Saat Sungai Karang Mumus ramai dilewati oleh kapal dan perahu pembawa, kayu dan hasil bumi lainnya bukanlah masa yang dikenali dan dialami oleh Mustofa. Semua itu hanya didengarnya lewat cerita. Mustofa lahir dan besar di tepian Sungai Karang Mumus ketika sungai itu mulai sepi dari perahu dan ramai dengan lumpur, sampah serta limbah.
Kini yang rutin terlihat oleh Mustofa adalah perahu para pemancing yang mulai berangkat sore hari, beberapa perahu barang yang masih sering bolak-balik dari dan ke Pasar Segeri. Sementara perahu yang agak besar adalah perahu pasir yang datang dari Sungai Mahakam ke penumpukan pasir di sebelah Jembatan Baru.
Pagi-pagi perahu-perahu itu sudah datang, bisa puluhan perahu berjajar di penumpukan pasir yang berada di tepian sungai itu. Pasir itu disedot dari Sungai Mahakam dan kemudian dibawa masuk ke Sungai Karang Mumus dari muaranya.
Jika air Sungai Karang Mumus pasang tinggi, perahu-perahu itu terkadang berjajar dahulu di sisi Jalan Tarmidi, menunggu air sedikit surut sehingga atap perahu tak tertahan oleh pipa-pipa yang melintang di bawah Jembatan Baru.
“Pasir dari mana ini Om,”
“Dari Sungai Mahakam,”
“Ngambilnya bagaimana?”
“Disedot,”
“Pakai mesin?”
“Iya lah masak pakai mulut,”
“Oh, kalau masak di dapur Om, bukan di mulut,” balas Mustofa sekenanya.
Om pembawa perahu hanya tersenyum saja, dia tidak tersinggung dengan jawaban Mustofa, Buat dia memang begitu gaya anak-anak sekarang.
“Kenapa istirahat di sini om, lelah kah?”
“Bukan istirahat tapi nda bisa lewat,”
“Kok bisa, airnya banyak saja itu,”
“Airnya ketinggian, atap kapal sangkut di bawah jembatan,”
Mustofa kemudian melihat ke arah jembatan. Jarak permukaan air dengan bawah jembatan yang juga menjadi tempat untuk melintas pipa memang dekat. Tinggi perahu yang kurang lebih satu setengah meter dari permukaan air memang tak memungkinkan untuk lewat.
“Om itu airnya memang tinggi atau karena sungainya yang dangkal,”
“Betul sudah itu kamu, sungainya yang dangkal karena lumpur. Dulu biar pasang kita masih bisa tetap lewat,”
“Yang bikin dangkal sungai ini apa om,”
“Lumpurlah,”
“Lumpur dari mana om?”
“Dari mana-mana, dari gunung yang dibongkar, bukit yang diratakan untuk perumahan, atau ditambang untuk diambil batubaranya,” jawab Om pembawa perahu pasir.
Mustofa ingat pelajaran di sekolah tentang erosi. Tanah, bebukitan atau apapun yang terbuka lantara pohon-pohonnya ditebangi kalau hujan turun, tanah permukaannya bakal terbawa oleh air hujan yang mengalir di permukaan. Kata guru sekolahnya, aliran air hujan yang jatuh ke tanah dan membawa lumpur lalu masuk got atau sungai akan menghasilkan sedimentasi, pendangkalan karena lumpur.
“Jadi menurut om, sungai ini mengalami pendangkalan atau didangkalkan,”
“Aish ….. om nda sekolah, kalau tanya jangan yang bikin om lapar,”
Esok pagi disekolah, sebelum pelajaran mulai, Mustofa bertanya pada gurunya.
“Guru, boleh tanya lebih dahulu apa tidak?”
Guru tidak menjawab namun Mustofa langsung mengajukan pertanyaan “Apa beda pendangkalan dan didangkalkan?”
“Pendangangkalan itu artinya kejadian dangkal yang tidak disengaja, bersifat alami. Sementara didangkalkan mengandung arti aktif, sengaja. Kata lain dari didangkalkan itu ya pengurukan, kalau sampai airnya hilang dan jadi daratan itu reklamasi,” terang Guru panjang lebar.
“Nah kalau Karang Mumus itu pendangkalan atau didangkalkan?”
“Menurut kamu?” Guru balik bertanya untuk menguji daya kritis Mustofa.
“Kalau dari cerita tukang perahu pasir ya didangkalkan. Dia bilang bukit atau gunung di sekitar Sungai Karang Mumus banyak yang dibongkar, ada yang untuk perumahan dan banyak yang jadi tambang.” jawab Mustofa ingat ceritanya dengan tukang perahu pasir.
“Nah, itu kamu tahu. Apalagi coba,”
“Orang buang sampah sembarang. Sampah itu lalu mengendap di dasar sungai,”
“Nah, masih ada lagi nggak?”
“Ya perahu pasir itu,”
“Kok bisa?”
“Perahu pasir itu setelah bongkar muatan di penumpukan akan dibersihkan dengan disemprot, nah sisa pasirnya jatuh ke sungai. Kalau sehari ada 10 lebih perahu pasir yang dibersihkan di Sungai Karang Mumus berarti berkarung-karung pasir terbuang ke sungai. Kalau sebulan kan lumayan banyak, apalagi setahun,” terang Mustofa.
“Lah, kalau kamu sudah tahu apa maksudmu tadi bilang bertanya?”
“Ya biar bisa kasih tahu ke yang lainnya. Kalau saya bilang mau bikin pengumuman kan nggak enak,”
“Mumus, kelakuanmu ini modus namanya,” ujar Guru.
“Iya, tapi nggak mainstream kan,” kata Mustofa, entah paham atau tidak artinya.
@yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: