BANDA ACEH (RA) – Kepala Peneliti Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Khairul Munadi, mengatakan, kesiapsiagaan masyarakat Aceh dalam mengahadapi bencana masih tergolong lemah.
Secara umum aspek mitigasi dan upaya-upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Tidak hanya masyarakat, tetapi juga aparatur pemerintah. Ini tercermin dari minimnya regulasi terkait dan lemahnya implementasi.
“Padahal kebanyakkan kita paham bawah Aceh rawan bencana. Jadi perlu ikhtiar untuk mengantisipasi kerawanan tersebut,” katanya Khairul, Senin (26/12).
Khairul mengatakan, pendidikan atau edukasi mitigasi bencana sangat perlu dan penting diberikan pada masyarakat untuk memahami bencana dan menghadapinya.
“Aceh dengan beragam hazards (ancaman), pendidikan kebencanaan dan khususnya PRB sangat penting. Pemahaman yang benar terhadap bencana dan PRB perlu ditanamkan sejak dini pada anak-anak kita. Tidak hanya sekedar paham, namun juga harus sampai pada perubahan cara berpikir, sehingga terwujud dalam tindakan dan perilaku. Bila tidak, mustahil kita bisa menciptakan Aceh yang aman bencana di masa depan,” katanya.
Ia menambahkan, saat ini sudah ada beberapa upaya dan tindakan yang dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang bencana. Seperti seperti sekolah siaga bencana, drill, sosialisasi, dan lainnya.
“Namun belum cukup masif dan sistemik. Sehingga keberlanjutannya terganggu,” ujarnya.
Dikatakannya, untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai bencana kepada masyarakat secara luas, pemerintah seharus membuat kebijakan yang intensif serta berkelanjutan.Perlu adanya intervensi kebijakan yang ditopang dengan intervensi sosio-kultural.
“Upaya edukasi kebencanaan harus diwajibkan dalam pendidikan formal, baik terintegrasi dengan kurikulum maupun sebagai pendukung atau ekstra kurikuler. Selain itu, perlu juga keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama, sebagai upaya memberikan edukasi nonformal kepada masyarakat,” paparnya.
Ia menyebutkan, saat ini masih banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk membangun kesadaran dan pemahaman bencana secara meyeluruh. Khusus tsunami, pengetahuan hal ini harus diberikan.
“Pemerintah perlu membangun kesadaran secara kolektif bahwa Aceh adalah daerah rawan tsunami. Menurut fakta saintifik, keberulangan tsunami di Aceh adalah keniscayaan. Hanya kita tidak tahu kapan waktu pastinya akan kembali terjadi. Oleh karena itu, kita dan anak cucu kita harus selalu siap siaga dan paham bagaimana menyelamatkan diri ketika tsunami. Pengetahuan tentang tsunami harus diturunkan lintas generasi,” jelasnya.
Menurutnya, kesadaran tentang bencana yang di dibangun di tengah-tengah masyarakat perlu diikuti aparatur pemerintah dan legislatif, agar setiap kebijakan yang dihasilkan saling bertautan.
“Sehingga aspek PRB dan kesiapsiagaan dapat lebih terintegrasi dalam program-program pembangunan,” tegasnya.
Lebih jauh ia mengatakan, solusi terbaik yang harus diberikan pemerintah untuk membangun pemahaman tentang bencana ialah pendidikan kebencanaan. Kerana dengan kesadaran dan pengetahuan masyarakat bisa paham gejala bencana yang akan terjadi.
“Solusinya, pendidikan kebencanaan atau disaster education secara sistematis dan berkelanjutan. Selain itu, perlu juga diperbanyak latihan-latihan (tsunami drill) yang dilaksanakan mandiri sekolah-sekolah dan masyarakat di daerah rawan. Dengan begitu, kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dapat terjaga,” pungkasnya.
Ia juga berharap, media juga harus mengambil peran yang lebih proporsional. Materi edukasi perlu lebih banyak diketengahkan di media saat prabencana, sebagai bentuk kampanye pengetahuan kepada publik.
Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Provinsi Aceh, Faizal Ardiansyah, menuturkan, selama ini pemerintah lebih cepat mengatasi paska bencana dibandingan meminimalisasi atau mencegah bencana terjadi.
“Bencana sudah sering terjadi dan berulang. Tetapi kita sering lupa ketika usai bencana. Kita kembali terkejut ketika bencana tiba, apalagi banyak korban. Kita sepertinya menghadapi bencana lebih reaktif ketimbang prefentif,” ungkapnya.
Faizal menilai, penangan bencana yang terjadi selama ini hanya bersifat instan, namun tidak diringi dengan pengetahuan dan pemahaman serta kesadaran bencana. Sehingga jika terjadi bencana masyarakat tekejut.
“Sifat penanganan (bencana) kita instan. Jadi, kita kembali terkejut ketika bencana tiba,” ujarnya.
Ia menuturkan, membangun kesadaran dan pemahaman tentang bencana bisa dilakukan pada sekolah-sekolah, untuk menanamkan pendidikan terkait kebencanaan.
“Sekolah yang mengambil inisiatif sendiri mengadakan pelatihan atau drill dan menyisipkan pada pelajaran yang terkait misalnya geografi. Tapi ada sekolah yang sama sekali tidak ada kegiatan tersebut. Di sini perlu peran pemerintah membuat aturan baku,” katanya.
Ia juga mengatakan, bangun evakuasi bencana atau escape building yang dibangun di beberapa lokasi sangat memperihatinkan.
“Banyak dibangun escape building terutama di daerah pesisir. Tujuannya untuk tempat berlindung ketika tsunami datang. Tapi tidak diberdayakan. Sehigga kalau bencana datang masyarakat tidak berminat berlindung ketempat tersebut,” imbuhnya.
Seandainya, lanjutnya, tempat itu dikelola dengan baik, tentu masyarakat akan merasakan bermanfaatnya, apakah ruang pertemuan, pengajian dan lainnya.
Ia berharap, melalu peringatan 12 tahun tsunami kali ini kesadaran akan bencana pada masyarakat dan pemerintah bisa terbangun.
“Mari kita bangun kesadaran bahwa kita hidup di daerah bencana maka kita harus selalu siapa menghadapi bencana,” harapnya. (mag-68/mai/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post