Euforia pasca-beroperasinya jalan Tol Balikpapan-Samarinda (Balsam) masih terasa. Kesempatan mencicipi tol pertama di Kalimantan secara gratis pun masih terbuka hingga akhir 2019 nanti dengan syarat memiliki kartu uang elektronik.
Mayti, warga Sangasanga, ditemui di rest area KM 36, mengaku ingin membuktikan tol yang baru saja diresmikan 17 Desember lalu itu mampu memangkas jarak tempuh Balikpapan-Samarinda menjadi satu jam. Namun keinginan itu pupus.
“Ternyata sampai Samboja saja, tidak sampai Balikpapan (ruas tol yang dibuka baru sampai Samboja),” ujarnya kepada SELASAR (grup Bontangpost.id) belum lama ini.
Dia pun membagikan pengalamannya berkendara selama 30 menit di lintasan tol. Tidak seperti yang dibayangkannya, seperti yang sering ia tonton di televisi, Mayti menuturkan, jalan tol Balsam terasa bergelombang. Namun, dia memaklumi kondisi itu,
“Mungkin karena baru,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan Zamroni, seorang civitas akademika di salah satu perguruan tinggi Samarinda. Walaupun Tol Balsam belum dioperasikan seluruhnya, namun sudah cukup memangkas waktu tempuh.
“Dari Sepinggan (Balikpapan) sampai Samarinda itu kurang dari dua jam,” ujarnya.
Dia pun mengalami hal yang sama seperti Mayti. Seingatnya ada tiga titik lokasi yang membuat mobilnya terentak karena jalan yang tak seluruhnya mulus.
“Ada beberapa jalan yang masih ngagetin gitu, kayaknya mulus saja, ternyata ada turunan,” kata Zamroni.
Menanggapi keluhan masyarakat tersebut, pengamat konstruksi Haryoto HP menilai wajar adanya lendutan sehingga terasa bergelombang. Tol Balsam menggunakan konstruksi rigid pavement atau pengerasan kaku. Konstruksi yang sama digunakan hampir 80 persen jalan tol baru di Indonesia.
Lendutan itu, kata Haryoto, berada di sambungan jembatan dengan timbunan atau lebih dikenal oprit. Kondisi oprit yang ruangnya sempit dan tinggi membuat penimbunannya kadang tidak sempurna. Sehingga untuk mengatasinya dilapisi oleh aspal.
“Melendut tapi tidak semua, membuat kendaraan tidak nyaman terutama kendaraan kecil,” ujar Haryoto, Sabtu (28/12/2019).
Pria yang aktif dalam organisasi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPKK) Kaltim ini melanjutkan, konstruksi jalan dengan rigid pavement selalu dihubung-hubungkan dengan keselamatan jalan. Padahal menurutnya, permukaan rigid yang kasar malah membuat keselamatan pengguna jalan semakin tinggi. Justru, kata Haryoto, kecelakaan terjadi faktor pengendara yang terbuai dengan jalan bebas hambatan sehingga melewati batas maksimal kecepatan yang diperbolehkan.
Haryoto pun menyinggung pendapat masyarakat yang mengatakan konstruksi rigid tidak ramah dengan ban kendaraan, terutama ban vulkanisir, karena membuat ban mudah pecah. Dia mengatakan, ban vulkanisir memang bukan standard untuk kendaraan berat dan cepat.
“Ban vulkanisir itu kan ban bekas yang ditoreh lagi,” tutupnya. (selasar/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: