Sekali-kali Anda tidak perlu membuka media sosial dalam satu hari saja. Hidup Anda mungkin akan lebih tenang. Jika itu tidak bisa dilakukan, berarti ketergantungan Anda pada media sosial sedemikian besar. Mengapa begitu? Karena sumber dari kegaduhan di sekitar kita salah satunya disebabkan oleh media sosial itu. Tidak mudah memang mematikan media sosial, tetapi layak untuk dicoba.
Kita bisa lihat banyak contoh. Persoalan yang menyangkut kebijakan negara atau perilaku oposisi bisa jadi hal biasa dalam demokrasi, tetapi saat sudah tersebar di media sosial semua akan menjadi lain. Persoalan yang kecil dan bisa diterima dengan akal sehat bisa menjadi besar dan seolah menjadi sangat membahayakan. Anehnya, yang mengklaim membahayakan itu aktivis media sosial itu sendiri.
Mengapa kegaduhan itu bersumber dari media sosial? Karena dengan media sosial seseorang bisa membingkai informasi sesuai kepentingan dirinya sendiri. Karena ada kepentingan, maka bingkai itu tentu akan disesuaikan dengan kecenderungan dirinya.
Media mainstream saja tak jarang masih melakukan bingkai-bingkai yang cenderung memihak, apalagi media sosial. Coba perhatikan contoh di bawah ini untuk bisa memahami persoalan secara lebih jeli.
Sebut saja seorang menteri. Karena seorang menteri ini sangat populer, banyak awak media mengejar untuk mendapatkan statementnya tentang berbagai peristiwa di tanah air. Saat kerumunan jurnalis melihat menteri populer itu keluar dari mobil, buru-buru ia dicegatnya. Misalnya, saat itu sedang gencar pemberitaan tentang adanya kampanye mencintai produk dalam negeri dan usaha pemerintah untuk menekan masukknya barang-barang luar negeri. Terjadilah dialog sebagai beribut;
“Pak, mohon komentar bagaimana tanggapan bapak tentang keinginan pemerintah untuk membatasi makanan impor? ”tanya wartawan.
“Baguslah, kita harus memberdayakan hasil dalam negeri. Masih banyak makanan potensial daerah yang terus perlu dikembangkan, “jawab menteri singkat.
“Ngomong-omong, apakah bapak suka makanan sate kambing?”
“Hmmmm….sejak saya periksa ke dokter bulan lalu, saya diminta mengurangi makanan daging, terutama daging kambing”. Tidak baik untuk kesehatan saya.
“Bagaimana dengan Burger pak?”
“Saya senang, karena itu sehat dan tidak banyak mengandung daging. Udah ya, ini saya mau rapat kabinet, kapan-kapan disambung lagi, “potong sang Menteri.
Sangat mungkin ketika wartawan itu menulis berita akan muncul beberapa judul sebagai berikut, (1) Pak Menteri Tidak Suka Daging Kambing, (2) Para Menteri Tidak Suka Makanan Daerah, (3) Pemerintah Mematikan Potensi Dalam Negeri, (4) Para Menteri Lebih Menggandrungi Makanan Impor dan lain-lain.
Ini tidak bermaksud menilai secara sepihak, bahwa apa yang ditangkap wartawan itu selalu salah. Bukan itu. Yang ingin ditekankan adalah bahwa media punya bingkai tertentu dalam mengonstruksi fakta-fakta di lapangan. Media umum dengan perangkat sistem yang ketat saja bisa begitu, bagaimana dengan konstruksi individu dalam media sosial? Sudah pasti lebih “tragis” dari apa yang dibuat oleh media umum tersebut.
Sementara itu, informasi yang diterima seseorang dari media sosial belum tentu benar. Jadi, sudah terbayang jika sebuah informasi di media sosial kemudian akan riuh dengan tanggapan-tanggapan dan disebar ke sana kemari sebagai pesan liar.
Budaya Komentar
Salah satu yang mencirikan perkembangan masyarakat kita saat ini adalah senang berkomentar. Untuk urusan apa saja. Entah itu dalam pergaulan sehari-hari, mendapatkan informasi atau pengetahuan sedikit atau suka dan tidak suka pada sebuah kejadian. Untuk lebih konkrit, coba amati media sosial. Berapa banyak diantara mereka yang bisa menulis? Tentu lebih banyak yang berkomentar, bukan? Coba Anda pancing dengan sebuah pernyataan di media sosial (misalnya Facebook atau twitter), yang senang berkomentar akan lebih banyak. Coba Anda perhatikan group WhatsApp (WA), yang senang berkomentar orangnya ya itu-itu saja.
Budaya komentar memang lebih populer di masyarakat kita saat ini. Mengapa itu terjadi? Masyarakat kita bisa jadi sedang kehilangan jati dirinya. Seorang komentator merasa perlu banyak komentar biar dianggap eksis. Bahkan ada ungkapan populer, “Aku komentar maka aku ada”. Ungkapan ini telah mendorong manusia untuk eksis di masyarakat, salah satunya dengan banyak berkomentar.
Budaya komentar di atas tentu telah mendorong manusia untuk eksis dalam masyarakat maya. Secara fisik kita memang hidup dalam masyarakat nyata, tetapi segala tindak tanduknya membuktikan kita berada dalam masyarakat maya. Tak sedikit komentar-komentar itu memang berbobot, tetapi lebih banyak yang bersifat sampah. Jarang ada yang menulis komentar dengan memberikan data cukup dalam memberikan argumentasi. Masyarakat maya telah mendorong individu menjadi masyarakat yang suka mengomentari saja. Mengomentari tentu lebih gampang dibanding mengerjakan. Kita memang masih berada dalam masyarakat budaya komentar, bukan budaya kerja.
Masyarakat maya kadang-kadang mengharuskan apa yang ada dalam pikiran seseorang perlu dibagi ke orang lain, dimanapun berada. Tak jarang eksistensi seseorang dinilai dari seberapa sering ia memberi komentar.
Budaya komentar pada masyarakat kita telah menunjukkan betapa dangkalnya pengetahuan kita. Kita lebih suka mengomentari yang bersifat remeh temeh dan tak substansial. Coba kita perhatikan segala sesuatu yang menyangkut remeh-temeh, akan riuh dengan komentar.
Alat Politik
Lebih parah lagi, jika budaya komentar itu dipakai untuk alat politik. Yang kemudian muncul adalah suasana rasa benci yang meluap-luap dan fanatisme membabi buta. Segala komentar selalu ditujukan untuk menyerang dan menyebar kebencian.
Bisa jadi seseorang itu hanya terpancing oleh komentar orang lain, lalu ia ikut-ikutan berkomentar, hanya untuk menyerang “lawan” saja. Tak terkecuali, mereka yang dianggap secara agamawan kuat saja bisa ikut-ikutan berkomentar dengan sumber yang belum tentu benar.
Ibarat roda, budaya komentar akan terus berputar. Yang menyebarkannya juga akan terus berkomentar sampai tujuannya tercapai. Ia akan terus berputar seperti spiral. Saling sahut-sahutan untuk mencari pelampiasan emosional. Kasus ini akan terus berlangsung tanpa ada ujung pangkalnya. Budaya komentar adalah realitas masyarakat dangkal pengetahuan dengan dibungkus emosi sesaat.
Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Penulis buku “Perkembangan Teknologi Komunikasi (2017)”.
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post