Ada sebuah pepatah yang mengatakan “Tidak semua petuah baik mengantar ke surga,”. Pun demikian dengan rencana baik, tidak selalu berakhir dengan baik atau bahkan rencana baik itu bukanlah sesuatu yang tepat untuk dilakukan. Siapa yang bisa mengatakan bahwa menata kota, membuat kota rapi itu bukan sebuah niat dan rencana yang baik.
Namun kota sesungguhnya bukan barang mati. Ketika bicara kota maka disana ada manusia, lingkungan hidup, ciptaan-ciptaan lain, teknologi, ruang dan lain sebagainya yang butuh diintegrasikan dalam sentuhan yang manusiawi, berkeadaban dan berkelanjutan.
***
“Kota itu apa,”
“Bukan kabupaten pak.”
“Apalagi?”
“Modern pak,”
“Terus .. adalagi,”
“Rapi, indah dan tertib, pak,”
“Masih ada lagi,”
“Tempat orang miskin sering digusur, pak,”
“Coba ada lagi,”
“Sering banjir, bising dan udaranya kotor,”
“Terakhir, masih ada yang punya pendapat,”
“Banyak tempat hiburan, alkohol dan narkoba serta angka kriminalitas tinggi,”
Pak guru kemudian mengambil board marker dan kemudian menuju white board untuk menuliskan sesuatu.
“Jadi kota itu adalah ………………… ,” ujar pak guru sambil menunjuk tulisan yang dibuatnya.
“Ha – bi – tat,”ujar muridnya serempak.
“Kenapa habitat Mumus?”
“Karena kota adalah ruang dan tempat hidup bagi semua yang berdiam di dalamnya,”
“Bagus, pintar kamu kali ini, nah seperti apa wajah kota kita sekarang ini?’
Satu per satu murid mulai menjawab. Ada banyak jawaban hingga kemudian salah satunya menyebut “Sungainya kotor, dangkal dan bau,”
Sungai di kota-kota besar memang biasanya kotor, dangkal dan bau. Sungai kotor karena menjadi tempat untuk membuang sampah juga limbah, baik limbah domestik maupun industri. Sungai dangkal karena kehilangan daerah tangkapan dan resapan air serta kawasan perlindungan. Air hujan misalnya langsung masuk ke sungai tanpa terfilter. Dan bau, bebauan sungai muncul dari pembusukan dan fermentasi aneka bahan dan zat yang masuk ke sungai.
“Kenapa sungai kotor, dangkal dan bau?”
Murid-murid kali ini hanya terdiam. Mereka tahu namun tak mau menjawab. Seperti Mustofa misalnya, bapaknya adalah pembuat tempe di tepi Sungai Karang Mumus. Setiap hari selain membuang kulit ari kedelai ke dalam sungai, air bekas rendaman Kedelai yang berbuih-buih juga langsung ditumpahkan ke aliran sungai.
Bondan yang gemar berselancar di dunia maya, pernah membaca bahwa perubahan kwalitas lingkungan terjadi karena adanya tekanan lingkungan yang besar.
“Pak guru, semua itu terjadi karena tekanan lingkungan,”
“Nah, benar kamu Bondan,”
Dan kemudian pak guru menerangkan yang disebut sebagai tekanan lingkungan itu bisa bersifat alamiah dan non alamiah. Tekanan non alamiah berasal dari manusia, baik terkait perilaku maupun kebijakan.
“Modernitas, pembangunan pasti merusak lingkungan, ada yang bisa memberi contoh?” tanya pak guru.
“Pembangunan hotel yang menguruk rawa-rawa,”
“Bukit dimatangkan, dipangkas maksudnya untuk perumahan,”
“Mall dan pasar di tepi sungai,”
“Hutan dijadikan perkebunan,”
“Rimba dibelah jalan,”
“Lahan gambut dikeringkan,”
“Itulah yang disebut dengan konversi, perubahan fungsi dan peruntukan,” terang pak guru.
“Betul pak guru, sungai dulu adalah sumber air, sekarang jadi tempat pembuangan limbah,”
“Iya, kata kakek saya dulu di Sungai Karang Mumus banyak ikannya tapi sekarang lebih banyak sampahnya,”
“Macam-macam pohon dulu tumbuh di pinggiran sungai, sekarang yang banyak malah macam-macam rumah, ada rumah bangsalan, rumah kontrakan, rumah sewaan, rumah pinjaman,”
Murid-murid bukanlah pengamat sungai yang teliti sehingga mencatat banyak perubahan di Sungai Karang Mumus. Mereka paham benar apa yang terjadi di Sungai Karang Mumus karena sedari kecil mereka lahir di tepiannya. Karang Mumus adalah kolam renang pertama mereka dan hingga kini meski airnya menghitam di kala surut, Sungai Karang Mumus bak waterpark, tempat mereka besimburan, betajun dan ciruk saat sore tiba.
*********************************
Sore, di dekat jamban belakang rumahnya, Mustofa duduk melamun. Mustofa membayangkan pembangunan lintas batas negara yang disebut globalisasi. Konon sebagian orang menilai globalisasi tak lebih dari Amerikanisasi. Simbol globalisasi dari Amerika ini diwakili dengan sebutan McWorld, mulai dari MTV, Mc Donalds, Starbuck, Macintosh, Apple, Mc Donald Douglas dan seterusnya.
“Dunia seolah menjadi satu,” guman Mustofa.
“Ya seolah jadi satu, namun yang lain menyediakan bahan baku, yang lain memproduksi dan kemudian menjualnya. Penyedia bahan baku pada akhirnya malah jadi konsumen,” ujar Mustofa membantah gumanannya sendiri.
Salah satu penanda globalisasi adalah globuckisasi, penyebaran gerai kopi Starbuck hingga membuat anak-anak muda Indonesia doyan ngopi. Anak-anak yang lahir di negeri penghasil kopi ini belajar budaya minum kopi justru dari Amerika.
“Globalisasi di mereka, goblokisasi di kita,” batin Mustofa pelan.
Mustofa ingat orasi kakak pegiat lingkungan hidup yang demo di depan kantor Balaikota. Mereka menyebut soal Kutuk Sumberdaya Alam. Negeri kita adalah penghasil sumberdaya alam, mulai dari yang disedot sampai yang dikeruk, mendatangkan pendapatan sesaat tetapi menghasilkan kerusakan ekologi dalam masa panjang ke depan. Uang hasil pendapatan ternyata tidak sebanding dengan ongkos yang harus dikeluarkan untuk melakukan pemulihan ekologi. Hasilnya akhirnya adalah degradasi lingkungan hidup.
“Tanda kebodohan kita terlihat pada wajah Sungai Karang Mumus. Inilah penanda terakhir kekayaan alam Kota Samarinda, namun kini terlihat nyata bahwa dia merana, semoga sungai ini bisa menjadi museum hidup untuk mengingatkan betapa buruk dan bodohnya kita memanfaatkan sumberdaya alam” ujar Mustofa pelan dalam hatinya dan entah mengatakan untuk siapa.
Pondok Wiraguna, 30/09/2016
@yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post