Assalamu alaikum wr wb.
Pada aksi bela islam 212 jilid III beberapa waktu lalu terlihat bendera hitam besar bertuliskan kalimat tauhid Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh ada di tengah-tengah masa aksi di Jakarta. Nampaknya, pasca acara, hal itu membawa efek yang sangat besar, panji tersebut semakin dikenal oleh masyarakat luas. Sejak saat itu panji Rasulullah ini semakin banyak dikenal dan disukai.
Saat ini bisa dilihat di media sosial, terlihat diberbagai kota seluruh Indonesia, ada pengibaran bendera dengan aneka beground. Misal; dipuncak gunung, di laut, dan di atas gedung. Realitas ini menunjukan ada pemahaman bagus di masyarakat terhadap bendera rasulullah. Namun begitu, alangkah baiknya umat islam mengenal lebih dekat terhadap bendera Rasulullah ini. Agar semakin mengakar kecintaannya kepada islam dan simbol-simbol islam.
Rasulullah Saw. mengenalkan kepada umatnya dua bendera, yaitu Al-Liwâ’ dan ar-Râyah. Keduanya merupakan nama untuk panji Rasulullah saw. Secara bahasa, keduanya berkonotasi al-’alam (bendera). Namun, secara syar’i, al-liwâ’ (jamak: al-alwiyah) dinamakan pula ar-râyah al-’azhîmah (panji agung), dikenal sebagai bendera negara dan simbol kedudukan pemimpin.
Bendera ini tidak dipegang kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan pasukan (amîr al-jaisy), yakni Khalifah, atau orang yang menerima mandat dari Khalifah, sebagai simbol kedudukan komandan pasukan. Ia memiliki karakteristik berwarna putih, dengan khath(tulisan) berwarna hitam “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh”, berjumlah satu.
Adapun ar-Râyah (jamak: ar-râyât) adalah panji berwarna hitam, dengan khath berwarna putih “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh”. Panji ini dinamakan pula al-’Uqâb. Ar-Râyah berukuran lebih kecil dibandingkan dengan aL-liwâ’.
Panji ini digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan (satuan-satuan pasukan (katâ’ib)), yang tersebar sesuai dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan sehingga berjumlah lebih dari satu. Ibn ’Abbas ra., menyatakan, “Bendera (liwâ’) Rasulullah saw. berwarna putih dan panjinya (râyah) berwarna hitam (HR al-Hakim, al-Baghawi dan at-Tirmidzi). Ibn Abbas ra. Juga menyatakan:
Panji (râyah) Rasulullah saw. berwarna hitam dan benderanya (liwâ’) berwarna putih; tertulis padanya: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh (HR ath-Thabrani).
Ketika bendera al-Liwâ’ diserahkan Khalifah kepada pemimpin pasukan perang, maka ia menjadi simbol pemegang komando peperangan, sekaligus pemersatu para komandan detasemen pemegang ar-râyah dan para pasukan itu sendiri.
Ibn Bathal menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memegang bendera dan panji ini (dalam jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh Imam (Khalifah) saja; tidak diemban seseorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaan (kewenangan dan kedudukan Khalifah).
Adanya mandat resmi dalam mengemban al-Liwâ’ dan ar-Râyah, menunjukkan bahwa ia adalah simbol negara sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah saw. sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (Ad-Dawlah al-Islâmiyyah). Hal ini semakin menguatkan bukti otentik, historis dan yuridis adanya konsep negara dalam Islam, sekaligus meruntuhkan khurafat bahwa Rasulullah saw. bukan kepala negara dan tidak mengatur urusan kenegaraan.
Bahkan bukan sembarang negara, Nagara yang dibangun Rasul saw. adalah negara yang berasaskan tauhid (akidah Islam), sebagaimana termaktub pada al-Liwâ’ dan ar-Râyah, yang menunjukkan filosofi asas negara yang dibangun Rasulullah saw. Negara wajib berasaskan akidah Islam. Kaum Muslim tidak boleh mengadopsi selain akidah Islam sebagai asasnya. Konsekuensinya, wajib menjadikan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai hukum positif yang diterapkan negara, bukan hukum jahiliah.
Penisbatan al-Liwâ’ dan ar-Râyah dalam hadis dan atsar sebagai bendera dan panji Rasulullah saw. pun memperjelas kedudukannya sebagai syiar Islam. Apalagi kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya merupakan kalimat pemisah antara iman dan kekufuran.
Kalimat ini menyatukan kaum Muslim dalam ikatan yang hakiki, yakni ikatan akidah Islam. Jadi jelas bahwa keduanya termasuk syiar Islam yang wajib diagungkan dan dijunjung tinggi, menggantikan syiar-syiar jahiliah yang menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat imperialistik. Mengagung-kan dan menjunjung tinggi syiar Islam sesungguhnya merupakan bagian dari apa yang Allah SWT firmankan:
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan kalbu (QS al-Hajj [22]: 32).
Teladan Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Lalu bagaimana sikap Rasulullah saw. dan para Sahabat terhadap al-Liwâ’ dan ar-Râyah? Hal itu terjawab dengan menilik sikap Rasulullah saw. dan para Sahabat yang memberikan keteladanan dalam mengemban keduanya; menjadikan itu sebagai tugas kenegaraan yang sangat mulia, yang tidak diemban kecuali oleh orang yang mulia.
Hal itu sebagaimana penyifatan Rasulullah saw. kepada pemegang panji ar-râyah ketika Perang Khaibar, “Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang laki-laki besok, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya; ia mencintai Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR Muttafaq[un] ’alayh).
Kalimat setelah kata laki-laki, “akan ditaklukkan benteng melalui kedua tanganya, ia mencintai Allah dan rasulnya…”, menunjukkan sifat-sifat mulia dari lelaki yang akan diamanahi oleh Rasulullah saw. untuk mengemban ar-râyah. Rasulullah saw. akhirnya menyerahkan ar-râyah kepada ’Ali bin Abi Thalib saw.
Bagaimana sikap para Sahabat? Dalam hadits ini digambarkan bahwa mereka mengharapkan kemuliaan tersebut, yang juga menunjukkan agungnya kedudukan al-liwâ’ dan al-râyah dalam Islam.
Ibn Bathal menegaskan bahwa mandat resmi dalam serah-terima al-Liwâ’ dan ar-Râyah termasuk sunnah Rasulullah saw. yang harus diteladani oleh kaum Muslim. Ia menuturkan: Rasulullah saw.
bersabda, “Sungguh aku akan menyerahkan ar-Râyah.” Kata ar-râyah yang diungkapkan dalam bentuk ma’rifat (dengan alif lâm, yakni sudah dikenal secara spesifik) menunjukkan bahwa ia merupakan sunnah Rasulullah saw. (min sunnatihi) dalam berbagai peperangannya. Karena itu sudah seharusnya hal tersebut diikuti (oleh kaum Muslim).”
Karena itu kaum Muslim tidak boleh memandang al-Liwâ’ dan ar-Râyah kecuali dengan pandangan Rasulullah saw. dan para Sahabatnya. Mereka harus tergerak untuk mengibarkan keduanya kembali, dengan berjuang menegakkan kehidupan Islam, dalam naungan al-Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah yang berdiri di atas asas tauhid.
Waallah ‘alam bi shawab.(*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post