Serial Karang Mumus (15)
“Karang Mumus belum merdeka, kita bersama harus memerdekakannya dari sampah,”
Begitu cuplikan sambutan Pak RT saat membuka acara Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke 71 di tepian Sungai Karang Mumus. Seperti biasa peringatan diisi dengan aneka kegiatan dari pagi hingga sore hari. Konon menurut cerita warga, perayaan hari kemerdekaan kali ini adalah yang terbesar.
Mustofa, Bondan dan teman-teman lainnya sejak pagi tumplek blek di tepian sungai seusai upacara di sekolahnya.
“Ada kotak sarapan, dan tumpukan hadiah yang panjang. Mantap ini,” ucap Mustofa mengomentari apa yang disediakan oleh penyelenggara.
“Ada juga amplop Mumus, lumayan untuk jajan sebulan,” sambung Bondan.
Mustofa bukanlah jenis bocah pemangsa jajan. Selain tak dibiasakan oleh orang tuanya, nafsu rendah Mustofa terhadap jajanan dipengaruhi oleh lidahnya yang hanya mengenal enak dan enak sekali. Maka tempe goreng berbalut tepung yang terus disajikan oleh mamaknya setiap hari sudah cukup untuk membuat mulutnya sibuk mengunyah. Sesekali memang Mustofa membeli jajanan, pentol rebus, bakar atau goreng yang banyak dijajakan oleh pedagang keliling.
Sepanjang hari itu hampir semua pertandingan diikuti oleh Mustofa. Namun tak satupun peringkat juara bisa digenggamnya hingga kemudian dia ikut pertandingan terakhir yaitu pungut sampah. Pada kompetisi ini Mustofa tak terkalahkan, kebiasaannya memunguti botok, kotak atau gelas minuman membuat sampah yang dikumpulkan Mustofa bernilai tinggi.
Sore usai pulang dari lomba, dengan baju dan celana basah karena diakhir lomba diisi dengan saling simbur, Mustofa berjalan pulang sendirian. Ada selembar koran terhampar di jalan, Mustofa memungutnya untuk dibuang di TPS yang tak jauh dari posisinya sekarang.
Namun di halaman koran itu ada gambar yang menarik, foto tentang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh salah satu LSM Progresif Revolusioner yang masih tersisa di Kota Samarinda. Demo itu mengangkat tagline “Sungai Mahakam Bukan Toilet”. Mereka menyuarakan itu dengan menyusun kloset di sepanjang tepian Sungai Mahakam.
“Wah mantap ini, kalau Sungai Mahakam Toilet berarti Sungai Karang Mumus septic tank,” guman Mustofa.
Bertahun tinggal di tepi Sungai Karang Mumus, Mustofa paham benar bahwa sungai ini telah menjadi tempat buangan dari semua yang ingin dibuang dan dihindari oleh masyarakat. Apa yang dibuang awalnya mengambang kemudian perlahan luruh tenggelam karena diselimuti berat lumpur, yang awalnya melayang layang dalam air.
Semua buangan akan abadi di Sungai Karang Mumus karena tak pernah terlepas hingga ke muara. Air pasang dari Sungai Mahakam akan mengembalikan semua yang terbuang di Sungai Karang Mumus yang telah mencapai muara, kembali ke arah hilir. Dan nama lain dari tempat bersemayan dari semua buangan adalah septic tank.
Mustofa tahu septic tank adalah tempat membusukkan buangan, dari benda padat menjadi cair dan larutan. Maka septic tank akan menghasilkan lindi atau air coklat lebih cenderung ke hitam. Dan begitulah warna Sungai Karang Mumus andai hujan tak menguyur.
“Kalau tak percaya bukalah septic tank, warna airnya jelas tak akan beda jauh dengan yang ada di sungai ini,” ucap Mustofa entah pada siapa. Pondok Wira, 10/09/2016 @yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: