Rizky mulai diperkenalkan dengan lingkungan keraton setelah dibawa sang kakek menghadap Sultan di usia belum genap 2 tahun. Sekarang bertugas tiap Sabtu-Minggu, hari-hari lain untuk sekolah dan les.
IWAN NURWANTO, Jogjakarta
BADANNYA memang mungil. Tapi, dengan lincah bocah itu turut mengangkat kursi panjang untuk tempat istirahat para penabuh gamelan. Bolak-balik, sambil sesekali tersenyum sembari membungkuk membalas sapaan orang-orang dewasa di sekitar.
”Rizky orangnya selalu ikhlas ketika diminta tolong untuk membantu abdi dalem lain. Tidak pernah mengeluh ketika mengangkat wayang, menata gamelan, atau hal lainnya,” ujar Suyatman, sang kakek yang juga abdi dalem di lingkungan Keraton Jogjakarta, kepada Jawa Pos Radar Jogja.
Rizky Kuncoro Manik, bocah tersebut, baru berusia 10 tahun. Pada Sabtu siang lalu (27/1) itu, saat anak-anak sebayanya mungkin asyik memainkan gawai, menonton televisi, atau jalan-jalan ke mal dengan orang tua, dia justru mendedikasikan waktunya di Keraton Jogjakarta. Bersama sang kakek dan para abdi dalem lain.
”Saya ingin seperti kakek yang memakai pakaian adat, membawa keris, dan tiap hari ke keraton,” ujar Rizky dengan polos sembari duduk bersila di samping sang kakek saat berbincang dengan Jawa Pos Radar Jogja di Bangsal Sri Manganti, Keraton Jogjakarta.
Menurut Suyatman, cucunya itu memang belum resmi diwisuda sebagai abdi dalem karena usianya belum mencukupi. Tapi, oleh para abdi dalem dan lingkungan keraton, dia sudah dianggap sebagai abdi dalem termuda.
Secara sederhana, abdi dalem bisa didefinisikan sebagai pengabdi keraton dan raja. Jenisnya ada dua, abdi dalem keprajan dan punokawan.
Yang pertama adalah pegawai negeri atau TNI-Polri, baik yang masih aktif maupun pensiunan, yang mendaftarkan diri sebagai abdi dalem. Mereka tidak mendapat gaji karena sudah digaji pemerintah. Tugasnya menghadiri acara-acara tertentu keraton.
Contohnya, Wakil Wali Kota Jogjakarta Heroe Poerwadi yang diwisuda jadi abdi dalem keprajan pada Senin tiga pekan lalu (7/1). Dia pun, mengutip Jawa Pos Radar Jogja, mendapat nama baru: yaitu MRy (Mas Riyo) Projopoerwadi.
Sedangkan abdi dalem seperti Suyatman merupakan abdi dalem punokawan yang bertugas di keraton. Mereka berhak atas bayaran dari keraton. Jumlahnya tak seberapa, tapi memang bukan itu yang dicari. Melainkan ketenteraman hidup dari pengabdian.
Punokawan pun masih dibagi menjadi dua. Tepas yang harus ”ngantor” setiap hari dan caos yang tidak perlu tiap hari ke keraton.
Rizky ke keraton tiap Sabtu dan Minggu. Sedangkan di hari-hari lain dia harus bersekolah dan les. Dia tercatat sebagai siswa kelas IV di SDN Glagah, Kota Jogja.
”Tidak terganggu karena kalau Sabtu dan Minggu kan libur sekolah,” kata Rizky tentang jadwalnya sebagai abdi dalem.
Sejak kecil Rizky memang tinggal bersama simbah kakung dan putri (kakek dan nenek) di kawasan Janturan, Kota Jogja. Ayahnya telah meninggal, sedangkan sang ibu belum pulang sejak pamit untuk bekerja di luar negeri.
Dari kebiasaan melihat sang kakek berangkat ngontel menuju keraton, Rizky pun mulai ingin menjadi abdi dalem. Itu saat usianya belum genap 2 tahun. Persisnya masih 18 bulan.
Dia begitu rewel ingin ikut simbah kakung yang di keraton bertugas di bagian pewayangan itu. ”Rizky pengin kayak Bapak (panggilan Rizky untuk sang kakek), pergi ke keraton, pakai belangkon sama beskap dan yang lain,” ujar pria 65 tahun itu seraya menirukan sang cucu.
Melihat keinginan kuat sang cucu itu, Suyatman akhirnya mengajak Rizky yang kala itu masih ngedot ke keraton. Diboncengkan dengan sepeda ontel, menghadap sang raja.
”Sultan kemudian setuju agar Rizky bisa berada di lingkungan keraton,” imbuhnya.
Sejak itulah hari-hari Rizky dihabiskan bersama sang kakek di keraton. ”Saya pun jadi harus bawa dot kalau mengajak Rizky ke keraton,” ujar Suyatman.
Untuk menjadi abdi dalem, ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Di antaranya, sowan bekti yang bisa berlangsung empat tahun dan magang selama dua tahun.
Syarat-syarat tertentu juga dibutuhkan untuk naik pangkat. Mengutip kratonjogja.id, jenjang antara abdi dalem tepas dan caos berbeda. Untuk tepas bisa diajukan setiap tiga tahun.
Untuk Rizky, tahapan yang dilalui, karena faktor usia, dalam bahasa Suyatman, menyesuaikan. Meski demikian, dia tetap diterima hangat di lingkungan keraton.
Itu tak lepas dari kemauan kerasnya untuk belajar. Juga, rajinnya dia membantu pekerjaan apa saja tanpa pernah mengeluh.
Sosoknya juga selalu menjadi perhatian para wisatawan yang berkunjung ke keraton, baik lokal maupun mancanegara. Tak sedikit pula yang mengajak berfoto dengannya.
Di usianya yang baru 10 tahun, Rizky juga sudah mengikuti pelajaran pedalangan. Dia telah pula hafal berbagai tokoh pewayangan. ”Kulo pengen nguri-nguri budaya Jawa,” ucap Rizky.
Yang belum bisa dia kuasai sepenuhnya adalah cara mengenakan baju peranakan (pakaian yang dikenakan para abdi dalem). Untuk itu, dia selalu minta bantuan sang kakek sebelum berangkat ke keraton.
Ritual yang agak berbeda sekarang adalah cara mereka sampai ke keraton. Di usia yang sudah 65 tahun, Suyatman sudah tak lagi kuat ngontel sekitar 5 kilometer kalau harus memboncengkan Rizky. Sebagai ganti, mereka berdua Rizky menggunakan taksi online untuk berangkat ke keraton.
”Sekarang dia (Rizky) punya handphone canggih. Dan bisa pakainya, jadi bisa pesen Go-Jek atau Grab sendiri,” ujar Suyatman yang bergelar KRT Cermowicoro, lantas tertawa.
Suyatman pun sangat berharap sang cucu bisa bersiteguh dengan jalan yang dipilihnya sekarang. ”Semoga dia bisa jadi orang berguna. Juga, semoga dia terus punya semangat untuk melestarikan budaya Jawa,” tuturnya. (*/c10/ttg/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post