bontangpost.id – Media sosial tengah diramaikan oleh curhatan seorang ibu, bernama Nurhayati. Dia mengaku sebagai pelapor dugaan kasus korupsi, tetapi malah ikut terseret dan ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam unggahan video yang beredar di media sosial berdurasi dua menit, Nurhayati mengaku sebagai Kepala Urusan Keuangan (Kaur) atau Bendahara Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Dia mengaku kecewa dengan kinerja aparat penegak hukum yang menetapkan dirinya sebagai tersangka.
“Saya ingin mengungkapkan kekecewaan saya terhadap aparat penegak hukum, di mana dalam mempertersangkakan saya. Saya pribadi yang tidak mengerti akan hukum itu merasa janggal, karena saya sendiri sebagai pelapor,” kata Nurhayati dalam video yang beredar di media sosial, Minggu (28/2).
Nurhayati mengaku telah meluangkan waktunya selama dua tahun untuk membantu proses penyidikan atas dugaan korupsi yang dilakukan Kepala Desa Citemu berinisial S. Tetapi pada Desember 2021, Nurhayati malah ikut terseret ditetapkan sebagai tersangka.
“Pada ujung tahun 2021, saya ditetapkan sebagai tersangka atas dasar karena petunjuk dari Kajari. Lantas apakah atas petunjuk dari Kajari saya ditetapkan tersangka, hanya untuk mendorong proses P21 Kepala Desa Citemu tersebut,” beber Nurhayati.
Nurhayati lantas meminta perlindungan atas pelaporannya itu. Terlebih memang ada dugaan Kepala Desa Citemu berinisial S terlibat korupsi.
Dia menegaskan, tidak terlibat dalam praktik korupsi yang diduga melibatkan Kepala Desa Citemu berinisial S. Dia pun memastikan tidak pernah menikmati aliran uang korupsi.
“Saya bersumpah tidak menerima uang hasil korupsi. Bahkan, saya juga berani bersumpah kalau uang itu tidak pernah pulang ke rumah saya satu detik pun tidak pernah,” tegas Nurhayati.
Terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Cirebon Hutamrin menyatakan, penetapan tersangka terhadap Nurhayati merupakan kewenangan penyidik. Penyidikan dugaan kasus korupsi ini berawal dari Polres Cirebon Kota yang menetapkan Kepala Desa Citemu, Supriyadi sebagai tersangka.
Dalam proses penyidikan, lanjut Hutamrin, hasil pemeriksaan Inspektorat terjadi penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Supriyadi bersama dengan bendaharanya, bernama Nurhayati terhadap anggaran desa tahun 2018-2020. Diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 800 juta.
Hutamrin menyampaikan, pada 23 November 2021 lalu, Kejari Kabupaten Cirebon menggelar ekspos dugaan kasus korupsi Desa Citemu. Kesimpulan dalam ekspose tersebut yakni untuk melakukan pendalaman terhadap saksi Nurhayati.
“Tidak ada kata-kata agar saksi Nurhayati ini jadi tersangka. Tidak ada. Itu kami memberikan petunjuk agar pendalaman, karena kewenangan penyidikan itu penyidik tidak ada yang lain,” ungkap Hutamrin.
Lantas pada 2 Desember 2021, Kejari Cirebon menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Dalam SPDP itu menyatakan, Nurhayati sebagai tersangka.
“Jadi, bukan jaksa penuntut atau pun Kajari yang memerintahkan dijadikan sebagai tersangka,” ujar Hutamrin.
Polres Cirebon Kota, Polda Jawa Barat, menetapkan bendahara Desa Citemu Nurhayati sebagai tersangka korupsi dana desa.
”Penetapan Nurhayati sebagai tersangka juga sudah sesuai kaidah hukum. Berdasar petunjuk yang diberikan jaksa penuntut umum,” kata Kapolres Cirebon Kota AKBP Fahri Siregar seperti dilansir dari Antara di Cirebon.
Fahri mengatakan, penetapan tersangka bendahara Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, setelah pihaknya beberapa kali melengkapi berkas perkara untuk kasus korupsi dana desa yang dilakukan Kepala Desa Citemu Supriyadi. Sebab, berkas ditolak jaksa penuntut umum, dengan alasan belum lengkap.
Menurut Fahri, Supriyadi melakukan korupsi dana desa Rp 818 juta, yang dilakukan sejak 2018 sampai dengan 2020.
Fahri menjelaskan, setelah ditolak, pihaknya melakukan pendalaman kembali kasus tersebut. Kemudian mengarah kepada bendahara Desa Citemu Nurhayati. Yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka setelah memenuhi bukti.
”Saudari Nurhayati diperiksa secara mendalam, apakah perbuatan itu (mencairkan dana) melawan hukum atau tidak. Dan dari hasil penyidikan bahwa saudari Nurhayati masuk dalam memperkaya Supriadi sehingga ditetapkan sebagai tersangka,” tutur Fahri.
Fahri mengaku belum menemukan bukti terkait aliran dana desa ke kantong pribadi Nurhayati. Namun, pihaknya memastikan penetapan tersangka Nurhayati sudah sesuai kaidah hukum.
Menurut Fahri, perbuatan bendahara yang menyerahkan uang dana desa langsung ke kepala desa bisa dikategorikan melawan hukum. ”Walaupun saat ini kami belum mendapati Nurhayati menikmati uangnya,” ujar Fahri.
Fahri menambahkan, Nurhayati dikenakan pasal 66 Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur terkait tata kelola transaksi keuangan menyebabkan kerugian negara. ”Yang bersangkutan bisa dikenakan pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 1999 jo UU No 20 Tahun 2001,” papar Fahri.
Penetapan tersangka terhadap pelapor dugaan korupsi bernama Nurhayati dikhawatirkan menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Maneger Nasution berpendapat, penetapan tersangka terhadap pelapor tentu menjadi preseden buruk.
“Mantan Bendahara Desa Citemu, Nurhayati yang mengungkap kasus kerugian negara sebesar Rp 800 juta dari 2018 hingga 2020 ditetapkan menjadi tersangka. Ini tentu menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dana desa yang dilakukan oknum,” kata Nasution dalam keterangannya, Minggu (20/2).
Menurut Nasution, jika benar Nurhayati telah menjalankan tugasnya sebagai bendahara desa sesuai tupoksi, di mana dalam mencairkan uang dana desa di bank BJB sudah mendapatkan rekomendasi camat dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), seharusnya yang bersangkutan tidak boleh dipidana.
“Pasal 51 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), menyebutkan, orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana,” tegas Nasution.
Nasution mengatakan, sebagai pelapor, sejatinya Nurhayati diapresiasi. Penetapan tersangka terhadap pelapor dikhawatirkan menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Kasus ini membuat para pihak yang mengetahui tindak pidana korupsi tidak akan berani melapor, karena takut akan ditersangkakan seperti Nurhayati,” ujarnya.
Nasution juga menilai, status tersangka yang disematkan kepada pelapor kasus korupsi mencederai akal sehat, keadilan hukum dan keadilan publik. LPSK, lanjut Nasution, mengingatkan bahwa posisi hukum Nurhayati sebagai pelapor dijamin oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban untuk tidak mendapatkan serangan balik, sepanjang laporan itu diberikan dengan itikad baik.
“Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Jika ada tuntutan hukum terhadap Pelapor atas laporannya tersebut, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 13 Tahun Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban),” beber Nasution.
Bahkan, kata Nasution, dalam PP No.43 Tahun 2018, dikatakan masyarakat yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk piagam. Dengan PP 43/2018 tersebut, masyarakat yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk piagam dan premi yang besarannya maksimal Rp 200 juta.
“LPSK akan ambil langkah proaktif menemui yang bersangkutan guna menjelaskan hak konstitusional Nurhayati untuk mengajukan permohonan perlindungan kepada negara khususnya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), jika yang bersangkutan membutuhkan perlindungan,” pungkasnya. (jawapos.com)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: