Bergembiralah rakyat karena mempunyai wakil rakyat sama dengan presiden, gubernur dan bupati/wali kota. Namun berbeda dengan semua pejabat tinggi itu, di mana wakilnya kemudian setelah satu periode jabatan umumnya punya keinginan tak lagi jadi wakil, yang disebut wakil rakyat hampir tak ada yang kemudian naik pangkat menjadi rakyat.
Wakil biasanya sering disebut ban serep, pemain cadangan jadi kalau yang diwakili sehat-sehat terus maka wakil kerap kali hanya menjadi pajangan. Wakil juga bukan sosok penting yang bisa mengambil keputusan. Tapi aneh bin ajaib, yang disebut wakil rakyat justru menjadi sebuah posisi yang diperebutkan. Lima tahun sekali, ramai banyak orang menunjukkan diri di ruang publik, memohon restu dan dukungan untuk menjadi wakil rakyat.
Jauh lebih banyak orang yang disebut sebagai calon wakil rakyat ketimbang yang bisa jadi wakil rakyat. Bahkan ada yang menjadikan wakil rakyat sebagai cita-cita abadi. Sekali lima tahun mencalonkan diri meski tak pernah terpilih. Mereka itu kerap kali menjadi Bungklon atau Bajing Loncat, berpindah-pindah dari satu partai ke partai lainnya untuk mencari peluang.
“Siapa yang mau jadi wakil rakyat?” tanya Guru di kelas Mustofa.
Seisi ruang kelas Mustofa tak ada yang angkat tangan. Mereka menunggu dengan tangan ada di bawah meja, kalau kalau ada yang mengangkat tangannya sebagai yang pertama. Dan Guru mengulang pertanyaannya lagi tapi tetap tak ada yang mengangkat tangan.
“Kenapa tidak ada yang mau jadi wakil rakyat?”
Lagi-lagi tidak ada anak murid yang menjawab. Gagal memancing partisipasi dengan sukarela, akhirnya Guru menggunakan metode penunjukan.
“Mumus … kamu punya cita-cita jadi wakil rakyat atau tidak?, Kenapa?”
Sebenarnya Mustofa sudah hendak bicara dari tadi, namun dia tak mau jadi yang pertama. Maka ketika ditunjuk oleh Guru untuk bicara, Mustofa tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
“Nggak mau Guru, karena mewakili rakyat itu berat. Rakyat sekarang banyak maunya,” jawab Mustofa.
“Kok berat, bukankah jadi wakil rakyat itu panggilan hidup yang mulia,”
“Ya berat, kan yang diwakili banyak. Kalau kita mewakili maka kita harus mengenal. Kenal keinginan teman sekelas saja sudah berat, apalagi rakyat yang jumlahnya banyak,”
Merasa Mustofa kukuh dengan jawabannya, Guru mengarahkan telunjuknya pada Bondan. “Kamu bagaimana Bondan,”
“Saya setuju saja sama Mumus,” jawab Bondan singkat karena nggak mau mikir panjang-panjang.
Guru merasa heran kenapa murid-muridnya tak ada yang berkeinginan menjadi wakil rakyat, padahal dalam demokrasi wakil rakyat adalah sesuatu yang mulia. Tapi kemudian guru sadar bahwa dalam iklim keterbukaan sekarang ini seorang anak sekolah menengah pertamapun sudah terpapar informasi tentang perilaku para pejabat baik di eksekutif maupun legislatif yang jauh dari kata mulia.
Dulu ketika belum marak penggunaan media sosial, barangkali berita-berita tentang para pejabat yang lebih mirip penjahat, atau wakil rakyat yang kelakuan tak jauh dari para keparat tak bisa dibendung lagi. Semua menyebar begitu mudah dan cepat, lebih laju dari berita-berita mainstreams.
“Anak-anak tahukah kalian kenapa politik itu mulia?”
“Nda tahu guru,” jawab murid murid serempak.
“Karena politik adalah tentang mengurusi kepentingan orang banyak sehingga segala sesuatu terkait dengan kehidupan bersama maupun pribadi bisa berjalan sebagaimana mestinya,” terang guru.
“Mungkin itu dulu guru,” tanggap Mustofa
“Politik dari dulu hingga sekarang, sama saja Mumus, bahkan berkembang semakin baik dengan penghormatan berbagai hak dasar serta praktek-praktek lain karena perkembangan jaman,” ujar guru.
“Iya guru teorinya begitu, tapi prakteknya kan lain,” sahut Bondan.
“Betul guru, ambil contoh saja soal Sungai Karang Mumus, tidak ada wakil rakyat yang membelanya,” sambung Mustofa.
Di sepanjang aliran Sungai Karang Mumus tinggal ribuan warga. Sebagian rumahnya berada di bantaran kali. Para pemukim di sepanjang sungai ini sudah lama distigma sebagai salah satu biang masalah lingkungan di Kota Samarinda.
“Selama saya tinggal di tepi Sungai Karang Mumus belum pernah ada wakil rakyat yang datang berkunjung,” kata Mustofa.
Wakil rakyat lebih banyak berpolemik di media massa, berkomentar jika ada rencana dari pemerintah kota untuk menata Sungai Karang Mumus. Komentarnya bisa pro dan bisa juga kontra tergantung keperluan masing-masing.
“Urusan wakil rakyat lebih ke urusan proyek Guru,” kata Bondan.
“Apa maksudmu?”
“Kalau dia mengusulkan pengerukan sungai, itu berarti dia punya perusahaan kontraktor, atau punya rekanan yang mempunyai alat keruk,” kata Bondan.
“Iya, kalau dia mengusulkan relokasi dengan bantuan tanah dan perumahan itu berarti dia punya sebidang tanah luas, atau perusahaan real estate,” sambung Bondan.
Guru heran dengan murid-muridnya yang fasih menilai wakil rakyat layaknya seorang pengamat politik itu. Tapi dalam dirinya mengakui bahwa yang terjadi sekarang ini memang seperti itu. Menjadi wakil rakyat bagi sebagian diantara mereka bukan pertama-tama mengabdi kepada mereka yang diwakili. Rakyat dipuji-puji, dilayani hanya ketika masa kampanye, setelah pemilihan perlahan ditinggal, dan apa yang dijanjikan sebelumnya lebih banyak tak ditepati.
“Begini guru, misalnya soal relokasi, pemerintah kota lebih suka bicara ke media, masyarakat disini nanti tahu dari berita. Nah, wakil rakyat diam saja, tidak menjembatani antara masyarakat dan pemerintah untuk merencanakan bagaimana baiknya itu dilakukan, apakah harus dilakukan atau adakah jalan keluar lainnya,” ujar Bondan makin menjadi.
“Betul guru, ujar Mumus mengamini.
“Kamu betal betul saja Mumus,” ujar guru.
Mustofa hanya senyam-senyum saja seperti biasa jika mendapat komplain.
“Guru baca koran kan atau media online?”
“Iya baca,”
“Nah, tiga hari lagi ada deadline dari pemerintah untuk mengosongkan tepian sungai, tapi tidak ada gerakan dari wakil rakyat, mereka setuja-setuju saja, lalu siapa yang mewakili masyarakat tepian sungai ini?” tanya Mustofa.
Gurupun terdiam, sulit untuk meneruskan pelajaran untuk memberi pemahaman pada murid muridnya betapa mulia pengabdian untuk rakyat. Kini menjadi wakil rakyat bukan lagi sebuah panggilan melainkan mengejar jabatan. Dan sebagaimana jabatan-jabatan lain, disana ada wewenang dan kuasa, wewenang dan kuasa yang mudah dibelokkan, meski dengan mengatasnamakan rakyat namun sesungguhnya hanya mengabdi untuk kepentingan diri, partai atau kelompok-kelompok lainnya tertentu. Ketika jabatan dan kuasa tiba, rakyat yang sebelumnya berada di ring pertama perlahan akan terlempar ke batas yang terjauh.
Pondok Wira, 15/09/2016 @yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post