JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menerbitkan peraturan presiden (perpres) kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan. Sejumlah kalangan menilai besaran kenaikannya terlalu tinggi. Selain itu masyarakat miskin yang belum ter-cover sebagai penerima bantuan iuran (PBI) bakal terdampak kenaikan tersebut.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menuturkan ada pemaksaan kenaikan tarif untuk kelas III. Dia sejak awal berharap tarif iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III tidak dinaikkan. ’’Tetapi akhirnya dinaikkan juga,’’ katanya tadi malam.
Di dalam Perpres nomor 75/2019 itu, iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III naik menjadi Rp 42 ribu/orang/bulan. Timboel mengungkapkan data dari sistem terpadu kesejahteraan sosial ada 99,3 juta orang miskin. Sementara orang miskin yang masuk dalam PBI dan iurannya ditanggung APBN, jumlahnya 96,8 juta.
Itu artinya ada sekitar 2,5 juta jiwa orang miskin yang akan terbebani kenaikan biaya BPJS Kesehatan. Timboel mengatakan ada alibi bahwa orang miskin tidak terdampak kenaikan BPJS Kesehatan karena masuk dalam PBI. Tetapi nyatanya masih banyak orang miskin tidak masuk dalam kelompok PBI.
’’Mau masuk susah. Karena APBN terbatas,’’ tuturnya. Dia mengatakan untuk APBN 2020 sudah ditetapkan PBI tetap di angka 96,8 juta jiwa. Belum lagi dia mengatakan di antara sekian juga PBI tersebut, ditengarai masih ada orang-orang kaya yang terselip di dalamnya. Meskipun ada sejumlah upaya penyisiran data, tetapi belum benar-benar bersih.
Kemudian untuk kelas II dan I dia menilai kenaikannya terlalu tinggi. Dia khawatir kelompok kelas ekonomi menengah malah turun menjadi peserta kelas III. Akibatnya fasilitas kamar rawat inap kelas III bakal semakin padat.
Meskipun begitu secara umum dia menyambut baik adanya perpres tersebut. Sebab kenaikan iuran PBI menjadi Rp 42 ribu berlaku sejak Agustus lalu. Kemudian juga untuk pekerja penerima upah (PPU) pemerintahan, kenaikan iurannya berlaku sejak Oktober ini.
Dengan demikian dia menghitung ada dana segar yang masuk ke BPJS Kesehatan sekitar Rp 13 triliun. Data itu berasal dari selisih kenaikan iuran PBI yang dihitung mulai Agustus sampai Desember. Kemudian juga dari para pegawai pemerintah.
Namun dia mengatakan adanya aliran dana segar itu masih di bawah defisit keuangan BPJS Kesehatan. Timboel mengungkapkan defisit BPJS Kesehatan saat ini sebesar Rp 32,8 triliun. Dia khawatir sisa defisit itu menjadi carry over BPJS Kesehatan periode 2020. Sehingga BPJS Kesehatan memulai start keuangan dalam kondisi minus sekitar 19,8 triliun.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf menyambut baik keluarnya Perpres kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan itu. ’’Alhamdulillah. Tentu hal ini sangat positif dan perlu diapresiasi,’’ katanya. Sebab merupakan upaya serius dan komitmen pemerintah untuk memastikan program JKN-KIS yang sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat untuk terus berjalan. (wan/prokal)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: