Kisah para Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri kerap pahit dan getir. Namun, Kerupuk buatan mereka harus tetap gurih dan renyah.
WAHYU RAMADHAN, Barabai
Desa Haliau yang terletak di Jalan Tanjung Pura, Kecamatan Batu Benawa, ramai Jumat sore (18/1) itu. Pejalan kaki serta pengendara roda dua dan roda empat tampak hilir mudik. Mereka berwisata. Maklum, beberapa bulan terakhir, desa yang letaknya hanya berjarak sekitar 9 kilometer dari pusat Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Barabai, itu punya banyak tempat rekreasi baru. Daya tarik utamanya adalah objek wisata air yang berpadu dengan panorama alam khas Pegunungan Meratus. Misalnya, Gua Limbuhang Haliau dan Riam Bajandik.
Tidak jauh dari Gua Limbuhang Haliau, di sebuah rumah bercat cokelat, tiga perempuan asyik membungkus kerupuk. Nur Aminah (36), Latifah (32) dan Halimatussa’diah (42), sang pemilik rumah.
“Bisur’ah bisur’ah (bahasa Arab, cepat, Red),” ucap Nur Aminah, mengingatkan Latifah yang duduk di sampingnya. Yang diingatkan pun segera beranjak. Dia bergegas ke dapur yang hanya berjarak kira-kira empat langkah dari tempatnya duduk semula.
Latifah lantas berdiri menghadap wajan berisi minyak goreng yang mulai mengepulkan uap panas. Kemudian, dia memasukkan kerupuk kering ke dalam minyak itu, sedikit demi sedikit. Tak sampai satu menit, kerupuk kering yang dimasukkan berubah wujud. Muncullah kerupuk dengan ukuran yang lebih besar. Segar dari penggorengan. Sebagian permukaan kerupuk tampak berkilau karena masih ada minyak yang menempel di sana.
Nur Aminah, Latifah dan Halimatussa’diah adalah perajin Kerupuk TKW. Jika menyimak bahasa Arab yang kerap muncul dalam percakapan tiga perempuan itu, penulis paham bahwa mereka bertiga pernah bekerja di Arab Saudi.
“Kami bertiga mantan TKW. Bertahun-tahun di Arab Saudi membuat kami lancar berbahasa Arab. Dari profesi itu pula nama kerupuk ini diambil,” ujar Halimatussa’diah, sembari menempelkan ujung plastik bungkus kerupuk ke lampu teplok. Dengan satu gerakan tangan, plastik bungkus kerupuk itu menjadi rapat berkat bantuan panas dari lampu teplok.
Di sela-sela kegiatan mereka sore itu, tiga perempuan Haliau tersebut bercakap-capak. Sesekali, mereka bercanda. Komunikasi yang muncul di sela menggoreng kerupuk, memasukkan kerupuk ke dalam plastik, hingga menutup rapat bungkusan terjadi dalam bahasa Arab.
Kerupuk TKW tidak asing di lidah masyarakat Kabupaten HST. Kerupuk berwarna krem itu kerap menghiasi warung-warung makan di kabupaten bergelar Bumi Murakata (mufakat rakat dan seiya sekata) tersebut. Kerupuk itu tebalnya tak sampai setengah ibu jari. Lebarnya tidak lebih dari sekepalan tangan bayi.
Rasanya? Gurih, renyah dan bikin ketagihan. Seperti menyantap udang goreng. Cocok sebagai pelengkap bersantap mi atau nasi. Sekadar camilan di waktu senggang pun boleh juga. Bisa menjadi teman untuk mengusir rasa bosan, layaknya kuaci.
Halimatussa’diah mengatakan bahwa Kerupuk TKW lahir pada 2006. Saat itu, puluhan warga Batu Benawa yang berprofesi sebagai TKW di Arab Saudi pulang. Mereka memutuskan kembali ke kampung halaman karena beragam alasan. Ada yang karena kontrak kerjanya habis. Ada yang nekat kabur akibat perlakuan tidak senonoh para majikan. Ada pula yang putus asa karena berbulan-bulan tidak gajian.
Dinas Sosial (Dinsos) setempat lantas merangkul para TKW tersebut. Bersama Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Banjarbaru, Dinsos mendata TKW-TKW itu. Dari Batu Benawa, ada sekitar 25 TKW. Selanjutnya, mereka diberi pelatihan wiraswasta. Tepatnya, merintis usaha rumahan.
“Jadi, semua TKW di kecamatan ini, termasuk kami bertiga mengikuti pelatihan pembuatan Kerupuk TKW,” ungkap perempuan yang pernah dua kali menjadi TKW di Arab Saudi itu.
Usai pelatihan, 25 TKW Kecamatan Batu Benawa itu mendapatkan modal. Setelah itu, mereka praktik membuat Kerupuk TKW. Perlahan namun pasti, usaha para TKW itu membuahkan hasil. Halimatussa’diah dan dua rekannya tidak mengenal lelah. Mereka mempromosikan kerupuknya dari warung ke warung. Sebungkus besar Kerupuk TKW yang berisi 15 bungkusan kecil itu mereka hargai Rp12 ribu. “Di warung, biasanya dijual Rp1.000 per bungkus kecil,” timbrung Nur Aminah.
Sayangnya, tidak semua mantan TKW segigih Halimatussa’diah, Latifah dan Nur Aminah. Seiring berjalannya waktu, tidak banyak mantan TKW yang bertahan dalam bisnis rumahan tersebut. Saat ini, di seantero Kabupaten HST, hanya tinggal trio mantan TKW Haliau itu saja yang masih tekun membikin Kerupuk TKW.
Memang, membuat Kerupuk TKW butuh proses yang panjang dan lama. Nur Aminah menjelaskan bahwa kerupuk berbahan dasar tepung terigu, tepung tapioka, bawang putih, udang, serta penyedap rasa itu tidak bisa diolah sembarangan. Setelah semua bahan dicampur, adonan kerupuk harus dimasukkan ke dalam plastik yang biasa digunakan untuk membuat batu es. Adonan-adonan itu kemudian dikukus selama dua jam.
“Setelah dikukus baru dipotong-potong tipis. Setelah itu, dijemur sampai benar-benar kering. Proses penjemuran ini yang terkadang menjadi hambatan karena tergantung cuaca,” tutur pekerja migran yang pulang kampung setelah kabur dari majikannya itu. Ketika itu, Nur Aminah nekat melompat dari lantai dua. Dia kesal karena gajinya selama berbulan-bulan tidak kunjung dibayar.
Lantas, apakah setelah dijemur kerupuk-kerupuk itu bisa langsung digoreng? Latifah, yang sedari awal bertugas sebagai pembungkus merangkap sebagai penggoreng adonan, menggeleng. Menurut dia, kerupuk yang sudah dijemur masih harus melewati proses lagi. Yakni, pendiaman selama tiga hari. Hal itu dilakukan, sekali lagi agar adonan benar-benar kering.
“Kami percaya, adonan yang benar-benar kering akan membuat rasa kerupuk lebih pekat,” bebernya. Ibu dua anak itu lantas menawarkan sepiring kerupuk yang baru diangkat dari wajan. Masih panas. Tapi, rasanya benar-benar enak.
Kendati usaha rumahan yang mereka geluti itu lancar, tiga mantan TKW itu ternyata tetap punya kerinduan untuk kembali ke Arab Saudi. Mereka sepakat, bekerja di Arab Saudi lebih mudah menghasilkan uang. Sebab, gaji yang mereka terima sebagai pekerja migran lumayan besar. Selain itu, mereka juga bisa sekaligus menunaikan ibadah haji.
Angan-angan sebagai TKW itu pula yang kerap membuat hati tiga perempuan itu galau. Kalau sudah begitu, produktivitas terganggu. Saat galau melanda, mereka hanya mengolah 20 kilogram adonan kerupuk saja. Sebaliknya, saat suasana hati mendukung, Halimatussa’diah dan dua temannya bisa mengolah sampai lebih dari 100 kilogram adonan.
“Usaha ini jadi usaha sampingan. Dikerjakan dua pekan sekali tergantung ada modal atau tidak. Di sini, kami rata-rata pergi ke kebun pada pagi hari,” tutur Latifah. Dia menambahkan bahwa untuk modal, ketiganya urunan. Biasanya, Rp 50 ribu per orang. Uang itu digunakan membeli bahan baku di pasar.
Sampai sekarang, Kerupuk TKW dipasarkan secara mandiri oleh tiga perempuan tersebut. Diletakkan di warung-warung di HST tanpa label atau merek. Bahkan, tanpa pernah diketahui siapa yang sebenarnya memproduksi. Yang pembeli tahu, harga kerupuk renyah itu sangat terjangkau. Bungkus ala kadarnya, tapi cita rasanya istimewa.
“Pahit manis kehidupan kami cukup saat menjadi TKW saja. Kalau sudah di kampung halaman, Kerupuk TKW yang kami buat harus tetap renyah dan gurih,” pungkas Nur Aminah. (war/ay/ran/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post