SAMARINDA – Kenaikan harga daging ayam di sejumlah pasar tradisional di Samarinda mulai dikeluhkan warga. Pasalnya, kenaikan harga daging ayam ini sudah berdampak pada kenaikan harga makanan di sejumlah tempat makan di Kota Tepian selama sepekan terakhir.
Salah satu penjual makanan di Jalan Pramuka, Sri mengatakan, terpaksa menaikkan harga makanan yang semula seharga Rp 11 ribu menjadi Rp 12 ribu sebagai dampak naiknya harga daging ayam. Pasalnya, harga daging ayam yang biasa dijual Rp 35 ribu, kini sudah naik menjadi Rp 48 ribu. Bahkan untuk satu ekor ayam saja sudah ada yang dijual sampai Rp 65 ribu.
Sri pun merasa heran dengan mendadak melonjaknya harga di pasaran terutama ayam. Pasalnya selama menjadi penjual makanan, baru kali ini ia merasa harga ayam benar-benar sangat mahal. Hal itu berimbas pada keuntungan yang ia peroleh sehari-hari.
“Kalau harga makanannya dinaikkan lagi, pasti tidak ada yang mau beli. Biarlah jualan ala kadarnya, sembari dimakan. Kalau warungnya ditutup, tidak ada pemasukan,” kata dia, saat disambangi media ini di warungnya di Jalan Pramuka, Selasa (24/7) kemarin.
Sebagai pedagang kecil, Sri hanya bisa pasrah dan bertahan dengan keadaan yang ada. Untuk menyiasati harga ayam mahal, sekarang Sri hanya bisa memperkecil ukuran ayam agar dapat mengais sedikit keuntungan dari hasil jualannya.
Selain itu, sebagai alternatif untuk menekan pengeluaran, ia mengaku, mulai membeli daging ayam beku. “Ini daging ayam beku,” ujarnya sembari menunjuk daging ayam goreng di depannya.
Terpisah, kenaikan harga makanan ini turut disesalkan seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) sekaligus Ketua BEM FEB Unmul, Freijae Rakasiwi. Ia mengatakan, kenaikan harga beberapa barang sudah mulai terasa dan ini sangat merugikan masyarakat.
Menurutnya, kenaikan harga barang ini termasuk dampak dari kebijakan pemerintah pusat yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Jika sebelumnya ia biasa membeli makanan seharga Rp 13 ribu. Namun sejak naiknya harga barang, dirinya kini harus mengeluarkan uang Rp 15 ribu untuk satu kali makan.
“Hal ini jelas merugikan masyarakat menengah ke bawah. Karena hingga saat ini, tidak ada keseriusan dari pemerintah kota maupun provinsi untuk menindaklanjuti masalah ini. Dan tentu saja membuat kami kecewa. Kami ingin mendesak pemerintah untuk menstabilkan harga-harga yang ada di pasaran,” sebut Freijae. (*/dev)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: