Oleh: Lukman Maulana
Redaktur Bontang Post
BELAKANGAN ini puisi berjudul “Ibu Indonesia” buah karya Sukmawati Soekarnoputri ramai diperbincangkan. Puisi yang dibacakan putri presiden pertama RI tersebut mengundang kontroversi karena dianggap menyinggung agama Islam. Pasalnya dalam puisi yang dibacakan dalam sebuah kegiatan fashion tersebut, Sukmawati dengan bebasnya membandingkan unsur-unsur budaya nusantara dengan ajaran agama.
Praktis muncul beragam protes dan kecaman terhadap Sukmawati. Dianggap melakukan penistaan agama, sejumlah pihak ramai-ramai melaporkan politisi PDI Peruangan tersebut ke aparat kepolisian. Tentu kontroversi ini merupakan hal yang sangat disayangkan terjadi. Seakan mengulang kembali memori penistaan agama yang telah membawa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta kala itu masuk ruang tahanan.
Memang, sejak kasus Ahok, kasus-kasus penistaan agama begitu marak dan masif ditemukan. Khususnya yang terjadi di media sosial, seakan tak henti laporan masuk ke kepolisian akibat tulisan-tulisan yang dianggap menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), lebih khususnya yaitu penistaan agama. Dan laporan atas pelanggaran norma seperti ini merupakan hal yang diperbolehkan karena telah ada peraturan yang berlaku untuk itu. Ancaman pidana penjara menanti bagi mereka yang tidak memiliki kepekaan sosial dan terbukti menistakan agama.
Seharusnya kasus Ahok menjadi pelajaran bagi masyarakat kita untuk lebih cerdas dan berhati-hati dalam bertindak. Jangan sampai ucapan, tindakan, atau tulisan yang dibuat bersinggungan dengan SARA, dalam hal ini agama, yang bisa berujung pada pelaporan di kepolisian. Namun nyatanya, masih ada bahkan banyak orang-orang bernalar pendek yang sengaja membuat keributan dengan menyinggung persoalan yang sangat sensitif ini.
Di media sosial misalnya, mudah ditemukan tulisan-tulisan baik berupa kiriman atau komentar yang bila dibaca, secara jelas menyinggung kelompok-kelompok tertentu. Hal ini tentu tidak sehat, mengingat media sosial kini menjadi ruang publik yang bisa diakses siapa saja. Tulisan-tulisan bernada SARA itu ketika terunggah, bukan lantas berhenti di situ. Melainkan memunculkan lebih banyak lagi tulisan sejenis yang menjadi balasan atau penguat dari tulisan yang memulakannya.
Media sosial, sebagaimana bentuk-bentuk teknologi lainnya, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bisa berguna dalam membantu pekerjaan manusia menjadi lebih mudah, di satu sisi bisa malah mencelakakan. Sehingga sangat diperlukan kearifan dan kecerdasan dalam menyikapinya agar nantinya tidak berujung petaka. Malahan mungkin lebih baik menghindarinya sama sekali bila memang belum mampu “menahan diri” untuk tidak menyinggung SARA.
Indonesia merupakan negara dengan profil dan demografi yang beragam, sebagaimana ditegaskan dalam semboyan bangsa, “Bhineka Tunggal Ika”. Biarpun berbeda-beda, namun tetap satu jua. Hal ini yang harusnya disadari oleh masyarakat Indonesia dewasa ini bahwa segala perbuatan yang bisa menyinggung SARA sebaiknya dihindari. Kebanggaan akan kelompok sendiri jangan lantas dijadikan alasan untuk menjatuhkan atau menghina kelompok lainnya.
Keberadaan peraturan atas pelanggaran ini sejatinya sudah menjadi sebuah peringatan bagi siapa saja untuk lebih berhati-hati. Ditambah lagi sudah banyak kasus terjadi dan sudah banyak pula korban sia-sia yang menjalani hukumannya karena penistaan agama. Apapun alasannya, tak ada pembenaran bagi individu di tanah nusantara ini untuk menghina satu sama lain, apalagi sampai menghina SARA.
Tak ada dalih yang boleh digunakan sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan penistaan agama. Bahkan dalam seni dan kebebasan berekspresi serta menyampaikan pendapat, selalu harus dilakukan dengan penuh bertanggung jawab. Artinya, sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi keberagaman, setiap karya yang dihasilkan sudah semestinya tidak menyinggung SARA atau keyakinan orang lain.
Persoalan SARA di negeri ini sejatinya sudah eksis sejak puluhan tahun lalu. Pun dengan yang berakhir konflik berdarah yang tentu sangat disesalkan dapat terjadi. Sehingga bukan hal yang baru ketika dalam setiap kesempatan, selalu ditekankan oleh mereka yang paham dan mengerti, yang terus-menerus mengingatkan agar tidak menyinggung SARA di setiap kesempatan. Itu pun tercantum dalam setiap kriteria lomba atau yang sejenis itu.
Seharusnya dari semua bentuk pelajaran itu, tidak ada lagi bentuk-bentuk penghinaan berbau SARA lagi di negeri tercinta ini. Keragaman adalah fitrah, maka tentu sudah seharusnya diterima dengan penuh semangat persatuan dan kesatuan. Tidak ada lagi individu-invididu maupun kelompok-kelompok yang merasa lebih pintar, lebih tinggi, atau lebih baik dari yang lainnya. Semuanya sama, sama-sama anak bumi pertiwi.
Maka sudah tepat ketika ada peraturan yang dibuat untuk menjaga persatuan dan kesatuan tersebut. Di satu sisi, aparat berwenang juga harus bekerja dengan penuh keadilan. Jangan sampai upaya penindakan suatu kasus berbeda dengan kasus lainnya yang memiliki derajat yang sama. Siapapun pelaku penistaan atas SARA, entah itu warga biasa, gubernur, anggota dewan, atau putri presiden sekalipun, sudah seharusnya mendapat perlakuan yang sama. Semua harus ditindak dengan prosedur hukum tanpa pembedaan agar legalitas hukum tetap terjaga, memunculkan efek jera dan menjadi pelajaran bagi kita semua.
Marilah kita terus bersama-sama saling menghormati dan tenggang rasa satu sama lain. Sebagaimana yang diajarkan dalam pelajaran PMP, PPKn, atau PKn. Tunjukkan bahwa kita bangsa yang santun. Karena sejatinya bangsa ini lahir dari segala bentuk perbedaan yang melebur menjadi satu. Jangan sampai ego pribadi atau kepentingan kelompok merusak persatuan dam kesatuan yang telah begitu susah payah dibangun. Merdeka. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: