SAMARINDA-Upah minimum provinsi (UMP) Kaltim 2020 telah ditetapkan, Jumat (2/11). Angkanya sebesar Rp 2.981.378. Meningkat 8,51 persen dibandingkan UMP 2019 sebesar Rp 2.747.560. Kini, Pemprov Kaltim tengah menyiapkan sanksi bagi perusahaan yang tak mematuhi ketetapan tersebut.
Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim, yang juga Asisten II Sekprov Kaltim Abu Helmi mengatakan, meski mengalami kenaikan, UMP 2020 itu dianggap belum ideal bagi para pekerja. Khususnya bagi mereka yang sudah berkeluarga. “Sejauh ini, belum ada perusahaan yang keberatan,” bebernya.
Diungkapkannya, jika nanti masyarakat ada yang tidak dibayar sesuai UMP, maka mereka bisa melapor ke kantor Disnaker kota atau kabupaten, maupun Disnakertrans Kaltim. Nantinya, jika perusahaan terbukti melanggar peraturan tersebut, pemerintah bisa menjatuhkan sanksi.
Angka kenaikan UMP 8,51 persen itu merujuk surat edaran Menteri Ketenagakerjaan pada 15 Oktober 2019. Dalam surat tersebut, angka 8,51 persen dihitung dari data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional 2019, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12 persen. Sedangkan, angka inflasi sebesar 3,39 persen. Kenaikan 8,51 persen itu pun berlaku bagi seluruh provinsi di Indonesia.
Sementara itu, Ketua DPD Forum Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan Indonesia (FSP Kahutindo) Kaltim Sukardjo mengatakan, pihaknya setuju dengan angka yang ditetapkan. Sebab, penetapan UMP 2020 itu sudah sesuai regulasi.
Namun, Sukardjo mengungkapkan bahwa angka Rp 2,9 juta tersebut sebenarnya belum layak. Apalagi untuk pekerja yang sudah berkeluarga. “Kalau realistisnya, orang berkeluarga Rp 5 juta saja masih kurang. Namun, biasanya ‘kan perusahaan menggaji berdasarkan UMK (upah minimum kota),” bebernya.
Namun, alih-alih Rp 5 juta, di lapangan masih ditemukan pekerja yang digaji tak sesuai UMP. Khususnya pekerja di usaha skala menengah. Pihaknya banyak menemukan pekerja yang digaji Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Diakui Sukardjo, nilai tawar pekerja memang masih rendah.
Penyebabnya, lowongan kerja sempit dan skill yang kurang memadai. Sehingga, ketika tak mendapat haknya, mereka banyak yang pasrah daripada kehilangan pekerjaan. Saat ini, pihaknya tengah mengadvokasi karyawan di dua perusahaan yang tidak memberikan hak-hak pekerjanya sesuai aturan.
Sukardjo meyakini, masih banyak kasus serupa, tetapi pekerjanya takut melaporkan. “Inilah yang harus dipikirkan pemerintah. Jangan hanya gencar undang investasi terus masuk, tapi kesejahteraan pekerjanya tidak diperhatikan,” sambungnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Reza Fadillah mengatakan, pengusaha yang berada di bawah Apindo menerima keputusan itu. Namun, Reza menyadari kemampuan finansial perusahaan satu dengan yang lainnya belum tentu sama.
“Angka UMP itu bagi perusahaan besar tidak masalah. Tetapi, skala menengah dan kecil, bakal agak susah,” kata Reza. Maka, Apindo disebut Reza tengah berupaya mengajukan solusi kepada pemerintah dengan klasterisasi upah sesuai kelas usaha.
Jadi, penetapan upah didasarkan klasifikasi usahanya apakah besar, menengah, atau kecil. Sebab, aturan pengupahan ini harus diterapkan pengusaha. Namun, usulan terkait klasterisasi itu masih dalam tahap diskusi di kementerian terkait untuk diajukan ke pemerintah. (nyc/rom/k15/prokal)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: