Rawan Penyelewengan, Buruh dan Pengusaha Kompak Tolak Tapera

Ilustrasi

bontangpost.id – Para pegawai swasta harus siap menanggung potongan lebih besar dari gajinya. Pasalnya, pemerintah mewajibkan potongan 3 persen dari gaji pekerja setiap bulan untuk iuran program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Paling lambat tanggal 10 setiap bulannya, iuran itu masuk ke rekening dana Tapera. Kebijakan itu menyulut berbagai reaksi penolakan dari publik.

Aturan itu diteken Presiden Joko Widodo dan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Beleid itu berlaku sejak ditetapkan pada tanggal 20 Mei 2024.

Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menjelaskan, beleid itu merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya, dimana proses pengelolaan Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh Peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Dia menggarisbawahi, dana yang dihimpun dari peserta akan dikelola oleh BP Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta. ’’Dana yang dikembalikan kepada peserta Tapera ketika masa kepesertaannya berakhir, berupa sejumlah simpanan pokok berikut dengan hasil pemupukannya,’’ jelas Heru di Jakarta, Selasa (28/5/2024).

Lebih lanjut Heru menjelaskan, masyarakat yang masuk dalam kategori berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah pertama dapat mengajukan manfaat pembiayaan Tapera. ’’Sepanjang telah menjadi peserta Tapera,’’ imbuhnya.

Dalam pengelolaan dana Tapera dimaksud, BP Tapera mengedepankan transparansi dan akuntabilitas sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan mendapat pengawasan langsung dari Komite Tapera, Otoritas Jasa Keuangan, serta Badan Pemeriksa Keuangan.

BP Tapera mengemban amanah berupa penyaluran pembiayaan perumahan yang berbasis simpanan dengan berlandaskan gotong royong.

Peserta yang yang termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Dalam Pasal 15 beleid itu, potongan Tapera ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji yang diterima per bulan. Rinciannya yakni 0,5 persen dibayarkan pemberi kerja, dan 2,5 persen dibayarkan pekerja.

Pada aturan itu disebutkan bahwa peserta dana Tapera adalah setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berusia minimal 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar. Pekerja mandiri artinya adalah karyawan dengan penghasilan di bawah upah minimum atau freelancer.

Berdasarkan Pasal 68 PP Nomor 25 Tahun 2020 dijelaskan bahwa pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerja kepada Badan Pengelola Tapera paling lambat sejak 7 tahun sejak tanggal berlakunya peraturan tersebut. Artinya, pendaftaran kepesertaan dana Tapera wajib dilakukan paling lambat 2027.

Kompak Menolak

Sementara itu dari kalangan buruh, sudah mulai keluar suara penolakan terhadap iuran Tapera. Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat khawatir Tapera menjadi bancakan dengan modus investasi dari penggalangan uang masyarakat.

Praktik seperti ini, sebelumnya terjadi pada Jiwasraya dan Asabri. Oleh manajemennya, iuran masyarakat ternyata disalahgunakan pada proses investasinya. ’’Pemerintah ini senengnya ngumpulin duit rakyat. Terus dari duit itu, digoreng-goreng dalam berbagai instrumen investasi,’’ katanya.

Dia mengatakan masih belum hilang ingatan publik terhadap mega korupsi di tubuh Jiwasraya yang merugikan negara Rp16,807 triliun. Kemudian nilai kerugian negara pada kasus Asabri mencapai Rp22 triliun lebih. Jumhur mengatakan iuran Tapera memang terlihat kecil.

Hanya 2,5 persen dari upah buruh dan 0,5 persen dari pemberi kerja. Tetapi jika diakumulasikan dengan seluruh angkatan kerja yang ada, akan terhidang dana jumbo untuk dikelola pemerintah. Dia membuat perhitungan sederhana, rerata buruh di Indonesia bergaji Rp2,5 juta per bulan.

Kemudian jumlah buruh formal di Indonesia ada 58 juta orang. Maka setiap tahun akan terkumpul uang segar Rp50 triliun yang dikelola oleh BP Tapera.

’’Ini dana yang luar biasa besar,’’ katanya. Dia khawatir dana tersebut jadi bancakan oleh para penguasa dengan cara digoreng atau dimainkan dalam bentuk investasi. Menurut dia, saat ini potongan untuk buruh sudah banyak sekali.

Mulai dari BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan asuransi lainnya atau tabungan pensiun dari masing-masing kantor. Jumhur mengatakan jika pemerintah punya niat baik supaya rakyat punya rumah dengan mudah, banyak cara yang bisa dilakukan.

Misalnya pengadaan tanah yang murah, subsidi bunga seperti skema FLPP saat ini, atau skema pembelian rumah tanpa uang muka. Cara lainnya dengan inovasi material rumah yang murah untuk perumahan pekerja berpenghasilan rendah.

Penolakan juga datang dari pelaku usaha dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Apindo dengan tegas menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani menegaskan bahwa sejak awal munculnya UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo sudah menyampaikan penolakan.

”Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada presiden mengenai Tapera. Sejalan dengan Apindo, Serikat Buruh atau Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera.

Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja atau buruh,” ujar Shinta, Selasa (28/5/2024). Shinta menambahkan, Apindo pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengana adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja.

Namun, PP Nomor 21 2024 dinilai duplikasi dengan program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek. ”Pemerintah diharapkan dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya,” ujar Shinta. (*)

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version