bontangpost.id – Perkara suap atau gratifikasi yang menyeret Aditya Maharani Yuono dan Deky Aryanto berakhir kemarin (30/11). Di persidangan terakhir itu, keduanya dinyatakan bersalah telah menyuap Ismunandar Cs untuk memengaruhi kebijakan pelaksanaan proyek infrastruktur di Kutai Timur pada 2019-2020.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang digawangi Agung Sulistiyono bersama Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo itu langsung diterima kedua terdakwa, tanpa pikir panjang. Aditya Maharani Yuono diadili dengan vonis selama 1 tahun 6 bulan pidana penjara atas ulah memberi sejumlah uang atau barang senilai Rp 6,1 miliar ke Ismunandar (bupati Kutai Timur nonaktif) lewat tiga kepala dinas.
Yakni Musyaffa (kepala Badan Pendapatan Daerah), Suriansyah alias Anto (kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah), dan Aswandini (kepala Dinas Pekerjaan Umum).
Pemberian awal terjadi sepanjang Oktober–Desember 2019 sebesar Rp 5 miliar lewat Musyaffa secara bertahap. Meski di persidangan, uang itu diklaim sebagai utang-piutang. Namun, menurut majelis dalam amar putusan, hal itu bertentangan dengan fakta yang terungkap sepanjang perkara ini bergulir.
“Dari pemberian itu, nyatanya terdakwa dipermudah untuk mendapat 19 proyek penunjukan langsung (PL) dan enam proyek lelang dari Pemkab Kutai Timur,” ucap anggota majelis Ukar Priyambodo membacakan putusan. Tak sampai di situ, sepanjang proyek dikerjakan terdakwa, ketika pencairan terdakwa pun mendapat kemudahan pencairan dengan bantuan dari beberapa kepala dinas tersebut hingga Ismunandar sendiri.
Proyek itu dikerjakan, ada uang atau barang yang juga mengalir sepanjang Februari-Juni 2020 dari terdakwa Aditya. Dari pembiayaan pemberangkatan rombongan Ismunandar ke acara keagamaan di Banjarmasin, Kalsel, hingga pembiayaan kampanye Ismunandar di Pilkada Kutim 2020.
“Memang meski beberapa kali pemberian itu tak berwujud langsung diberikan ke Ismunandar tapi lewat beberapa pihak. Namun, majelis menilai, manfaat pemberian terdakwa itu langsung dirasakan Ismunandar, sehingga hal ini bisa dikategorikan sebagai suap,” kata ketua majelis Agung Sulistiyono.
Dengan demikian, majelis sepakat dengan Pasal 5 Ayat 1 Huruf a UU 31/1999 sebagaimana diubah dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP yang diterapkan JPU KPK dalam tuntutan. “Dengan demikian, majelis hakim menuntut terdakwa Aditya Maharani Yuono selama 1 tahun 6 bulan pidana penjara,” lanjut Agung membaca putusan.
Selain pidana penjara, majelis juga menetapkan denda sebesar Rp 250 juta yang jika tak diganti paling lambat sebulan selepas perkara ini inkrah, maka diganti pidana kurungan selama 4 bulan.
JPU KPK Ali Fikri memilih opsi pikir-pikir selama tujuh hari untuk menentukan sikap atas putusan yang dibacakan itu. Sebelumnya, pada 16 November lalu, juru bicara KPK ini menuntut direktur PT Turangga Triditya Perkasa itu selama 2 tahun pidana penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan pidana kurungan. Untuk terdakwa Deky Aryanto, majelis menimbang jika ada beberapa delik yang mengarah ke pidana suap atau gratifikasi yang dilakukan terdakwa.
Hal itu, pemberian uang atau barang senilai Rp 780 juta ke Encek Unguria Riarinda Firgasih (mantan ketua DPRD Kutai Timur) sepanjang 2017-2019, dan pemberian senilai Rp 11 miliar ke Ismunandar lewat Musyaffa atau Suriansyah alias Anto. Pemberian ke Encek dimulai ketika terdakwa mengelola pokok pikiran istri Ismunandar itu selaku anggota legislatif. Sementara pemberian uang Rp 11 miliar ke sang bupati, dinilai majelis, sebagai kompensasi atas 411 proyek penunjukan langsung di Dinas Pendidikan Kutai Timur yang dihandel terdakwa pada 2020.
Semua itu berangkat dari dana Rp 250 miliar di APBD Kutai Timur 2020 hasil telaahan Musyaffa. Yang bisa digunakan jadi operasional Ismunandar untuk bertarung di Pilkada Kutai Timur 2020. Dari kocek itu, terdakwa Deky dan Aditya Maharani mendapat sejumlah proyek di lingkungan Pemkab Kutim. “Tentunya dengan fee 10 persen sebagai kompensasi yang ditujukan untuk Ismunandar,” kata majelis hakim dalam amar putusan.
Pasal alternatif pertama, Pasal 5, serupa terdakwa Aditya, disepakati majelis jadi pasal yang mengikat terdakwa atar perbuatannya. Untuk besaran pidana bersulih jadi dua tahun pidana penjara dengan denda dan pidana pengganti serupa terdakwa Aditya. Sebelumnya, JPU KPK menuntut direktur CV Nulaza Karya itu selama 2 tahun 6 bulan pidana penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Terpangkas enam bulan membuat komisi antirasuah pikir-pikir selama tujuh hari untuk menerima atau mengajukan banding atas putusan yang diberikan tersebut.
Dua Saksi Untuk Ismunandar Cs
Selepas kedua penyuap diadili, giliran para penerima yang disidang. JPU KPK menghadirkan empat saksi untuk Ismunandar, Encek Unguria Riarinda Firgasih, Musyaffa, Suriansyah alias Anto, dan Aswandini Eka Tirta. Saksi itu, Sulaksono (TK2D di Bagian Protokol Sekretariat Kutai Timur) dan tiga orang rekanan, H Mochtar alias Anto, Sernita Alias Sarah, dan Khadijah. Di depan majelis yang dipimpin Agung Sulistiyono bersama Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo, Sulaksono menuturkan, sering diminta untuk mengurusi perjalanan dinas Ismunandar.
Medio Februari 2020, rekeningnya mendapat transferan uang dari Aditya Maharani Yuono sebesar Rp 200 juta. Semula dia tak tahu tujuan uang itu. Tak lama setelah uang itu masuk ke rekeningnya, dia mendapat telepon dari Musyaffa jika uang itu digunakan untuk akomodasi perjalanan rombongan bupati ke Banjarmasin untuk menghadiri acara keagamaan. “Sempat saya tanya ke pak bupati (Ismunandar). Katanya digunakan sesuai kebutuhan,” tuturnya bersaksi.
Uang itu digunakannya untuk menyewa bus mengangkut rombongan hingga biaya makan dan menginap selama acara digelar. Terlebih, kegiatan itu berlangsung bukan atas nama pemda. “Uangnya habis dipakai untuk kebutuhan selama kegiatan itu. saya enggak buat laporan karena kata pak bupati sebelumnya disesuaikan saja,” sambungnya. Saksi Mochtar menuturkan hal mengejutkan. Rekanan yang diketahui mendapat proyek kontrak tahun jamak pembangunan jalan akses Pelabuhan Kenyamukan pada 2017 itu mengaku pernah diminta fee komitmen sebesar 5 persen dari nilai kontrak proyek yang ditanganinya.
Permintaan itu, sebut dia, langsung diajukan Aswandini ketika dia memenangi lelang proyek tersebut. “Tapi saya tolak. Karena pasti enggak sanggup. Toh saya menang lelang murni tanpa bantuan siapapun, sesuai jalur,” tuturnya. Proyek dengan pagu Rp 65 miliar itu didapatnya dengan penawaran sebesar Rp 58 miliar. Nilai itu, sebut saksi, sudah turun berkisar 20 persen dari pagu. Jika disisihkan untuk biaya entertaiment seperti yang diminta Aswandini justru malah buntung yang datang.
Penolakan itu berimbas pada pembayaran proyek yang dikerjakannya sering ngadat sekitar 5 bulan. Sejak saat itu, dia tak lagi mencari kegiatan yang bisa dikerjakan di Kutai Timur. Namun, dia sering mendengar selentingan dari beberapa rekanan lain jika Aditya Maharani Yuono dan Deky Aryanto menjadi anak emas di Pemkab Kutim. Pembayaran proyek kedua rekanan ini selalu lancar tanpa kendala berarti seperti kebanyakan kegiatan. Termasuk kegiatan yang dihandelnya. “Saya dengar sih begitu. Kalau Aditya dan Deky enggak selama kami yang kadang baru dibayar lima bulan setelah proyek kelar. Mereka 2-3 hari proyek kelar langsung dibayar,” akunya.
Mengapa pembayaran proyeknya ngadat, dia mengaku jawaban yang sama sering diterimanya. “Jawabannya keseringan belum ada uang. Nunggu urus ini itu,” imbuhnya. Asa sempat muncul setahun kemudian, pada 2018, ketika dirinya diminta Suriansyah alias Anto untuk menyediakan uang senilai Rp 1 miliar. Uang itu nantinya ditujukan untuk operasional Bupati Ismunandar dengan kompensasi mendapat proyek dari Pemkab Kutai Timur. “Tapi sampai sekarang, utang belum dibayar, proyek enggak ada,” keluhnya. Untuk saksi Sernita alias Sarah dan Khadijah, majelis mengagendakan ulang persidangan pada 7 Desember mendatang untuk memeriksa dua rekanan ini. (ryu/riz/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: