Mahar Politik

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah

bontangpost.id – Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jadwal pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak tahun 2024.

Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024, pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 ditetapkan pada hari Rabu tanggal 27 November 2024.

Sementara pendaftaran pasangan calon baru akan mulai dibuka pada tanggal 27-29 Agustus 2024.

Meski demikian, proses menuju hari-H (D-Day) pendaftaran calon tersebut diwarnai dengan beragam dinamika politik yang membutuhkan respon publik secara luas.

Salah satunya berkenaan dengan pembukaan pendaftaran bakal calon yang dilakukan oleh berbagai partai politik. Ini berkaitan dengan erat dengan perahu yang akan digunakan dalam pendaftaran calon nanti.

Pendaftaran pasangan calon dalam pilkada sendiri, dapat dilakukan melalui dua pintu. Yakni melalui pintu dukungan partai politik atau melalui pintu jalur perseorangan.

Namun dengan persyaratan dukungan calon perseorangan “begitu berat”, opsi ini cenderung hanya dijadikan alternatif. Pada akhirnya perahu melalui partai politik inilah yang jadi opsi utama dan banyak diperebutkan.

Dalam ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), disebutkan bahwa, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD, atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.

Mahar Politik

Tidak ada makan siang yang gratis, ujar Milton Friedman dalam bukunya yang berjudul “There’S No Such Thing as a Free Lunch”.

Ungkapan ini menyiratkan bahwa meskipun sesuatu, seperti makan siang, mungkin tampak gratis bagi seseorang, namun sebenarnya tidak gratis. Ada biaya yang disertakan di dalamnya.

Apakah biaya tersebut dibayar melalui cara lain selain uang tunai secara tradisional, seperti biaya peluang, atau mungkin orang lain yang membayar biaya tersebut.

Intinya, ujar-ujar ini seolah ingin menegaskan jika tidak ada sesuatu pun dalam hidup ini yang gratis.

Demikian pula dalam konteks pencalonan dalam pilkada, apakah Anda percaya jika dalam pendaftaran bakal calon yang dibuka oleh partai politik, tidak memungut biaya sama sekali? Mustahil.

Perahu atau kendaraan tidak mungkin ditukar secara gratis. Terlebih di tengah situasi partai politik hari ini yang cenderung “bermental pragmatis” dan mengalami “deideologisasi” alias “kering secara ideologis”.

Faktanya, dalam banyak kasus, rata-rata partai politik mematok sejumlah tarif tertentu kepada para pendaftar. Bahkan tidak sedikit yang secara terang-terangan menyebut nominal tertentu.

Alasannya pun beragam, mulai dari untuk biaya pendaftaran, biaya kampanye, biaya administrasi, biaya saksi, dan lain-lain. Ada semacam relasi simbiosis mutualisme antara partai politik dengan para pendaftar yang membutuhkan perahu dalam Pilkada.

Ini yang menjadi celah politik transaksional dalam pendaftaran bakal calon yang dilakukan oleh partai politik, atau yang kerap kali kita sebut sebagai “mahar politik”.

Hal ini pula yang seringkali mebuat “aksi borong dukungan partai” terjadi diberbagai daerah.

Fenomena ini jamak terjadi, sebab proses pendaftaran di internal partai politik, lebih kuat nuansa tawar-menawar dan jual-beli, dibandingkan mempertebal ide, gagasan, dan program para pendaftar.

Jadi siapa pun yang pada akhirnya didukung oleh si partai politik, biasanya “tebal modal, tipis gagasan”.

Integritas Pilkada

Secara normatif, praktik mahar politik ini diharamkan dalam UU Pilkada. Bahkan dikualifikasi sebagai tindak pidana.

Dalam ketentuan Pasal 187B UU Pilkada, disebutkan bahwa, “anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit 300 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah”.

Frase “proses pencalonan” itu harus dimaknai sebagai aktivitas pencalonan dari hulu ke hilir. Yakni sejak saat pendaftaran bakal calon dilakukan oleh partai politik hingga penetapan pasangan calon secara resmi oleh KPU.

Ancaman pidana ini tidak hanya penerima imbalan, dalam hal ini partai politik sebagai subjek hukum. Tapi juga berlaku bagi pemberi imbalan dalam proses pencalonan, baik orang perorangan maupun lembaga, sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 187C UU Pilkada.

Intinya, proses transaksional dalam bentuk mahar politik pada proses pencalonan, sejak dari hilir hingga ke hulu proses, harus secara tegas diawasi. Partai politik harus berkomitmen untuk menghindari mahar politik ini.

Agar pilkada ini tidak dirusak oleh perilaku korup para pemainnya. Mirisnya, bau busuk mahar politik ini sudah tercium, bahkan jauh sebelum pendaftaran calon secara resmi di KPU.

Pada sisi yang lain, Badan Pengawas Pemilhan Umum (Bawaslu) tidak boleh menjadi patung yang pasif menunggu laporan.

Bawaslu harus mengambil inisiatif mengeluarkan edaran yang ditujukan kepada partai politik, agar menjaga integritas Pilkada dengan tidak menerima mahar politik. Dengan cara itulah marwah Pilkada dapat dikawal dengan baik. (riz)

Print Friendly, PDF & Email

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version