SANGATTA – Kutim laik berbangga. Pasalnya mampu memiliki empat fasilitator bencana handal yang bersertifikat nasional. Diantaranya ialah Willy Wicaksono, Sarina dan Ujuk Dirso.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kutim Syafruddin mengatakan, ada beberapa peran fasilitator bencana. Pertama melakukan fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat desa dalam mengidentifikasi ancaman, kerentanan daerah.
Kedua melakukan fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat desa dalam menyusun dokumen penanggulangan bencana. Ketiga ialah melakukan fasilitasi dan pendampingan untuk berkoordinasi dengan para pihak dalam rangka internalisasi dokumen penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan desa.
“Ruang lingkup pendampingan kepada masyarakat desa atau kelurahan adalah untuk pencapaian indikator-indikator desa tangguh sesuai dengan Perka BNPB No. 1/2012. Fasilitor yang bersertifikat sudah bisa jadi nara sumber. Empat yang kami punya. Mereka sudah mendidik dan melatih 3 Destana di Kutim.
Kita patut bangga karena banyak Kabupaten Kota masih belum mempunyai fasilitator bersertifikat nasional seperti di Kutim.
,” ujar Syafruddin didampingi Kepala Seksi (Kasi) Pencegahan Ahmad Junaidi.
menjelaskan Untuk mendapatkan sertifikat nasional fasilitator dari Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) melalui tiga tahapan seleksi dan mengunakan dana yang tidak sedikit. Berdasarakan hal itu diharapkan para fasilitator ini tidak dipindahkan dari BPBD Kutim.
“Meraka aset yang sesuai dengan bidangnya.
Diharapkan jagan dimutasi karena jika berpindah tempat tentu ilmu yang dimiliki tidak maksimal dipergunakan,” harap Junaidi.
Sementara itu, salah satu fasilitator Ujuk Dirso mengatakan, semua fasilitator yang dipercayakan berkomitmen akan terus membantu dan tetap melakukan pembina ke Destana.
“Komitmen kami fasilitator yakni backup kegiatan didesa tangguh. Kegiatan kebencanaan kami juga siap turun kelapangan,” katanya.
Ujuk menambahkan, ada sejumlah kendala yang sering ditemukan dilapangan baik segi pendanaan operasional fasilitator maupun kurang dukungan pemerintah desa setempat. Terlebih bagi desa yang baru terpilih.
“Kepala Desa yang baru banyak belum paham tentang Destana dan pembuatan peta. Mereka semua harus dikasih pemahaman lagi dan itu butuh proses ulang dilapangan. Kepala Desa juga merubah peta yang ada, contoh lokasi RT1-2 digabung atau lokasi evakuasi dirubah mengakibatkan dokumen ikut berubah atau direvisi ulang,” katanya. (dy).
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: