bontangpost.id – Bekas bupati PPU, Abdul Gafur Mas’ud (AGM) membantah sangkaan jaksa KPK ketika dirinya diperiksa dalam persidangan kasus korupsi penyertaan modal ke Perusahaan Umum Daerah Penajam Benuo Taka (Perumdam PBT) dan Penajam Benuo Taka Energi (PBTE) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda.
“Saya tidak pernah meminta atau mengganggu modal ke dua badan usaha itu,” ungkap AGM yang hadir lewat layar virtual untuk bersaksi ke tiga terdakwa dalam perkara ini pada Rabu (17/1) malam. Tiga terdakwa itu, Direktur Utama PBT Heriyanto, Kepala Bagian Keuangan PBT Karim Abidin, dan Direktur PBTE Baharun Genda. AGM mengaku tak mengetahui detail penggunaan modal di dua badan usaha pelat merah itu. Semua informasi yang diketahuinya hanya berdasar pada laporan tim.
Termasuk proses pengusulan penyertaan modal itu menjadi peraturan daerah (perda) ke DPRD PPU. Penyertaan modal untuk PBT harusnya dilakukan pada 2020. Pandemi Covid-19 membuat seluruh anggaran daerah ditata ulang. Karena itu, lanjut AGM, diusulkan kembali di APBD PPU 2021 setelah Perda 7/2020 tentang Penyertaan Modal di PBT sebesar Rp29,6 miliar dan penyertaan modal di PBTE sebesar Rp10 miliar lewat Perda 6/2020 disahkan DPRD. “Disahkan di November 2020,” katanya.
Gelontoran modal untuk PBT memang ditujukan untuk pembangunan pabrik penggilingan padi atau rice milling unit (RMU). Semula, wacana RMU berada di Dinas Pertanian. Namun, hasil rekomendasi tim bupati, RMU bisa menjadi salah satu opsi penambah pundi-pundi daerah, sehingga lebih efektif diserahkan ke PBT selaku badan usaha yang memiliki cakupan segmen usaha tersebut.
“Kenapa saya setuju, karena hasil laporan dari tim sudah lengkap. Termasuk rencana bisnis dan lainnya. Detail saya lupa,” sambungnya.
Saat itu dia pun meminta Heriyanto untuk berkoordinasi dengan Muhammad Umry Hazfirdausy alias Firli, staf ahli AGM kala itu untuk membahas peralihan RMU ke PBT. AGM mengeklaim tak pernah terlibat proses rapat menyusun persyaratan proyek itu. Semua informasi diketahuinya lewat laporan tertulis dari Bagian Keuangan Sekretariat Pemkab PPU. JPU KPK pun menyoal ihwal beberapa kali perubahan angka modal yang hendak diusulkan membangun RMU. Dari Rp 20 miliar menjadi Rp 26,9 miliar dan final di angka 29,6 miliar.
Begitupun dengan mengapa perencanaan justru hanya menuangkan biaya pembangunan RMU. Tidak disertai dengan penyediaan lahan. “Soal perubahan penyertaan modal itu sempat disampaikan Durajat (Kabag Ekonomi Setkab PPU) tapi lupa detailnya. Sudah lama pak jaksa. Saya saja ditahan KPK sejak Januari 2022,” jawabnya. Terkait pembangunan pabrik tanpa disertai pengadaan lahan, menurut AGM, hal itu tak jadi soal lantaran informasi yang diketahuinya dari tim, proyek itu bakal menyewa lahan warga.
“Lagian pak ini usaha. Pasti cari untung sebesarnya dengan ongkos sehemat mungkin,” lanjutnya. JPU kembali mencecar terkait aliran fulus badan usaha itu yang mengalir untuk kepentingannya. Seperti uang Rp 300 juta yang ditransfer Heriyanto ke rekening Nur Afifah Balqis (eks bendahara Demokrat Balikpapan), biaya penyewaan jet pribadi senilai Rp1,1 miliar, hingga penyewaan helikopter senilai Rp614 juta. AGM berkilah jika dia tak pernah tahu jika semua itu berasal dari penyertaan modal ke PBT.
“Untuk heli saya tahunya itu pakai dana operasional kepala daerah, private jet itu pun katanya Heriyanto dipinjamkan temannya. Jadi dipakai tiga hari untuk kegiatan Aspeksindo (Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia). Kalau uang ke rekening Afifah itu saya pinjam,” tuturnya.
Jika itu di PBT, catatan keuangan di PBTE pun menyiratkan adanya fulus yang mengalir ke AGM. Salah satunya, Rp347 juta sebagai insentifnya selaku kuasa pemilik modal di badan usaha sektor migas tersebut.
“Saya tahunya memang itu dari Pak (Baharun) Genda, katanya ada insentif untuk bupati. Ya saya terima saja,” klaimnya. Sehari berselang, pada 18 Januari 2024, persidangan kembali digelar. Kali ini, JPU KPK menghadirkan dua ahli untuk memberikan keterangan. Mereka, Bambang Ardianto (kasubdit di Direktorat Bina Keuangan Daerah Kemendagri) dan Sapto Agung Riyadi (auditor BPKP).
Bambang Ardianto menerangkan, setiap penyertaan modal yang digelontorkan pemerintah daerah ke badan usahanya, harus lewat perda yang nantinya sebagai landasan untuk menuangkan pemberian modal di APBD. Kendati begitu, modal baru bisa diberikan selepas ada keputusan kepala daerah. “Untuk penyertaan modal ini harus ada validasi berlapis dari dewan pengawas BUMD itu juga KPM (kuasa pemilik modal) dalam hal ini kepala daerah,” tuturnya.
Karena itu, rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) jadi dasar dan rujukan untuk mengevaluasi progres pekerjaan selama satu tahun anggaran. RKAP ini pula yang nantinya bisa menjadi tolok ukur apa saja yang dikerjakan perusahaan karena setiap nomenklatur yang tertuang menjadi pijakan perusahaan menggunakan anggaran.
“Dari penggunaan itu harus ada laporan berkala, per bulan dan per tahun,” katanya. Nah, dalam penyusunan RKAP di dalam BUMD, harus menyertakan rencana bisnis dan analisis bisnis agar penggunaan anggaran terukur dan terarah menyesuaikan fiskal badan usaha.
“Dan renbis (rencana bisnis) atau anbis (analisis bisnis) ini juga harus dituangkan dalam RKAP. Kalau tidak ada, jelas melanggar,” singkatnya. Sementara itu, Sapto Agung Riyadi menjelaskan, audit yang ditempuhnya berpedoman pada dokumen yang disampaikan penyidik KPK. Dari dokumen itu, PBTE sama sekali tak memiliki renbis sejak 2021. RKAP yang disusun pun tak sesuai ketentuan dan tak ada pengevaluasian dari dewan pengawas atau KPM dalam hal ini bupati PPU.
“Penggunaan modal yang disertakan tak sesuai dan tak ada kaitannya dengan operasional perusahaan,” ungkapnya. Modal yang digelontorkan Pemkab PPU pada 2021 untuk PBT sebesar Rp12,5 miliar, sementara PBTE senilai Rp3,6 miliar.
Modal ke PBT itu ditujukan untuk pembangunan RMU. Namun, dari hasil pemeriksaan, uang itu digunakan untuk pembiayaan gaji pegawai hingga kegiatan lain yang tak tertuang di RKAP. “PBT ini bukan badan usaha baru. Mereka sudah lama berdiri sehingga operasional dan gaji harusnya sudah menggunakan anggaran perusahaan yang sudah settle. Memang ada keterangan kalau ada kendala keuangan, sehingga modal itu yang digunakan. Tapi ini tak dibenarkan,” urainya.
Beda cerita dengan PBTE. Badan usaha ini merupakan perusahaan yang baru dibentuk pada 2019. Modal yang dikucurkan pada 2021 sebesar Rp3,6 miliar merupakan modal pertama yang digelontorkan. Karena mereka belum punya pemasukan yang pasti sehingga penggunaan modal itu untuk pembiayaan gaji masih diperkenankan.
“Tapi soal adanya insentif untuk bupati jelas tak benar. Makanya kami anggap sebagai kerugian negara yang timbul,” tuturnya. Dia merinci, dari gelondongan modal di PBTE, Rp1,01 miliar merupakan tanggung jawab Baharun Genda karena ada sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi dan senilai Rp847 juta ditanggung AGM.
Sementara di PBT, Dirut PBT Heriyanto bertanggung jawab atas penggunaan uang Rp 4,5 miliar, Kabag Keuangan PBT Karim Abidin senilai Rp933 juta, dan AGM sebesar Rp4,8 miliar.
“Jadi total kerugian yang muncul sekitar Rp14,4 miliar. Rp1,9 berasal dari PBTE dan sisanya di PBT,” singkatnya.
Selepas kedua ahli memberikan keterangan, majelis hakim yang dipimpin Ary Wahyu Irawan memberikan waktu sepekan ke para terdakwa untuk menghadirkan saksi atau ahli meringankan dalam perkara ini. (ryu/riz/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post