Oleh: Lukman M
Redaktur Bontang Post
Jumat (1/6) kemarin, bangsa ini memperingati hari kelahiran Pancasila, ideologi yang menjadi dasar negara tercinta Indonesia. Sayangnya peristiwa yang sedang ramai belakangan ini mencoreng dan merupakan penghinaan terhadap momen penuh makna tersebut. Yang ironisnya dilakukan oleh pihak-pihak yang mengaku paling Pancasila.
Belakangan ini, gaji pimpinan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi sorotan masyarakat. Hal ini dikarenakan gaji para pimpinan lembaga tersebut terbilang fantastis, melampaui Rp 100 juta. Gaji super besar yang bahkan melampaui gaji presiden RI ini dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2018.
Kontan saja terbitnya perpres ini menimbulkan polemik. Secara nominal, nilai gaji tersebut dianggap terlalu tinggi di tengah melemahnya kondisi ekonomi Indonesia. Angka tersebut juga dianggap tidak sesuai dengan beban kerja anggota BPIP. Para pengamat mempertanyakan kepatutan dari keputusan presiden yang di antaranya membayar Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP sebesar Rp 112 per bulan.
Menariknya, meski bertajuk Perpres, sang presiden, Joko Widodo justru seakan lepas tangan dengan mengatakan bahwa keputusan tersebut berdasarkan analisa dan kalkulasi kementerian, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Hal yang sangat disayangkan mengingat selama ini pemimpin yang karib yang disapa Jokowi itu selalu mendengungkan jargon “Revolusi Mental”.
Ya memang pembinaan ideologi Pancasila itu penting, apalagi di tengah kondisi negara yang konon sedang darurat radikalisme. Namun, bukan lantas menjadi pembenaran untuk bisa mengeluarkan anggaran yang tidak sesuai dengan semangat Pancasila itu sendiri. Apakah etis, para pimpinan, para guru bangsa, menerima gaji sebesar itu di tengah kondisi masyarakat yang sedang tidak menentu?
Para pengamat bahkan membandingkan gaji BPIP ini dengan gaji CEO perusahaan. Seharusnya bila badan ini memiliki tujuan yang mulia, kebangsaan, dan kenegaraan, semestinya gajinya tak seperti gaji CEO. Karena tujuan kinerjanya bukan profit taking, bukan juga profit oriented. Melainkan untuk kepentingan bangsa dan negara yang semestinya tanpa pamrih.
Pun begitu, output dari BPIP ini sulit untuk diukur. Karena apa yang dikerjakannya berhubungan dengan ideologi yang bisa multi tafsir. Berbeda dengan pejabat lain yang outputnya bisa diukur, seperti Gubernur BI digaji Rp 170 juta, bertugas mengatur stabilitas rupiah dan ekonomi. Atau gaji dan tunjangan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 70 juta.
Pembinaan Pancasila sejatinya bukan barang baru di negeri ini. Jauh sebelum rezim ini memunculkan BPIP, sudah pernah ada yang namanya Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Ada juga mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dalam perjalanannya terus bertransformasi hingga kini dikenal dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Lantas di bangku kuliah, Pendidikan Pancasila seakan menjadi mata kuliah wajib yang harus dipahami mahasiswa. Jadi, sebenarnya upaya-upaya pembinaan tersebut sudah ada di bangku sekolah dengan para guru yang berjasa melakukannya. Tentu akan sangat mendukung bila pemerintah memunculkan BPIP.
Tapi apakah pantas bila para pemimpin lembaga tersebut yang sudah jelas orang-orang pintar (yang juga sudah kaya) diberi gaji mencapai ratusan juta rupiah? Sementara para guru, para dosen, yang telah mengajarkan Pancasila selama bertahun-tahun lamanya tetap hidup dengan gaji pas-pasan dan berjuang bertahan hidup dari hari ke hari.
Sehingga ketimbang mengelontorkan gaji sebanyak itu yang tidak proporsional, akan lebih elok bila anggaran tersebut digunakan untuk menyejahterakan para guru. Khususnya para guru di daerah-daerah perbatasan hidup serba berkekurangan. Bukankah hal demikian lebih terasa Pancasila-nya ketimbang pemborosan anggaran untuk para pemimpin yang sejatinya sudah sejahtera.
Mengatasnamakan Pancasila, gaji yang begitu besar ini menurut saya jelaslah bentuk penghinaan Pancasila sebagai dasar negara. Seharusnya, pemerintah dan para pemimpin negara dapat lebih bijak dan menjalankan Pancasila, yaitu dengan lebih mendahulukan kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan pribadi atau golongan.
Para pimpinan yang harusnya sudah mengamalkan Pancasila ini, semestinya memberikan teladan kepada masyarakat. Teladan untuk hidup sederhana di antaranya dengan menolak gaji super besar yang tidak proporsional, demi menjalankan pekerjaan yang semestinya dilakukan dengan tulus dan penuh dedikasi, sesuatu yang mestinya dilakukan para guru bangsa.
Atau bila tetap memutuskan menerima gaji tersebut, bisa memberikan contoh lain misalnya dengan mengalihkannya kepada rakyat miskin yang jauh lebih membutuhkan. Bukankah yang demikian itu lebih Pancasila ketimbang sekadar menerima uang rakyat dengan dalih bekerja atas nama Pancasila? Gaji itu dari rakyat, maka sudah sewajarnya kembali ke rakyat.
Faktanya, meski sosok Megawati Soekarnoputri memegang amanah Ketua Dewan Pengarah BPIP, namun partai penguasa yang dia pimpin secara terang-terangan menunjukkan perilaku bertentangan nilai-nilai Pancasila. Lihatlah betapa brutalnya massa partai penguasa menyerang kantor salah satu media massa cetak di Jawa Barat. Gara-gara pemberitaan media tersebut dianggap menghina sosok putri proklamator terkait gaji kontroversial BPIP.
Saking brutalnya, ada staf media tersebut yang dipukul. Bukannya menyayangkan atau menyesalkan, salah seorang elite partai politik bersangkutan malah seakan bangga dan membenarkan penyerangan tersebut. Tersirat dalam komentar sang elite yang menyebut apabila pemberitaan itu terjadi di Jawa Tengah, maka kantor media yang menerbitkan akan rata dengan tanah. Gila!
Tentu aksi penyerangan itu berikut komentar tokoh elite yang mendukungnya sangatlah disayangkan. Apakah penyerangan tersebut adalah bentuk pengamalan Pancasila? Jelas bukan. Tidak ada satu pun butir-butir Pancasila yang membenarkan tindakan main hakim sendiri alias persekusi.
Bila penyerangan ini dibenarkan dan dibiarkan, lantas apa bedanya para kader partai penguasa dengan ormas keagamaan yang selama ini dikecam dan dicap “Radikal”? Bukankah apa yang dilakukan para kader partai tersebut adalah aksi radikalisme itu sendiri. Ironis memang, partai penguasa yang berkoar-koar memerangi radikalisme, yang menyebut dirinya “Saya Pancasila”, ternyata adalah pelaku radikalisme itu sendiri.
Inilah penghinaan berikutnya terhadap Pancasila di pekan ini. Setelah gaji kontroversial yang tak sesuai Pancasila, berikutnya aksi main hakim sendiri, persekusi dari partai pemerintah yang mengaku paling Pancasila. Terlepas dari benar tidaknya pemberitaan media bersangkutan, tetap tidak dibenarkan melakukan aksi kekerasan. Dalam hal ini, ada koridor hukum yang bisa ditempuh untuk menyelesaikannya. Itulah yang diajarkan Pancasila!
Kasus penyerangan ini tentu menjadi tamparan keras bagi BPIP dengan Megawati sebagai ketuanya. Gaji yang sebegitu besar nyatanya tidak mampu digunakan untuk mewujudkan masyarakat yang Pancasila. Alih-alih mengaplikasikan Pancasila ke seluruh penjuru negeri, mengaplikasikan Pancasila kepada kader-kader partainya sendiri saja tidak sanggup. Lantas, apakah masih layak digaji ratusan juta rupiah yang semua itu bersumber dari uang rakyat?
Kenyataannya, Pancasila yang selalu didengung-dengungkan belakangan ini justru dijadikan “mainan”, dijadikan “barang jualan” demi memenuhi keinginan pihak-pihak. Jargon “Revolusi Mental” dan “Saya Pancasila” berakhir sebagai pepesan kosong. Yang mengaku Pancasila, belakangan terbukti korupsi. Yang mengklaim “Saya Pancasila”, nyatanya belakangan membawa kabur uang negara. Sungguh, benar-benar penghinaan terhadap Pancasila.
Sudah saatnya Pemerintahan Jokowi melakukan kerja nyata tanpa menjual jargon-jargon kosong. Karena beberapa kebijakan yang dikeluarkan kenyataannya tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ambil contoh masalah aset, hukum, tenaga kerja, dan yang terbaru, masalah gaji dan aksi radikalisme kader partai penguasa. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama-sama apalagi menjelang dan memasuki tahun-tahun politik.
Saya percaya, tak perlu membuang banyak anggaran untuk bisa mewujudkan Pancasila. Cukup para pemimpin memberikan contoh dan teladan kepada rakyatnya. Melalui perilaku-perilaku terpuji berlandaskan Pancasila, saya yakin masyarkat pun akan dengan sendirinya mengikuti tanpa harus didikte atau ditatar. Karena keteladanan jauh lebih kuat dan berdampak dari sekadar memberikan perintah.
Misalnya dengan mencontohkan kesederhanaan, keadilan tanpa pilih kasih, hingga penyelesaian masalah melalui musyawarah. Jangan malah memberikan contoh yang buruk seperti pemborosan anggaran, ketimpangan penegakan hukum, atau malah aksi-aksi kekerasan yang kesemuanya menghina Pancasila. Percuma saja program-program Pancasila yang bermutu kalau para pemimpinnya sendiri saja tak mengamalkan.
Cukuplah penghinaan atas Pancasila, jangan lagi diteruskan. Jangan lagi membuat para founding fathers kita menangis di alam sana. Apalagi dalam pekan kelahiran ideologi tercinta ini. Kalaupun kita belum mampu mewujudkan Pancasila, setidaknya berusahalah untuk tidak menghinanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang tak terpuji. Mari kita bersama-sama mewujudkan Indonesia yang Pancasila dengan sebenar-benarnya, bukan sekadar berteriak “Saya Pancasila”. Merdeka! (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: