Penutupan lokalisasi menjadi sosok menyedihkan jika dilihat dari sudut pencegahan HIV/AIDS. Prostitusi terselubung disinyalir kian menjamur. Jumlah penderita HIV/AIDS justru tumbuh subur.
Jarum jam menunjuk ke angka 10 malam itu, dua pekan lalu. Dentuman musik dangdut koplo sayup-sayup dari salah satu cafe di kawasan Kampung Kajang (K2), Sangatta Selatan. Beberapa muda-mudi dan para perempuan berusia di atas 40 tahun asik mengobrol. Sebagian dari mereka dulunya adalah mucikari rumah-rumah bordil di sana.
Namun, suasana malam itu tak seramai dulu. Bedanya, dulu para wanita pekerja seks komersial (PSK) bergeliat melayani pelanggan. Mereka yang dipelihara mucikari itu, menjajakan tubuh dengan terang-terangan. Aktivitas haram itu akhirnya terhenti medio 2014 lalu, Pemkab Kutim mengambil gebrakan besar dengan menutup lokalisasi itu.
Penutupan ini sempat menuai pro-kontra dari berbagai pihak. Namun melalui surat keputusan (SK) Bupati Nomor 462.3/K.92/2013 tentang penghentian dan penutupan seluruh aktivitas lokalisasi, pemerintah mantap mengambil langkah menutup lokalisasi terbesar di tanah Kutim.
Isran Noor yang saat itu menjabat sebagai Bupati beralasan, kebijakan itu adalah upaya pemerintah menekan HIV dan Aids. Kala itu, penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Aquaired Immunodeficiency Syndrome (Aids) sudah mencapai 182 orang.
Penyebaran terbesar di Sangatta Utara 58 orang, Sangatta Selatan 24 orang, dan Bengalon 16 orang.
Salah satu pihak yang menentang penutupan adalah Komisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD) Kutim. Lembaga ini
beralasan penutupan tersebut ditakutkan membuat PSK dengan HIV dan Aids tidak terkontrol. Belum lagi, tidak ada jaminan kupu-kupu malam benar-benar akan pulang kampung.
Apa yang dikhawatirkan selama ini nyatanya terbukti. Berdasarkan data yang dirilis KPAD, terjadi lonjakan drastis jumlah penderita HIV Aids setelah dua tahun lokalisasi ditutup. Pada tahun 2016 jumlah orang dengan HIV dan Aids (ODHA) mencapai 293 orang. Terjadi penambahan 111 orang dari tahun 2014 lalu.
Rinciannya, di Sangatta Utara terjadi penambahan 40 ODHA. Namun Kecamatan Muara Wahau adalah yang paling menonjol, ditemukan 43 ODHA pada 2016, padahal di 2014 lalu hanya sebanyak 5 orang. Artinya ada penambahan 37 orang. Data ini berbanding terbalik dengan cita-cita Pemkab untuk menekan penyebaran virus mematikan tersebut kala itu.
Jika dilihat dari data yang sama, 26 persen ODHA adalah karyawan swasta. Disusul 33 persen dari kalangan PSK. Lalu 23 persen wiraswasta dan 7 persen dari TNI dan Polri. Kemudian 11 persen lagi yakni dari kalangan ibu rumah tangga, pelaut, petani hingga bayi.
Faktor penularan terbesar melalui hubungan seks. Sebanyak 85 persen antara perempuan dan lelaki, 3 persen hubungan sejenis (waria), 5 persen karena jarum suntik narkoba, dan 4 persen prenatal.
Sekretaris KPAD Kutim Harmadji Partodarsono mengakui ada peningkatan penderita ODHA. Bahkan di 2016 saja teridentifikasi sebanyak 59 orang. Sebagian besar di antara mereka adalah kaum wanita. Perbandiganya yakni 60 dan 40 persen antara perempuan dan laki-laki.
“Sebanyak 75 persen di antara mereka sudah menikah. Kalau dari stadium, 180 orang mengidap HIV, 67 orang Aids, dan meninggal 45 orang terangnya,” bebernya ditemui Sangatta Post belum lama ini di Kantor KPAD.
Menurutnya dukungan anggaran untuk penanggulangan HIV juga masih sangat minim. Banyaknya kasus HIV dan Aids tidak berbanding lurus dengan jumlah anggaran untuk penanganan. Dukungan yang bisa diharapkan hanya dari pihak swasta. Seperti perusahaan pertambangan dan perkebunan.
“KPAD ini bisa dibilang lembaga yang sayup-sayuplah bagi pemerintah. Kami pernah diberikan Rp 1 miliar. Saat itu pemerintah mungkin lagi baik hati. Tapi kami juga pernah hanya diberikan Rp 100 juta,” ujarnya.
Hal ini membuat Harmadji merasa pesimis dengan kebijakan pemerintah yang massif melakukan penutupan lokalisasi. Pasalnya, langkah tersebut dinilai belum mampu menekan angka HIV dan Aids. Apalagi sekarang justru jumlah mereka meningkat drastis.
“Apa yang saya bicarakan bukan sekadar bicara kosong. Tapi didukung data. Contohnya dapat dilihat di wilayah Muara Wahau dan Sangatta Utara,” tuturnya.
Dia mencurigai banyak PSK eks K2 yang dikabarkan telah dipulangkan, malah sekarang berkeliaran bebas. Khususnya di daerah pelosok Kutim. Serta di rumah-rumah penginapan yang diam-diam menyediakan jasa mereka.
“Ketika lokalisasi ditutup, maka tidak ada lagi pengobatan yang terkontrol. Kami juga sekarang enggak tahu, apakah para PSK Kampung Kajang dulu sudah benar-benar pulang, atau justru masih berkeliaran di Kutim,” ujarnya.
Di balik penutupan lokalisasi, Harmadji menyayangkan karena belum ada pendampingan lanjutan. Akibat dari itu, menjamurnya prostitusi terselubung di daerah pelosok. Seperti di daerah perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, banyak di antara ODHA adalah pekerja perkebunan.
“Lokalisasi boleh saja ditutup. Tapi prostitusi tidak akan pernah bisa dihentikan. Jika memang ada pilihan, sebaiknya harus ada wadah yang terpusat menampung para PSK. Supaya tidak berkeliaran sembarangan,” tutupnya. (drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post