Belum adanya sanksi terhadap penyelenggara negara yang tidak patuh melaporkan harta kekayaan secara rutin, membuat mereka abai. Padahal, kepatuhan itu menjadi salah satu bukti komitmen memberantas korupsi.
bontangpost.id – Batas akhir pelaporan periodik laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) tahun 2022 berakhir pada 31 Maret lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian merilis data kepatuhan LHKPN mulai tingkat kementerian/lembaga, hingga pemerintah kabupaten/kota. Termasuk pejabat legislatif di tingkat pusat hingga daerah. Hasilnya, DPRD Kaltim masuk 10 besar DPRD provinsi dengan tingkat penyampaian LHKPN periodik 2022 terendah.
Dalam keterangan persnya pekan lalu, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyampaikan, tingkat pelaporan LHKPN DPRD Kaltim di angka 74,55 persen. Walaupun masuk sepuluh besar terendah, penyampaian LHKPN diklaim tidak bermasalah.
“Karena dulu saat pengangkatan pertama, dia harus menyampaikan LHKPN dengan kategori lengkap. Nah lengkap itu, menyampaikan juga surat kuasa. Jadi ini yang tidak disampaikan hanya yang tahunannya. Karena perubahan-perubahan itu ada di tiap tahun,” katanya.
Menyikapi rendahnya kepatuhan penyampaian LHKPN periodik 2022 ini, akhir April nanti pimpinan KPK akan menyurati semua pimpinan kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah. Termasuk pimpinan partai politik DPR RI hingga DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian, dia berharap segera ada tindak lanjut.
“KPK juga akan mengubah peraturan KPK, sehingga sanksi atas LHKPN akan kita taruh dalam situ (surat). Walaupun sanksi administrasi. Bisa berupa penundaan promosi tidak boleh ikut pendidikan sampai ke menahan tunjangan. Sanksi administrasi di peraturan KPK kita akan detailkan seperti apa. Kami harapkan tahun ini selesai peraturan KPK-nya,” terang Pahala.
Khusus untuk legislatif, dia menyebut, sebelumnya KPK telah menyampaikan kepada pimpinan fraksi di DPR. Tetapi kelihatannya masih kurang ampuh. Sehingga pimpinan KPK akan menyurati seluruh ketua partai pemilik kursi di DPR dan DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota. Dalam surat tersebut, fraksi diminta menjatuhkan sanksi untuk anggota dewan yang tidak patuh melaporkan LHKPN.
“Tapi sekali lagi sanksinya tidak boleh pidana. Karena undang-udang hanya menyebutkan sanksi administrasi. Jadi saksi administrasi itu adalah penundaan keuangan. Kalau anggota dewan, mungkin dari sekwannya bisa nahan uang tunjangan,” terangnya.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah menilai, urutan 10 besar tingkat kepatuhan terendah penyampaian LHKPN yang diberikan KPK kepada DPRD Kaltim adalah kondisi memprihatinkan sekaligus menyedihkan buat dirinya. Pasalnya, sebagai warga Kaltim, dia menyebut wakil rakyat Kaltim seharusnya memiliki rasa malu karena tidak taat aturan melaporkan LHKPN. “Ini pertanda jika anggota-anggota DPRD Kaltim gagal memberikan teladan bagi yang lainnya,” kritiknya.
Pria yang akrab disapa Castro ini menambahkan, lazimnya, ada tiga hal yang membuat pejabat dan penyelenggara negara tidak melaporkan LHKPN. Pertama, kurang membaca sehingga tidak peduli LHKPN. Kedua, kesadarannya rendah untuk berinisiatif melaporkan LHKPN. Adapun yang ketiga, memang tidak punya keseriusan dan komitmen memberantas korupsi melalui mekanisme pelaporan LHKPN.
“Kalau ada anggota DPRD yang koar-koar memberantas korupsi tapi tidak patuh laporan LHKPN, berarti dia sebatas lips service. Memberantas korupsi hanya sebatas gimmick. Kan lucu kalau ada anggota DPRD macam begini. Seharusnya tidak layak duduk di Karang Paci (sebutan kantor DPRD Kaltim),” sindirnya.
Oleh karena itu, dia meminta lebih baik diumumkan secara terbuka siapa saja anggota DPRD Kaltim yang tidak patuh melaporkan LHKPN. “Jangan pilih anggota-anggota DPRD yang tidak patuh LHKPN,” tegas Castro.
Selain itu, permasalahan lainnya, menurut dia, terkait sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta kekayaannya. Apalagi KPK tidak punya kewenangan menjatuhkan sanksi.
Yang bisa memberikan sanksi, kata dia, hanya atasannya. Jika di aparatur sipil negara ada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam hal ini gubernur, bupati, dan wali kota sehingga pejabat yang tidak patuh, dapat diberikan sanksi disiplin. “Kalau DPRD, mestinya Kementerian Dalam Negeri membuat beleid yang mengatur sanksi bagi anggota DPRD yang tidak patuh laporan LHKPN. Sementara KPK bertugas melakukan tracking terhadap mereka yang peningkatan kekayaannya tidak wajar (illicit enrichment). Sejauh ini peran KPK di situ. Ke depan memang butuh regulasi yang lebih tegas soal ini,” jelasnya.
Rendahnya kepatuhan legislator Kaltim atas pelaporan LHKPN diakui Ketua Fraksi PKB DPRD Kaltim Syafruddin. Menurutnya hal itu adalah kelalaian mereka dalam menjalankan transparansi di tubuh dewan. “Memang ada keteledoran pribadi kami. Tapi, baru kali ini. Tahun sebelumnya kami selalu melaporkan. Silakan saja dicek,” ungkapnya dikonfirmasi kemarin (16/4).
Padatnya tugas dewan hingga tugas kepartaian di tahun pemilu, klaim dia, membuat dirinya bersama anggota fraksi PKB lainnya lupa melaporkan harta kekayaan.
Pihaknya selalu patuh akan kebijakan transparansi para penyelenggara negara tersebut. Apalagi, lewat pelaporan LHKPN menjadi salah satu cara mewujudkan jalannya pemerintahan yang bersih di Kaltim. Di satu sisi, dirinya sedikit mengalami kebingungan dengan apa yang hendak dilaporkan ketika beberapa aset pribadi justru menyusut nilainya lantaran berbagai faktor. “Kadang tak ada penambahan, kadang menyusut. Ini kadang bikin bingung mau dilaporkan atau tidak. Tapi di tahun sebelumnya selalu kami laporkan kok,” tegasnya.
Atas nama partai yang dipimpinnya di Kaltim, Udin, begitu dia disapa mengaku tak ada niatan wakil rakyat dari PKB untuk tidak melaporkan harta kekayaan yang dimiliki ke KPK. “Ini murni kelupaan,” imbuhnya. Disinggung soal penyusutan aset penyelenggara negara, dalam hal ini anggota dewan, Udin menuturkan, terkadang ada saja anggota dewan yang harus merogoh kocek pribadi untuk mengakomodasi keperluan konstituen yang memilihnya.
Sejak terbitnya Perpres 33/2020 tentang Standar Harga Satuan Regional, regulasi yang mengatur honorarium, perjalanan dinas, atau pertemuan dengan konstituen terdapat pemangkasan yang cukup signifikan. Sehingga saat kedinasan, dirinya selaku anggota dewan mau tak mau menggunakan uang pribadi untuk mengakomodasi keperluan warga yang memilihnya. “Kadang kan warga enggak mau tahu. Mereka mengusulkan dan minta bisa terealisasi. Kami, mau gak mau, terkadang ya pakai uang pribadi,” singkatnya. (ryu/kip/riz/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post