Berasal dari kampung yang dikenal sebagai industri seni relief membuat Joko Tri Sulistiyoko remaja memutuskan untuk turut menggelutinya.Berbekal pengalaman selama bertahun-tahun, pria yang akrab dipanggil Ajo ini sekarang punya misi memperkenalkan seni relief pada masyarakat Kota Taman.
LUKMAN MAULANA, Bontang
Ajo mulai mempelajari seni relief di tahun 2000, kala itu dia bergabung dengan sanggar Condrodimuko di kampungnya, Ambarawa, Semarang. Di sanalah dia menempa diri dan berguru kepada para ahli seni relief yang perlahan mengasah kemampuannya dalam seni dengan gambar timbul ini. Relief kaligrafi menjadi jenis karya yang paling dikuasai dan paling banyak dikerjakannya.
“Seni relief yang saya kerjakan meliputi kaligrafi timbul dan lukisan timbul. Tapi yang lebih sering saya kerjakan seni kaligrafi. Mungkin bisa dibilang bagian dari syiar agama,” katanya kepada Bontang Post.
Sebagai seniman relief, Ajo kerap mengikuti berbagai pameran. Termasuk pameran-pameran yang digelar di Kaltim. Namun kala itu belum terbersit di benaknya untuk berkarya di benua Etam. Baru ketika dia melihat data penjualan seni relief di Kaltim yang terbilang tinggi, mulailah muncul keinginan untuk pindah. Dengan lingkungan yang dinilai bersahabat, Bontang menjadi destinasi Ajo bersama keluarganya.
“Tahun 2014 saya pindah ke Bontang. Saya lihat Bontang ini memiliki lingkup wilayah yang kecil, tapi daya belinya bagus. Selain itu di sini karakter masyarakatnya luar biasa dan ada peluang usaha seni relief,” terang Ajo.
Di Bontang, anak ketiga dari empat bersaudara ini membuka galeri seni miliknya sendiri yang diberi nama “Ajo Art Gallery”. Selain menggarap seni relief kaligrafi dan lukisan, Ajo juga membuka jasa pembuatan pigura. Kata dia, jasa pembuatan pigura dibukanya untuk kebutuhan sehari-hari. Mengingat pesanan seni relief tidak datang setiap hari. Selain itu sebagaimana seni relief, belum banyak seniman di Bontang yang membuka usaha pembuatan pigura.
“Dari yang saya lihat untuk pigura, warga Bontang masih banyak yang mendatangkan dari Jawa. Tentu harganya lebih mahal. Alhamdulillah sekarang mulai banyak yang mengenal jasa pembuatan pigura di galeri saya. Karena termasuk umum, pasarnya juga lebih luas. Hampir setiap hari ada yang memesan pigura,” jelasnya.
Meski begitu seni relief menjadi spesialisasi Ajo dalam berkarya. Dengan bermodalkan lempengan aluminium dan kuningan, dia bisa menghasilkan berbagai karya seni relief meliputi kaligrafi dan lukisan. Ada yang dikerjakan dengan inspirasi dari dirinya sendiri, ada pula yang disesuaikan dengan pesanan pelanggan.
Berbeda dengan pigura, pembuatan seni relief relatif lebih sulit karena dibutuhkan ketelitian dan kesabaran tersendiri untuk bisa membuatnya. Waktu pembuatan satu karyanya pun tergantung tingkat kesulitan. Rata-rata satu pesanan seni relief bisa dikerjakannya dalam tempo satu hingga dua pekan. Sementara untuk kaligrafi umum seperti kalimat syahadat dan ayat kursi, bisa diselesaikannya dalam waktu tiga sampai empat hari.
“Biasanya orang-orang Islam, khususnya yang berada, membeli relief kaligrafi untuk dipasang di rumahnya,” ujar Ajo.
Karya-karya seni reliefnya memiliki harga yang bervariasi. Mulai dari yang termurah seharga Rp 500 ribu, hingga yang termahal seharga Rp 5 juta. Salah satu karya termahalnya yaitu relief pintu kakbah yang disebutnya sebagai mahakarya seni relief. Hal ini dikarenakan tingkat kesulitannya yang terbilang tinggi. Proses pembuatannya pun bisa memakan waktu satu bulan.
“Paling mahal karena memang paling sulit dibuat. Karena prosesnya membuat dua lembar kuningan terlihat seperti pintu,” bebernya.
Sekalipun mahal, Ajo menyebut ada saja yang membeli mahakarya ini. Biasanya para kolektor yang memang punya hobi mengumpulkan karya-karya seni relief. Orang seperti ini, menurut Ajo, dalam sekali pameran bisa memborong banyak karya seni. Memang selain membuka galerinya sendiri, ikut dalam berbagai pameran menjadi sarana promosi yang efektif.
“Saya selalu hadir di setiap pameran yang ada di Bontang. Biasanya saat pameran itu saya menyebarkan katalog yang berisi contoh-contoh karya saya. Alhamdulillah lewat cara ini, dari pameran ke pameran, sekarang banyak yang mengenal usaha relief saya,” kata Ajo.
Selain berkarya dan menjual hasil seninya, pria kelahiran Semarang 38 tahun ini juga punya misi tersendiri di Kota Taman. Dia punya tujuan memperkenalkan seni relief secara umum di kalangan masyarakat Bontang. Terutama seni pembuatan relief kaligrafi. Menurutnya, masih banyak masyarakat yang belum mengenal jenis seni ini.
“Banyak yang belum kenal seni relief. Termasuk ada pula masyarakat yang tidak mau mengenal seni ini. Saya lihat di Bontang belum ada yang menggeluti seni relief. Karena itu saya punya niat untuk memperkenalkannya,” tambah suami dari Atik Indrawati ini.
Dengan keahlian dan pengalaman yang dia miliki, Ajo berharap bisa menggandeng para remaja Bontang khususnya yang menganggur. Dia ingin melatih dan bersama-sama mereka membuat bentuk seni baru yang bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurutnya, masih banyak peluang-peluang karya seni yang bisa dikembangkan di Bontang. Termasuk memanfaatkan barang-barang bekas menjadi barang-barang yang bukan hanya bernilai seni, melainkan juga bernilai ekonomi.
“Saya punya keinginan agar anak-anak yang suka nongkrong di Bontang ini bisa belajar bersama-sama dengan saya, membuat sebuah karya seni yang menarik dan bisa dipasarkan. Selain tentunya memberikan hal yang positif, juga nantinya hasil penjualannya bisa mereka gunakan sendiri. Misalnya barang-barang bekas seperti limbah kaleng, itu masih bisa dimanfaatkan untuk membuat plakat atau cendera mata,” urainya.
Menurut Ajo, seni merupakan ekspresi tanpa batas. Dari sudut pandang seni, semua bisa jadi peluang usaha. Sehingga seorang seniman sejati akan mampu hidup di manapun dengan keahlian seni yang dimilikinya. Juga dalam menjalani hidup, Ajo mengatakan ada seninya. Dia menyadari kehidupan selalu dinamis, sehingga mesti banyak-banyak bersyukur dengan apa yang dihadapi.
“Hidup harus dilihat sebagai sebuah seni. Misalnya kenapa bayi jatuh saat belajar berjalan? Karena kalau tidak jatuh tidak akan bisa jalan. Sama seperti kita, pasti ada saat-saat di mana kita jatuh, tapi itu yang membuat kita bisa melangkah lebih baik lagi,” jelas Ajo.
Sementara untuk bisa mempelajari suatu seni salah satunya seni relief, menurutnya seseorang perlu memiliki minat terlebih dulu. Diimbangi semangat belajar yang tinggi, tentu seberat apapun kesulitannya akan ditempuh dengan penuh perjuangan.
“Karena itu saya selalu merasa senang dan bersyukur dengan apa yang saya lakukan saat ini. Kerja pun dibikin santai, sesuai kemampuan tubuh saja. Kalau badan fit ya kerja, kalau lelah ya istirahat. Tapi istirahatnya jangan lama-lama,” tandasnya. (bersambung)
Nama: Joko Tri Sulistiyoko
TTL: Semarang, 27 Oktober 1978
Orangtua: Samuji (ayah), Wijana (ibu)
Istri: Atik Indrawati
Anak:1. Rio Putra Berlyan (14), 2. Zaky Vito Anggara (10), 3. Alyssa Mutiara Putri (6)
Pendidikan:
- STM Dr Cipto Mangunkusumo Ambarawa (lulus 1997)
- SMPN 1 Ambarawa (lulus 1994)
- SDN 2 Ambarawa (lulus 1991)
Alamat: Jalang Awang Long Nomor 53 D Bontang Baru
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: