IRONISNYA masih banyak masyarakat Kaltim yang mengharapkan adanya pemberian uang dalam momen-momen pemilu, termasuk Pilgub Kaltim 2018 yang tinggal hitungan hari. Dari survei yang dilakukan Pusat Studi Otonomi Daerah dan Desa Fakultas Hukum (FH) Unmul Samarinda, didapati 60 persen masyarakat Kaltim masih mengharapkan adanya politik uang, khususnya dalam momen pilgub.
Survei ini dilakukan selama dua bulan di 2017 silam, dengan instrumen kuesioner pada seribu responden di empat kabupaten/kota di Kaltim yang menjadi sampel. “Kami melakukan survei masyarakat secara umum yang telah memiliki hak pilih. Di dalamnya termasuk pemilih pemula,” kata Najidah, akademisi FH Unmul yang mengawal survei ini.
Dalam survei yang melibatkan para mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) ini, sejumlah pertanyaan diajukan kepada responden, termasuk alasan menerima uang. Rata-rata menjawab tidak menolak uang yang diberikan karena dianggap sebagai rezeki. Di satu sisi, meski sudah menerima uang, bukan lantas menjadi sebab responden untuk memberikan suaranya kepada kandidat tertentu.
“Sebanyak 90 persen responden menyatakan pilgub ini penting, namun menurut mereka siapapun yang menang tidak terlalu penting. Mereka memberikan suara bukan karena telah diberi sejumlah uang. Kebanyakan mau menerima uang karena hanya memanfaatkan momen pilgub,” jelasnya.
Dari hasil survei ini, dapat diketahui bahwa masyarakat berada dalam kondisi yang dibuat tergantung dengan politik uang. Politik uang yang sejatinya tabu, kini dianggap sebagai sesuatu yang sudah umum bahkan cenderung dinantikan kehadirannya. Sehingga menjadi tugas berat dalam menggugah kepasifan masyarakat untuk bisa memberikan hak pilih tanpa iming-iming materi sesaat.
Sosialisasi, disebut Najidah, menjadi sangat penting untuk mencegah praktik sesat ini terulang. Termasuk di dalamnya penyampaian informasi sanksi yang bisa diterima pelaku politik uang, baik pemberi maupun penerima. Ketakutan akan adanya pidana yang bisa menjerat nyatanya telah disadari oleh masyarakat.
“Dalam kuesioner pertanyaan alasan menolak politik uang ada dua pilihan, yaitu takut hukum dan takut Tuhan (dosa, Red.). Mayoritas menjawab takut hukum, tidak ada yang menjawab takut Tuhan,” bebernya.
Para penerima politik uang pun diketahui lebih memilih diam dan tak melaporkan adanya praktik haram tersebut. Mereka enggan melaporkan karena sudah terlebih dulu menganggap proses pelaporannya bakal ribet dan berbelit.
“Kesadaran masyarakat masih harus terus dibangun. Karena politik uang ini berkorelasi erat dengan partisipasi masyakarat,” terang Najidah. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: