Pertempuran demi pertempuran terjadi antara Gerakan Rakyat Kutai (GRK) melawan kolonial Belanda. Meski kalah dalam hal persenjataan, para pejuang Banua Etam nyatanya tetap spartan memperjuangkan kemerdekaan.
=======
TANGGAL 17 Januari 1947, para pejuang melakukan pembagian kelompok. Kelompok Herman Runturambi yang beranggotakan tujuh orang berangkat menuju Sangasanga. Kelompok Djohan Kusein (Massael) yang terdiri dari 32 orang berangkat ke Jembayan berlanjut ke Tenggarong. Lalu kelompok Mandar kembali ke Handil dan sisanya bertahan di Samarinda.
“Sedangkan yang berasal dari Samarinda pada umumnya tetap berada di Solong,” kata Hamdani, penyusun buku Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur yang mengulas kronik GRK.
Berangkat pada 20 Januari, kelompok yang dipimpin Djohan Kusein akhirnya tiba di Jembayan dua hari. Ketika mereka sedang beristirahat sambil menunggu berita dari Tenggarong, tiba-tiba Belanda datang menyerang. Timbullah pertempuran di luar Kampung Jembayan. Karena kekuatan tidak berimbang, para pejuang mengundurkan diri ke belakang kampung, memasuki hutan.
“Akhirnya rombongan memutuskan kembali menuju Loa Duri terus ke Loa Janan. Kemudian menuju Sangasanga, untuk bergabung dengan para pejuang di kota minyak tersebut,” sambung Hamdani.
Setibanya di Air Putih, Samarinda, ada kabar dari Darsono dan Djailani. Mereka menceritakan para pejuang yang dapat merebut Sangasanga. Namun keberhasilan pejuang di Sangasanga tersebut tidak dapat bertahan lama. Sangasanga kembali jatuh ke tangan Belanda. Sedangkan pasukan Herman mengundurkan diri ke Handil, Samboja, bersama pasukan asal Sangasanga yang dipimpin Soekasmo.
Tidak ada jalan lain bagi kelompok Djohan Kusein selain kembali ke Samarinda menuju Lok Bahu. Di Lok Bahu diputuskan untuk mengadakan long march, berhijrah ke pedalaman Mahakam dan terus ke Kalimantan Selatan.
“Peristiwa Merah Putih di Sangasanga sendiri telah memicu semangat para pejuang. Peristiwa perebutan kekuasaan di sana semakin membuka mata rakyat akan pentingnya arti kemerdekaan. Dan bagaimana nasib bangsa kalau masih di bawah telapak kaki penjajah,” paparnya.
Kekejaman Belanda setelah menduduki kembali kota Sangasanga pun menyadarkan rakyat betapa Belanda menghalalkan segala cara demi menguasai tanah air. Rakyat yang tadinya masih menerima janji-janji Belanda dan menerima jalan kooperatif atau bekerja sama dengan pihak Belanda, kini lebih bersikap anti Belanda.
Situasi kala itu ini tergambar dalam laporan Toepencommandant Oost Borneo, Februari 1947. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa jiwa anti Belanda telah tersebar luas di daerah-daerah penting sedemikian rupa. Sehingga pihak pemerintah Belanda berusaha untuk memberlakukan keadaan perang.
Dituliskan juga dalam laporan tersebut, kesultanan yang berada di sebelah utara Balikpapan, khawatir kehilangan kedudukan mereka. Sehingga bersekongkol dengan penduduk yang memihak republik. Sementara sebagian besar pamong praja dan pegawai pribumi aktif ikut serta menebarkan propaganda merah putih.
“Pemilihan utusan ke Konferensi Kalimantan menjadi kegagalan total, karena utusan yang terpilih memperoleh kuasa (mandate) penggabungan dengan republik,” tutup laporan tersebut.
Demikian gawatnya keadaan untuk Belanda di bidang politik, dan pengacauan yang berlarut-larut menunjukkan kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia tidak dapat lagi menerima kehadiran Belanda di tanah air. Dengan sendirinya dunia telah ikut pula campur tangan dan memaksa Belanda merundingkan tentang masa depan Indonesia.
Setelah jatuhnya Sangasanga, para pejuang menjadi berpencar-pencar. Masing-masing dalam kelompok kecil dan dengan bantuan rakyat dapat menghindarkan diri dari kejaran Belanda. Kelompok Djohan Kusein yang mulanya berjumlah 32 orang, tersisa 18 orang yang setuju berhijrah.
“Namun Kemudian bergabung enam orang menjadi 24 orang. Jumlah ini bertambah ketika rombongan tiba di Sabintulung, Muara Kaman. Dua orang tambahan tersebut yaitu Muso Salim dan Abdullah Popok. Sehingga jumlahnya menjadi 26 orang,” ujar Hamdani.
Rute yang ditempuh rombongan selanjutnya meliputi Bengkah Muara Kaman-Bukit Jering-Loleng-Kota Bangun-Pela-Melintang-Enggelam-Lamin Katebeh-Lamin Pulut-Segimbal-Sekolaq Darat-Lamin Benggeris-Lamin Kendisik-Lamin Tolan-Lamin Pandan-Muara Lawa-Cepmedas-Lamin Teminyak-Sampirang. Hingga sampailah mereka di Sungai Tewe, Kalimantan Tengah.
“Ketika di Sampirang itulah mereka menyergap pasukan KNIL yang berjumlah 15 orang dan didapat tambahan senjata 1 buah bren, 2 buah owen 10 LE Granat, pakaian, dan makanan,” sambungnya.
Situasi keamanan bertambah keruh di pedalaman Mahakam, terutama di Muara Muntai dan sekitarnya. Konon biang keladinya adalah Hasanuddin Saanin. Dia lantas dipanggil ke Samarinda untuk diinterogasi, namun tidak terdapat bukti cukup untuk mengadakan tuntutan.
Sementara, JF Sitohang yang namanya telah diketahui dan menjadi incaran Belanda akhirnya tertangkap di bulan Maret. Dia ditangkap sewaktu mengunjungi Djunaid Sanusie dan Sudirin yang lebih dahulu tertangkap Belanda di Samarinda.
“Setelah Sitohang, menyusul para pejuang lainnya satu per satu ditangkapi Belanda,” tutur Hamdani yang lama berkiprah sebagai jurnalis media cetak ini.
Para pejuang yang berikutnya tertangkap yaitu Mandar dan Idum. April 1947, Mandar dan pengikutnya kembali ke Handil, Samboja. Di sana, Mandar dan Idum tertangkap pasukan Belanda. “Selanjutnya oleh pengadilan negeri Balikpapan, keduanya dijatuhi hukuman seumur hidup,” tambah Hamdani.
Lantaran tidak terbukti mendukung pergolakan, Hasanuddin Saanin lalu mengajukan permohonan berhenti dan menuntut pemerintah Belanda agar dikembalikan ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, dia melaporkan diri kepada Pemerintah Republik Indonesia dan diterima bekerja.
Hal berbeda terjadi pada Abdul Gani, perintis GRK ini dibawa ke Mahkamah Militer Luar Biasa Belanda atau Temporaire Krijsraad. Dalam pengadilan yang digelar 9 Mei 1947 tersebut, tuduhan-tuduhan yang dialamatkan pada Abdul Gani dapat dibuktikan.
“Tuduhan itu di antaranya menyampaikan keterangan-keterangan penting tentang rencana perlawanan selanjutnya kepada Kasmani, pimpinan pejuang Balikpapan. Menyediakan logistik bagi pemberontak, dan melancarkan desersi di kalangan angkatan bersenjata alias KNIL,” bebernya. (luk/bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: