BONTANG – Pembacaan sita eksekusi yang dilakukan pihak Pengadilan Negeri (PN) Bontang terpaksa harus ditunda. Pasalnya, dari pihak penggugat yakni Hj Hatija binti Rombe dan Ipiah binti Rombe melakukan perlawanan hingga kericuhan terjadi. Para aparat keamanan pun berupaya untuk mengamankan situasi agar tetap kondusif.
Sebelum dilakukan pembacaan sita eksekusi, pihak keluarga dari Hatija telah melakukan perlawanan. Hatija merupakan istri dari H Siraju. Mereka menolak pembacaan eksekusi yang dilakukan Panitera PN Bontang Hadi Riyanto. Bahkan sempat terjadi kerusuhan, pihak keluarga melempari tim eksekusi untuk segera meninggalkan rumah yang mereka tinggali sejak tahun 1991.
Karena situasi tidak kondusif, rencana eksekusi batal dilakukan. Aparat lantas balik kanan untuk koordinasi lebih lanjut dengan tim di Samarinda.
Panitera PN Bontang Hadi Riyanto mengatakan pelaksanaan eksekusi dianggap tertunda karena masalah tersebut. Sehingga dan akan diagendakan ulang.
“Jadi eksekusi dianggap tertunda karena keadaan di lapangan jadi tidak memungkinan dilanjutkan pembacaan eksekusi. Jadi akan diagendakan ulang,” jelas Hadi saat ditemui di PN Bontang usai rapat bersama tim gabungan eksekusi, Rabu (10/10) kemarin.
Menurut dia, prosesnya perlu waktu karena akan dikoordinasikan ke Samarinda. “Kami tadi pembacaan sita eksekusi. Masih banyak tahapan berikutnya yakni pelelangan dari hasil apa yang disita. Untuk nilainya ada tim appraisal tersendiri yang menilainya,” jelas Hadi Riyanto.
Untuk diketahui, eksekusi rumah milik Hj Hatija dan Ipiah ini buntut permasalahan pembangunan gedung Pasar Rawa Indah. Di mana sebagian lahan pasar Rawa Indah diakui adalah milik mereka. Dan mereka menghalangi pembangunan Pasar Rawa Indah hingga mangkrak bertahun-tahun.
Dari hasil gugatan di pengadilan MA, akhirnya keluar putusan yakni para penggugat rekonvensi (Hatija dan Ipiah) diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 4.798.272.350 kepada tergugat I rekonvensi (kontraktor PT Raka).
Dikarenakan tidak kunjung membayar, maka keluar putusan eksekusi 3 rumah milik Hatija dan Ipiah sebagai jaminan.
Saat tim gabungan eksekusi melakukan sita eksekusi, para penghuni rumah yang terdiri dari tiga Kepala Keluarga (KK) ini langsung melempari petugas dengan batu-batu kecil dan air. Yang akhirnya membuat orang-orang di sekitar berlarian mengamankan diri.
Tak hanya itu para penghuni rumah juga mendorong dan meneriaki tim gabungan sambil menyuarakan kekecewaannya terhadap Pemerintah Kota Bontang yang dianggap telah membohongi mereka.
Terpisah, Pengacara Hukum keluarga H Hatija dan Ipiah, Abdul Rahman SH menyatakan, sebenarnya mempersilakan untuk pembacaan sita. Hanya saja yang dikhawatirkan pihak keluarga adalah setelah pembacaan maka mereka diharuskan mengosongkan rumah tersebut.
“Mereka takut jika dibacakan sita eksekusi, maka diminta langsung pengosongan rumah, karena awamnya. Nah kami dari sisi formalnya mengakui itu adalah tahapan. Baru penetapan sita eksekusi, belum pengosongan,” beber Rahman.
“Terjadi keributan tadi karena pemahamannya berbeda. Pahamnya masyarakat awam begitu ada sita eksekusi plus pengosongan, penggusuran, padahal tidak,” imbuhnya.
Sebagai kuasa hukum yang sekaligus keluarga klien, Rahman, menyatakan akan melakukan upaya hukum. “Kami akan melawan penetapan eksekusi dan kedua akan melakukan PK terhadap pokok perkara Pasar Rawa Indah,” tandas Rahman.
Kenapa selama ini tidak dilakukan upaya hukum? Menurut Rahman, karena selama ini kliennya melakukan dialog kekeluargaan. “Itu saya persilakan prinsipal untuk negosiasi, tapi kenyataan saya diberitahu akan diadakan sita eksekusi pada tanggal 10 ini, makanya saya hadir,” katanya.
Ditambahkan Rahman, dalam waktu dekat, pihaknya akan mempersiapkan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). (mga)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post