Oleh: Husnun N Djuraid , dosen Universitas Muhammadiyah Malang
Negeri jiran Malaysia menjadi pusat perhatian dunia. Mantan PM Malaysia Mahathir Muhammad kembali menduduki jabatannya itu. Partai Koalisi Pakatan Harapan yang dipimpinnya mengantongi suara lebih banyak dibanding pesaing utama Koalisi Barisan Nasional yang dipimpin PM Najib Razak.
Kemenangan Mahathir ini menarik untuk dicermati karena memang istimewa. Banyak rekor di dalamnya. Dengan usianya yang mencapai 92 tahun, tokoh yang biasa disapa Dr M itu akan menjadi perdana menteri atau kepala negara tertua di dunia. Dr M kembali menduduki jabatan yang 10 tahun yang lalu diserahkan kepada anak didiknya, Najib Razak. Ini mengakhiri dominasi partai penguasa UMNO yang mendominasi perpolitikan Malaysia selama 60 tahun.
Awalnya Mahathir menjadi pendukung Najib yang merupakan anak didik politiknya. Tapi belakangan dia berbalik menjadi penentang setelah sang murid terindikasi melakukan tindak korupsi. Tidak tanggung-tanggung. Najib dikaitkan dengan korupsi USD 700 juta yang melibatkan perusahaan 1Malaysian Development Berhard (1MDB), sebuah perusahaan pengelola investasi negara.
Menjelang pemilu, Najib sangat sibuk menangkis tudingan korupsi tersebut. Bahkan aparat hukum setempat sudah memberikan klarifikasi bahwa dia tidak terlibat. Tapi tuduhan bukan hanya dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. Kejaksaan AS tengah menyelidiki aliran dana USD 4,5 miliar dari 1MDB kepada kroni sang PM. Dari jumlah tersebut, USD 700 juta masuk ke rekening pribadi Najib.
Kasus inilah yang membuat Mahathir geram dan harus turun gunung membatalkan niatnya pensiun. Kasus korupsi itu mendorong masyarakat Malaysia untuk berusaha menurunkan Najib. Mereka muak dengan perilaku Najib dan keluarganya yang glamour menghabiskan banyak Ringgit untuk membeli barang branded di luar negeri. Istri Najib dikenal sangat suka belanja di luar negeri memborong barang mahal.
Rakyat Malaysia sudah tidak tahan, ingin Najib segera turun. Sudah dimulai melalui cara konstitusional dalam dua kali pemilu. Baru pada pemilu tahun ini dominasi kekuatan itu runtuh. Yang meruntuhkan justru mantan orang yang pernah membawanya sebagai perdana menteri. Dia pernah berkuasa di Malaysia sejak 1981 sampai 2003, sangat lama. Meskipun demikian dia masih berambisi untuk kembali menduduki jabatan PM, karena keinginan untuk membersihkan korupsi.
Kembalinya Mahathir ke kursi PM mematahkan anggapan bahwa orang tua sudah kehabisan daya. Seperti dalam bidang lain, kekuasaan dibatasi dengan ketat. Di Indonesia, 60 tahun adalah usia pensiun, bahkan di dunia swasta lebih muda lagi, 50 tahun sampai 55 tahun. Saat ini banyak anak muda menduduki posisi puncak pada usia 40 tahun. Tak lama setelah itu, sekitar lima tahun dia harus lengser.
Tapi itu tidak berlaku di dunia politik. Mahathir memberi contoh kongkret, bahwa usia bukan alangan untuk berpolitik. Bagaiaman dengan Indonesia ? Tak ada salahnya belajar dari negeri jiran yang sering dicemburui. Mahathir bisa menjadi inspirasi tokoh dalam negeri untuk turun gunung. Silakan para politisi tua untuk mencontoh Mahathir.
Hanya saja ada yang berbeda dengan Malaysia. Rakyat tetangga itu ternyata sangat sensitif terhadap isu korupsi. Tuduhan korupsi terhadap Najib tidak sampai ke pengadilan. Bahkan aparat hukum setempat buru-buru membuat statemen bahwa Najib tidak korupsi. Secara hukum Najib belum terbukti korupsi, tapi common sense tidak bisa dibohongi.
Dibanding Indonesia, isu korupsi di Malaysia lebih senyap. Bisa jadi memang tidak ada korupsi, tapi bisa juga karena penegak hukumnya masuk angin. Kasus korupsi 1MDB – kalau dilihat nominalnya lebih besar dibanding mehakorupsi E-KTP – jadi contoh betapa korupsi juga mewabah di Malaysia. Hanya saja memang tidak seheboh di Indonesia yang KPK nya sangat sibuk setiap hari menangkapi pejabat korup.
Kalau rakyat Malaysia sangat sensitif terhadap korupsi, tidak demikian dengan tetangganya. Rakyat di sini sangat toleran, tepo sliro, penuh maklum, bahkan terhadap koruptor sekalipun. Koruptor yang ditangkap KPK – seharusnya menjadi common enemy – justru menjadi hero. Beberapa koruptor yang mendekam di tahanan justru mendapat nilai tertinggi dalam survei. Aneh.
Hilangnya kepekaan terhadap korupsi karena terlalu banyaknya korupsi. Lantaran sudah terlalu sehingga menjadi hal yang biasa. Kalau ada pejabat ditangkap karena korupsi, dianggap sebagai hal yang biasa. Bahkan ada kecenderungan kick back, KPK dianggap sebagai lembaga yang zalim. Para koruptor yan tertangkap itu kerap berdalih ‘’Saya dizalimi KPK.’’ Dan itu dipercaya oleh rakyatnya. Ironis.
Apakah Malaysian Effect akan berembus ke sini ? Tergantu dari kepekaan masyarakat terhadap korupsi. Kepala negaranya (mungkin) tidak korupsi, tapi jajaran di bawahnya terutama kepala daerah, banyak yang korupsi. Sebenarnya sama-sama korup. Dalam gelaran Pilkad serentak saat ini, jarang calon yang menjadikan antikorupsi sebagai tagline. Kita tunggu, apakah koruptor akan tetap dipilih. Indonesia memang beda dengan Malaysia. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: