Seorang pemuda dari Jawa datang ke Bontang, Kaltim. Tanpa sanak famili, ia terkatung-katung sendiri di sisi jalan protokol di salah satu kelurahan di Bontang Utara. Hanya ada beberapa helai pakaian, serta identitas seadanya yang menyerta dirinya.
FITRI WAHYUNINGSIH, Bontang
Tubuh lemah itu berusaha kuat berjalan, di bawah terik matahari. Tak ada lagi tenaga. Ia merebahkan diri tepat di pinggir jalan. Warga yang melihat sontak melarikannya ke RSUD Taman Husada. Ini terjadi pengujung Maret 2020.
Tiba di rumah sakit, tim medis melakukan pemeriksaan. Dari sana diketahui, sel CD4 yang merupakan bagian dari sel darah putih dalam tubuh pemuda 30 tahun itu tengah melawan infeksi dari human immunodeficiency virus (HIV). Sistem imunnya yang terus turun, menyebabkan ia jadi demikian lemah. Ia negatif Covid-19, tapi positif HIV.
Karena ditahu berasal dari luar Kalimantan, pria itu mesti menjalani isolasi di RSUD hingga sebulan lebih. Dalam rentang itu, tak seorang sanak famili pun yang menanyakan soal dia. Walhasil, rumah sakit menghubungi Yayasan Kelompok Sebaya Bontang Sehati untuk mengurusi.
Segala kebutuhan pemuda ini, mulai obat-obatan hingga tempat tinggal kemudian diurus Kelompok Sebaya. Seminggu dirawat, kondisi tubuhnya kembali turun. Tiba-tiba alami sesak dan diare. Kembali ia dilarikan ke RS.
Pada masa awal krisis pandemi Covid-19, tak semudah itu membawa pasien ke RS. Warga takut pria itu penderita Covid-19 dan akan menularkannya ke orang lain. Akibatnya, Rahma Susanti, pendiri Yayasan Kelompok Sebaya Bontang Sehati dan anggotanya mesti pontang-panting mencari kendaraan.
“Pak, kami minta tolong masnya ini dibawa ke rumah sakit,” pinta Rahma. Tapi permintaan itu ditolak warga yang dimintai tolong.
Tak habis akal. Terus mencari. Akhirnya ada satu warga yang berbaik hati meminjamkan mobil.
Sedihnya, belum lagi mendapat perawatan, pemuda sebatangkara itu menghembuskan nafas terakhir di jalan. Tubuh yang kaku itu kemudian hanya dimandikan dan dikafankan di rumah sakit. Hampir setengah hari mereka mengurus untuk pemakaman.
“Mau buat kayu nisan keliling juga tidak dapat. Sempat sayamenangis kok orang-orang pada takut. Padahal dia bukan pasienCovid-19,” kenang Rahma.
Dikatakan, selama pandemi ini, meski bukan anggota mereka, sudah ada 3 orang dengan HIV/Aids (ODHA) terlantar danmeninggal yang mereka urus.
Semuanya laki-laki. Semuanya sendiri di Bontang. Semuanya meninggal dalam usia produktif 30-40 tahun. Menghadapi momen ‘getir‘ ini sudah menjadi hal yang siap atau tidak, harus kuat mereka hadapi. Sebab HIV/Aids tak bisa diobati. Sebabnya, ia tak henti-hentinya mengingatkan seluruh anggota Kelompok Sebaya agar tak sedetik pun mengabaikan konsumsi obat. Dan segera ke rumah sakit bila terjadi gejala.
“Yang meninggal itu perantau. Tetap kami uruskan juga. Kalau lihat seperti itu, kami ingatakan sekali anggota supaya tidak abai konsumsi obat,” ujarnya.
Ketika berbincang dengan bontangpost.id, Rahma tidak bisa membeber nama dan alamat setiap orang yang ia sebutkan. Hanya inisial dan usia saja. Sebab identitas pengidap ODHA mesti dijaga. Tidak bisa sembarang diumbar ke publik. “Itu kami jaga sekali, Mbak,” katanya.
Adapun saat ini, Kelompok Sebaya memiliki 95 anggota.Tersebar di seluruh Bontang. Didominasi perempuan. Ada juga anak-anak sebanyak 6 orang.
Selama pandemi, aktivitas mereka seperti advokasi, pendampingan, dan pemberdayaan tetap berjalan. Cuma intensitas kumpul-kumpul yang dikurangi. Mediumnya pun dipindah juga. Seringnya lewat aplikasi pesan instan atau media sosial.
“Ada anggota yang sudah berdaya karena sudah punya usahasendiri. Jadi kalau misalnya tubuhnya lemas lagi, kami bantu jalankan usahanya,” bebernya.
Contoh aktivitas pemberdayaan yang mereka lakukan ialah menggali potensi tiap anggota. Misalnya ada anggota yang jago dalam menjahit. Potensi itu terus dilatih, lantas Kelompok Sebaya mencarikan bantuan ke pihak lain, untuk membantu anggota mereka mengembangkan potensi diri. Agar bisa menjadikan potensinya itu sumber penghidupan.
“Sudah banyak yang berdaya. Kami bantuin mereka. Misalkan, sekarang ada yang punya laundry, ada yang punya usaha jahit,” bebernya bangga.
Hal yang ditekankan dalam kelompok ini ini ialah, mengkonsumsi obat adalah hal yang tidak bisa diabaikan ODHA. Karena selama pandemi aktivitas di rumah sakit kerap terbatas, karena jadi pusat penanganan Covid-19, maka obat-obatan seluruh anggota diambilkan di rumah sakit.
Nantinya obat-obatan diantarkan ke kediaman seluruh anggota. Atau mereka sendiri yang mengambil di Sekretariat Kelompok Sebaya di Jalan Sultan Hasanuddin, Gang Tipalayo, BerebasTengah.
Di momen Hari Aids Sedunia yang jatuh 1 Desember, Rahma mewakili anggota Kelompok Sebaya mengatakan bila persepsi publik soal pengidap ODHA makin baik. Persepsi miring masih ada, tapi tak sebanyak dulu. Ketika awal kelompok ini dibangun, medio 2012. “Alhamdullilah, makin ke sini makin baik sih,” ungkapnya.
Adapun saat ini, Kelompok Sebaya tengah mengupayakan agar memiliki sekretariat permanen. Agar seluruh aktivitas mereka bisa terpusat di sekretariat itu. Pun ketika ada pengidap ODHA yang terkatung-katung atau sendirian, bisa diinapkan di sekretariat. Bukan mencari indekos di luar. Untuk menjaga agar pengidap odha tetap berada di lingkungan yang mengerti kondisi mereka.
“Sekarang masih di rumah ketua Kelompok Sebaya. Cuma kan di sini terbatas. Doakan semoga kami punya sekretariat sendiri,” tandasnya. (*)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini:
Komentar Anda