SAMARINDA – Sistem rujukan online yang diterapkan sejumlah rumah sakit di Kaltim terhadap pemegang kartu Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai menyulitkan pasien. Pasalnya, tidak semua masyarakat di Benua Etam memiliki akses informasi untuk menggunakan sistem digital.
Karena itu, anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Rita Artaty Barito menyarankan manajemen BPJS Kesehatan beserta rumah sakit mengevaluasi sistem yang baru itu.
“Rujukan online ini kalau untuk di kota enggak masalah. Tapi kalau untuk di desa atau kampung-kampung, belum tentu mereka paham,” ucapnya, Kamis (17/8) lalu.
Kata dia, di wilayah perkotaan seperti Balikpapan, Samarinda, dan Bontang, sistem rujukan online bisa dengan mudah diterapkan. Sebab seluruh masyarakat di tiga kota tersebut terkoneksi jaringan internet. “Jadi sejak awal harusnya dipertimbangkan cara penerapannya. Tidak semua peserta BPJS Kesehatan mengetahui sistem baru ini,” tuturnya.
Menurut dia, manajemen BPJS Kesehatan harus terlebih dulu melakukan sosialisasi pada seluruh pengguna layanan tersebut. Kemudian, setelah semua peserta paham, sistem rujukan baru itu bisa diterapkan. “Sebagai program BPJS yang baru, tentunya harus ada sosialisasi. Nah, sosialisasinya sampai mana?” tanyanya.
Terlebih peraturan baru tersebut belum sepenuhnya diterima dan dipahami seluruh rumah sakit di Kaltim. Sehingga menimbulkan miskomunikasi antara peserta BPJS Kesehatan dan pengelola rumah sakit. Atas dasar itu, kasus “penolakan” peserta BPJS Kesehatan oleh pihak manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) AW Sjahranie, dinilai Rita sebagai bentuk pelanggaran.
“Walaupun belum terdaftar secara online, pihak rumah sakit tidak boleh menolak pasien. Itu sudah ada pasal, peraturan, dan undang-undangnya. Apalagi pasien itu peserta BPJS. Mereka kan membayar,” tegasnya.
Politis Partai Golongan Karya (Golkar) itu menyarankan, mestinya pengelola BPJS Kesehatan dan direktur RSUD AW Sjahranie terlebih dulu berkomunikasi intensif. Supaya tidak ada lagi penolakan terhadap pasien.
“AWS harus berkomunikasi lagi dengan pihak BPJS. Kemudian harus diperbaiki lagi. Jangan sampai terulang lagi kasus penolakan pasien,” imbuhnya.
Karena masalah tersebut harus segera diselesaikan, Rita akan berkomunikasi dengan pimpinan BPJS Kesehatan dan RSUD AW Sjahranie. Dia akan mempertanyakan dasar penolakan pasien tersebut.
Sebagai rumah sakit berpelat merah, dia minta direktur RSUD AW Sjahranie bertanggung jawab atas kasus yang dinilai merugikan peserta BPJS Kesehatan tersebut.
“Tapi kalau misalnya pihak rumah sakit dan BPJS sudah membaca berita, mestinya mereka cepat tanggap, bereaksi, dan berkaca lagi. Karena kalau rumah sakit profesional, tidak boleh ada penolakan,” katanya.
Diketahui, pada Rabu (15/8) lalu sejumlah pasien rumah sakit “ditolak” berobat di AW Sjahranie. Pasalnya, para peserta BPJS Kesehatan itu berobat dengan menggunakan surat rujukan manual.
Penolakan itu tentu saja beralasan. Sebab pihak rumah sakit berpendapat, sejak 15 Agustus lalu, rujukan di RSUD AW Sjahranie telah dilakukan secara online.
Pun demikian, jika pasien menggunakan rujukan dari puskemas, tidak dapat diterima begitu saja oleh pihak rumah sakit. Sebab para pasien harus terlebih dulu melakukan rujukan di rumah sakit berkelas B atau C seperti RS SMC Samarinda, RS IA Moeis Samarinda, dan RS Dirgahayu.
Karena itu, banyak pasien yang berasal dari wilayah pedalaman seperti Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara harus kembali merujuk pada sejumlah rumah sakit itu. Butuh waktu berjam-jam untuk mendaftar dan membuat rujukan.
Akhirnya muncul protes dari puluhan pasien yang notabenenya peserta BPJS Kesehatan. Pihak AW Sjahranie sendiri membantah telah menolak pasien. Karena hanya menjalankan aturan dari BPJS Kesehatan. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: