistem kekebalan tubuh pengidapnya.
“Sama seperti orang yang alami diabetes, darah tinggi, dan penyakit kronis lain. Mereka tidak boleh meninggalkan rutinitas minum obat sampai tua,” kata dr Dewi Nurlita, dokter umum yang menangani pengidap HIV/AIDS di Puskesmas Karang Taliwang, Mataram.
Penyakit ini memang begitu berbahaya. Tapi tidak sebahaya dulu. Sebab kini obatnya sudah ditemukan. Asalkan para pengidap rutin mengkonsumsi obat secara teratur. Maka viral load atau kondisi virusnya bisa mencapai nol. “Tapi bukan berarti ia bebas dan sudah bisa meninggalkan obat,” kata Dewi.
Ia harus tetap rajin meminum obat-obatan. Sampai tua. Sampai ia meninggal dunia. Dewi mengatakan, kasus yang terjadi dan pernah ditangani di Puskesmas Karang Taliwang sudah banyak. Tidak hanya dari Kota Mataram. Tapi dari luar kota juga banyak yang datang kontrol dan berobat di sana. “Kami menerima dari mana saja dan kita tangani di sini,” sebutnya.
Ada kalanya seorang pasien enggan berobat di sekitar rumahnya. Dan memilih untuk konseling dan perawatan di tempat kesehatan yang jauh dari rumah. Hanya untuk alasan privasi dan kerahasiaan.
“Malu dan tidak siap diketahui keluarga dan tetangga akhirnya berobat ke tempat yang jauh,” terangnya.
Tapi persoalan kesembuhan sangat tergantung pada tekad dan niat seseorang untuk lepas dari virus. Jika ia berobat setengah hati, bisa saja virus ganas HIV dengan cepat menggragoti kesehatan tubuh seseorang.
Seperti yang diceritakan Baiq Kartika Dewi, konselor sekaligus perawat di poli penanganan HIV Puskesmas Karang Taliwang. “Pernah ada pasien kami dari Kota Mataram juga, saat kami temui ia sudah stadium AIDS,” tutur Tika.
Tapi karena alasan kesiapan mental, orang itu menolak berobat di sana. Ia memilih berobat secara tradisional dan meyakini virus HIV yang menyerang tubuhnya bukan penyakit ganas. “Kami menemuinya pada bulan Juli, tapi empat bulan kemudian ia dikabarkan meninggal dunia,” tandasnya. (*/r7/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post