Beber Peliknya Ungkap Korupsi, Bisa Dipecat bila Salah Bicara
Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI rupanya menarik perhatian para mahasiswa Kaltim. Hal ini tergambar dalam kuliah umum di Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda yang menghadirkan Wakil Ketua KPK RI Saut Situmorang sebagai narasumber.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Faktanya, kuliah umum bertajuk “Eksistensi KPK di Pusaran Badai Korupsi” ini bukan hanya dihadiri mahasiswa Unmul. Melainkan juga mahasiswa dari universitas lainnya seperti Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Untag) Samarinda dan Universitas Widya Gama Samarinda. Antusiasme yang terbentuk sejak acara dimulai tepat pukul 13.30 Wita semakin meledak-ledak ketika sesi diskusi tanya jawab dimulai.
Simon Jaang, salah seorang mahasiswa Unmul menjadi salah seorang penanya dalam sesi pertama. Sistem pelaporan dugaan kasus korupsi menjadi hal yang ditanyakan, bersamaan dengan bagaimana perlindungan yang diberikan kepada para penyidik KPK, sebagaimana yang terjadi pada kasus Novel Baswedan.
“Silakan laporkan dugaan korupsi kepada deputi-deputi di KPK. Bisa melalui surat atau surel pada alamat yang sudah disediakan KPK. Tentunya laporan itu harus bertanggung jawab, dan ditulis dengan baik, minimal memenuhi unsur 5W+1H. Kalau bisa 5W+2H. Huruf H kedua yaitu how much, berapa banyak nilai korupsinya,” terang Saut menjawab pertanyaan Simon.
Dia mengungkap, di setiap tahunnya surat laporan atau pengaduan yang diterima KPK bisa mencapai tujuh ribuan lebih. Dari jumlah tersebut, 50 persen di antaranya berpotensi sebagai kasus korupsi. Tentu membutuhkan waktu bagi KPK dengan jumlah dugaan kasus korupsi sebanyak itu.
Lebih lanjut Saut menjelaskan, dalam menyelidiki suatu kasus dugaan korupsi, KPK tidak bisa bertindak sembarangan. Ada prosedur-prosedur yang mesti dipatuhi oleh KPK. Misalnya dalam penetapan tersangka, KPK harus mengantongi minimal dua alat bukti. Hal inilah yang acap kali membuat KPK terkesan lambat dalam menangani suatu kasus.
“Perlu waktu untuk menghitung berapa kerugian negara. Kalaupun nilainya sudah diketahui, perlu juga diketahui siapa pejabat negara yang menerima uang tersebut. Kadang kami kesulitan mencari itu,” sambungnya.
Karenanya ketika ada mahasiswa lain mempertanyakan beberapa kasus yang belum terungkap, Saut dengan tegas menyebut kasus tersebut masih dalam penanganan KPK. Di antaranya skandal Bank Century, BLBI, hingga Hambalang. Hanya saja memang, KPK tidak bisa sembarangan dalam menindak para terduga kasus korupsi. Khususnya bila menyangkut nama-nama besar di pemerintahan.
“Kalau kemudian yang bersangkutan melakukan praperadilan dan KPK kalah, tentu publik akan kehilangan kepercayaan kepada KPK,” beber Saut.
Dalam hal ini, KPK mesti benar-benar matang dalam menjerat pihak-pihak yang terduga merugikan negara melalui korupsi yang dilakukan. Kasus KTP elektronik yang tengah hangat dibicarakan misalnya, memiliki alat bukti yang begitu banyak. Tentu pemeriksaan terhadap alat-alat bukti ini membutuhkan waktu dan ketelitian.
“Saya sendiri mesti pandai menjaga ucapan saya. Kalau salah bicara, saya bisa langsung dipecat,” jelas pria kelahiran Belawan Medan, 58 tahun lalu ini.
Saut menegaskan, KPK tidak pandang bulu dalam mengusut tuntas kasus korupsi. Sekalipun pihak terduga korupsi berada di lembaga-lembaga tinggi negara. Dia lantas menanggapi saran seorang mahasiswa yang menuntut peningkatan kelembagaan KPK menjadi lembaga tinggi negara sebagaimana Badan Narkotika Nasional (BNN).
Jebolan Universitas Persada Indonesia YAI ini menyebut kelembagaan KPK saat ini sebenarnya sudah cukup mampu dalam memberantas kasus korupsi. Namun masih perlu penguatan dalam berbagai hal, salah satunya dalam jumlah personel. “KPK di Hongkong menyarankan, idealnya jumlah personel KPK mencapai 8 ribuan. Faktanya jumlah personel kami saat ini baru di angka seribu lebih,” papar Saut.
Dia mengakui, KPK tidaklah luput dari kesalahan. Di sinilah peran masyarakat dalam ikut mengontrol kinerja KPK. Adanya hak angket dari DPR RI, menurut Saut merupakan salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan lembaga tinggi negara terhadap KPK. Di satu sisi, KPK juga memiliki hak-hak hukum untuk tetap menjalankan fungsinya sebagaimana perintah undang-undang.
“Proses check and balance juga berlaku di KPK. Dalam penggunaan anggaran misalnya, kami begitu disorot. Misalnya KPK mengeluarkan uang untuk menyewa kuasa hukum saat membela Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Sementara kasus mereka terkait dengan KPK,” terangnya.
Menjadi personel KPK, menurut Saut, merupakan pekerjaan yang berisiko. Hal ini telah disadari masing-masing individu yang ada pada lembaga antirasuah tersebut. Sebagaimana ucapan mantan Ketua KPK Abraham Samad bahwa menjadi anggota KPK artinya mewakafkan diri untuk negara. “Ucapan ini tidak main-main. Memangnya siapa yang mau disiram air keras?” urai Saut.
Karenanya Saut meminta dukungan dari masyarakat, termasuk juga dari kalangan mahasiswa. Dalam hal ini, mahasiswa bisa membentuk komitmen antikorupsi yang diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan kemahasiswaan secara nyata. KPK sendiri dalam hal ini siap melakukan kerja sama dengan universitas mana pun dalam rangkaian sosialisasi dan pencegahan korupsi.
“Silakan kalau mahasiswa Kaltim hendak melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di KPK. Kalaupun nantinya tidak bekerja di KPK, setidaknya bisa menjadi pegawai yang berintegritas dan antikorupsi bila bekerja di instansi pemerintah maupun di perusahaan,” tandasnya.
Tercatat ada sepuluh penanya dalam kuliah umum yang digelar di ruang serbaguna lantai 3 Gedung B FH Unmul ini. Sejatinya, masih banyak mahasiswa yang hendak bertanya dalam kuliah umum yang diprakarsai Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) FH Unmul bekerja sama dengan KPK RI ini. Namun kegiatan diskusi yang diikuti puluhan mahasiswa ini mesti diakhiri sekira pukul 15.15 Wita karena ada jadwal keberangkatan pesawat yang mesti dikejar Saut. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: