Erfan Hezim sudah terlihat merumput lagi. Di dunia sepakbola istilah ‘merumput’ artinya turun ke lapangan. Main bola lagi.
Erfan adalah bintang muda satu-satunya: dari Xinjiang. Sejak tahun 1955 Xinjiang jadi daerah otonom di Tiongkok. Lantaran kekhasan suku terbesarnya: Uyghur. Dan mayoritas agamanya: Islam.
Baliknya Erfan ke lapangan menjadi berita penting. Beberapa waktu lamanya ia tidak terlihat di lapangan. Ia dikabarkan harus ikut ‘penataran P7’. Istilah saya untuk program indoktrinasi ideologi negara di sana. Yang kelihatannya lebih berat dari P4. Yang pernah saya ikuti di zaman Orde Baru dulu.
Begitu banyak warga Xinjiang yang harus menjalani begituan. Semua dirahasiakan. Tidak ada yang tahu. Apakah yang sebenarnya terjadi? Sampai dunia menyorotinya. Termasuk dunia Islam.
Erfan termasuk yang dicari-cari selama masa menghilangnya. Ke mana gerangan ia. Yang mempertanyakan itu termasuk dunia sepakbola internasional. Ibunya pun tidak tahu di mana ia. Anak berumur 20 tahun itu hanya pulang sebentar. Saat liburan kompetisi liga sepakbola di Tiongkok. Selama musim dingin yang bersalju.
Kampung halaman Erfan adalah Darbiljin. Lebih pelosok dari pelosok. Di Kabupaten Tacheng, Xinjiang.
Di mana itu? Jauuuuh sekali. Saya sudah pernah ke Xinjiang. Yang begitu jauh. Tapi belum pernah ke Tacheng. Yang lebih jauh lagi. Yang letaknya persis di perbatasan dengan Kazakstan.
Ia anak tunggal. Main sepakbola sejak umur 15 tahun. Bakat sepakbolanya luar biasa. Sampai masuk tim nasional Tiongkok. Untuk kategori junior.
Dua tahun lalu Erfan sudah diikutkan perlawatan ke Spanyol. Selama 10 hari. Lalu ke Dubai. Ia tampil brilian. Lalu dikontrak oleh klub profesional dari Nanjing: Jiangsu Sainty FC. Meski usianya masih terlalu muda.
Waktu dimasukkan P7 status Erfan adalah pemain depan Jiangsu FC. Kini ia sudah bersama-sama teman timnya lagi. Liga sepakbola Tiongkok memang baru saja dimulai lagi. Minggu lalu. Jiangsu menjadi tuan rumah. Untuk pertandingan pertama musim ini. Jiangsu menang 3-2 lawan tim ‘kampung saya’ Tianjin. Saya lihat Erfan belum diturunkan.
Xinjiang punya sejarah panjang. Yang ruwet. Xinjiang menjadi bagian Tiongkok sejak dinasti Qing. Di tahun 1759. Sejak raja Islam di sana menyerahkannya ke kaisar Qing. Daripada jatuh lagi ke suku Dzung. Yang sudah nyaris menjatuhkan raja Burhanuddin.
Turki lah yang berjasa mengislamkan wilayah itu. Nama kawasan ini pun pernah disebut Turkistan. Xinjiang begitu luasnya. Tapi hanya 9 persen dari buminya yang bisa dihuni manusia. Sisanya gurun pasir. Dan gunung batu. Sangat panas di bulan Agustus. Sangat dingin di bulan Januari.
Xinjiang-lama juga tidak pernah menyatu dalam satu pemerintahan. Banyak penguasanya. Setiap suku punya daerah kekuasaannya sendiri. Saling perang pula. Setidaknya ada 9 suku yang saling berebut kuasa. Yang terbesar adalah suku Uyghur.
Banyak di antara tokoh masa lalunya yang sebenarnya idealis. Menginginkan agar Turkistan bersatu. Menjadi satu negara Islam yang rukun. Tapi tidak pernah kesampaian.
Begitu banyak kekuatan asing yang ikut bermain. Pun di zaman baheula: Rusia, India, Pakistan, Afganistan, Mongolia sampai ke Inggris.
Begitu sulitnya kelompok-kelompok Islam di sana bersatu. Kekuasaan telah mengalahkan ukhuwah Islamiyah. Pun zaman sekarang. Di mana pun.
Sampai-sampai pernah ada ide unik di Xinjiang. Sebuah ide yang sebenarnya ‘out of the box’. Para pimpinan Islam di sana membuat usul: bagaimana kalau semua suku Islam di sana mengalah. Menyerahkan jabatan kepala negara kepada orang luar. Sekalian agar bisa merukunkan mereka. Agar tidak ada lagi yang rebutan kekuasaan.
Kebetulan sekali. Waktu itu, awal tahun 1900-an, seluruh dunia Islam lagi gempar. Membicarakan adanya orang Inggris yang masuk Islam. Orang kulit putih. Kaya raya. Pedagang besar. ‘Raja’ bisnis kulit di Inggris.
Namanya: Beltram Sheldrake. Semangat keislamannya luar biasa pula.
Orang inilah yang membangun masjid di Inggris. Sekaligus. Di beberapa lokasi. Secara bertahap. Juga mendirikan masjid di Perancis. Di Belanda. Di Jerman.
Namanya menjadi pahlawan di dunia Islam. Mulai dari dunia Arab, Afrika Utara, Persia, India sampai ke Asia Tenggara. Ia diundang ke mana-mana. Untuk memberikan ceramahnya.
Para pemimpin Islam di Turkistan (Xinjiang) juga membicarakannya. Lalu muncullah ide out of the box itu: Sheldrake saja yang sebaiknya menjadi raja Islam di Xinjiang.
Maka diutuslah delegasi ke Inggris. Membawa banyak oleh-oleh khas Xinjiang.
Delegasi itu melamar Sheldrake. Untuk menjadi raja mereka. Ceritanya panjang sekali. Pun banyak versinya. Singkatnya: Sheldrake bersedia.
Kebetulan ia akan melakukan perjalanan ke Asia Tenggara. Ke tanah Melayu. Lalu ke Jepang. Ia berjanji akan ke Beijing. Untuk membicarakan lebih detail tentang rencana itu.
Waktu di Beijing lebih banyak tokoh Islam yang bisa hadir. Mereka sepakat mengangkat Sheldrake menjadi raja Xinjiang. Dengan gelar Raja Khalid Sheldrake.
Berita itu mulai menyebar ke Xinjiang. Meluas. Dengan pro dan kontranya. Menghebohkan para penguasa lokal di sana. Ada yang setuju. Ada yang tidak. Ada yang mengancam. Ada yang akan membunuhnya.
Istri Sheldrake sudah terlanjur menyusul ke Beijing. Dengan gelar Queen Ghazi.
Maka Raja dan Ratu baru ini berangkat ke Xinjiang. Naik onta. Berduyun-duyun. Melewati gurun yang mahaluas.
Di Xinjiang sendiri situasi kian panas. Pro-kontra tidak terkendali.
Akhirnya Raja Sheldrake tidak jadi meneruskan perjalanan itu. Tidak sampai ke Kasghar. Ibukota Xinjiang lama.
Apa pun, Sheldrake sempat menjadi raja Islam di Xinjiang. Dengan nama kerajaannya: Islamistan. Meski hanya untuk beberapa hari. Meski belum sampai menduduki tahtanya. Bahkan belum sampai ke sana.
Tahun 1944 Raja Khalid Sheldrake dan Queen Ghazi balik ke Inggris. Kembali menekuni bisnisnya. Dan tetap menjadi tokoh Islam di seluruh Eropa. (DIS)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post