BONTANGPOST.ID, Bontang – Bangunan berdiri megah di atas bukit. Nyaris berada di pinggir perbatasan Bontang dan Kutai Timur. Pepohonan melambaikan daun seolah merayu. Meski jalan di sekitarnya masih setapak bebatuan, kaki itu tetap kokoh berpijak selangkah demi langkah.
Seorang pria berdiri di ambang pintu masuk. Tatapannya tegas. Sorot matanya kian berpijar. Ia menatap bangga sebuah bangunan bertuliskan Nanasamvara Bontang di muka bangunan.
Perjalanan puluhan tahun belakangan hampir sampai di tujuan. Bangunan ini menjadi mimpi penganut Buddha di Bontang. Bertahan di tengah nihilnya tempat peribadatan, tak menggoyahkan tekad mereka untuk memiliki sebuah wihara.
Pria itu berhenti di daun pintu. Dibukanya alas kaki sebelum memasuki tempat suci itu. Tiga patung berwarna keemasan tampak megah. Satu patung di tengahnya mencuri perhatian siapapun yang datang, Patung Sidharta Gautama.
Lilin lima warna dipasang kokoh di depan Sang Buddha. Warna biru melambangkan bakti kepada siapa saja, terutama menghormati mereka yang telah membimbing dan berjasa.
Warna kuning melambangkan kebijaksanaan. Hal ini berkaitan dengan cara manusia dalam mengambil keputusan.
Selanjutnya memberikan cinta dan kasih kepada seluruh makhluk hidup, dilambangkan dengan lilin berwarna merah.
Kemudian warna putih yang menandakan suci, serta jingga yang mengartikan semangat dalam menjalani hidup.
“Saya ibadah sebentar,” ujar Sonny Lesmana, tokoh agama Buddha di Bontang yang memiliki andil besar dalam pembangunan wihara ini. Tak berapa lama ia bangkit. Menyudahi ibadahnya siang itu.
Sekelebat memori perjuangan membayanginya. Tatapannya berubah sendu. Betapa sulit membangun sebuah tempat ibadah di kota ini.

Bahkan ketika kepala daerah berganti beberapa kali, pendirian wihara pertama di Bontang tak kunjung terlaksana.
Padahal, bangunan itu bakal didirikan di atas tanah miliknya. Anggaran juga tak mengharap pemerintah. Hanya perlu ‘tiket’ untuk memulai pengerjaan. Mulanya disetujui, tetapi berakhir menggantung.
Setiap berganti kepala daerah, ia sudah siap kembali maju untuk meminta restu. Mengenyahkan ragu. Meski kepastian belum tentu didapatkan dan berakhir jadi angan-angan lagi. Barulah di zaman Basri Rase, ‘lampu hijau’ menyala dan izin dikantongi.
Upaya mereka akhirnya terbayar usai berpeluh, berlari ke sana ke mari, dan selalu menemui jalan buntu.
“Sudah hampir frustasi saat itu, izin enggak turun-turun. Tetapi kami tidak menyerah,” lanjutnya.
Butuh perjuangan sangat panjang hingga akhirnya peletakan batu pertama pada Februari 2022 kemarin. Meski peninjauan lokasi sudah dilakukan sejak 2011 silam, rencana pembangunan ini sempat menelan protes.
“Dulu pernah dipanggil ke DPD. Ada yang menolak pembangunan wihara,” sebutnya.
Kawasan wihara ini luasnya hampir lima hektare. Lokasinya berada di Bukit Kusnodo, Jalan Arief Rahman Hakim. Patung Buddha tidur sepanjang 12 meter juga akan dibangun. Tingginya mencapai 3 meter. Patung ini menggambarkan detik-detik wafatnya Sang Buddha.
Selain itu, bangunan khas dengan menara bertingkat atau pagoda juga bakal didirikan.
Langkahnya berhenti di koridor bangunan. Tampak lima patung Buddha berjajar rapi di sayap kanan. Terlihat pula beberapa stupa. Karya batu pahatan yang digarap seniman asal Bali, I Nyoman Alim Mustapha ini, berasal dari Muntilan, Jawa Tengah.
Sementara di sebelah kiri, lima patung Buddha dilatari pemandangan pabrik dan laut Loktuan.
Jauh sebelum itu, wihara ini sebenarnya sudah dikunjungi beberapa Bhikkhu (sebutan rohaniwan agama Buddha) dari Sangha Theravada Indonesia. Doa-doa dilangitkan. Pemberkahan dilakukan langsung oleh Bhikkhu Subbhapanno.
Sementara saat upacara Abhiseka, ada lima Bhikkhu yang hadir.
Keberadaan wihara ini sejatinya telah dikenal umat lintas negara. Salah satu tokoh Buddha di Australia misalnya.
Perasaannya membuncah. Sumringah menunjukkan potret napak tilas perjalanan terbangunnya wihara pada spanduk sederhana di pelataran.
Ia menceritakan peresmian wihara Nanasamvara yang baru digelar Minggu (23/2/2025) kemarin.
Bhikkhu Sri Subhapanno Mahathera, Bhikkhu Dhammasubho Mahathera, dan Bhikkhu Guttadhammo Mahathera turut hadir di sana.
“Hujan turun tepat setelah acara peresmian. Sama seperti saat peletakan batu pertama yang diwarnai turunnya hujan. Benar-benar berkah,” katanya sambil tersenyum lebar.
Harapannya kembali melambung. Nanasamvara tidak hanya dijadikan tempat ibadah umat Buddha. Kawasan wihara ini bakal menjadi taman wisata religi. Di samping adanya wisata agro yang juga akan dikembangkan.
“Tentu bukan hanya untuk masyarakat lokal. Orang dari luar daerah pun dapat berkunjung. Menengok wisata religi dan agro yang ada di sini,” tutur dia.
Jatuh bangun pendirian wihara menjadi saksi kegigihan umat Buddha di Bontang dalam memperjuangkan rumah ibadahnya. Walau jalan terjal dan berliku, tak menyurutkan harapan dan upaya untuk terus berjalan. Tak peduli berapa tahun lamanya, Sonny yakin pada akhirnya wihara bakal berdiri jua.
Meski harus menghabiskan lebih dari seperempat abad, baginya tak ada yang sia-sia. Sebab wihara ini akan ada sepanjang masa, dari generasi ke generasi. (*)