bontangpost.id – Mengutip rilis Bank Indonesia, volume produksi batu bara Kaltim pada triwulan IV 2022 tercatat pada angka 76,7 juta ton, atau mengalami pertumbuhan sebesar 11,35 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibanding Triwulan III 2022 yang tumbuh sebesar 10,35 persen. Perusahaan kategori IUP mengalami pertumbuhan produksi sebesar 86,51 persen. Sedangkan PKP2B terkontraksi di angka 33,23 persen.
Dari angka tersebut, sektor pertambangan menyumbang 83,70 persen dari seluruh ekspor Kaltim. Nilai ekspor bahan bakar mineral Kaltim pada 2022 mencapai USD 27,66 miliar atau Rp 387 triliun.
Menengok data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, sampai November 2021 lalu, total produksi batu bara di Kaltim mencapai 294.252.801,68 ton per tahun. Sumbangsih terbesar dari pemegang izin usaha pertambangan (IUP) sebanyak 220.293.507,22 ton dan perusahaan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) sebanyak 73.959.294,46 ton.
Nahasnya, jumlah produksi itu disebut-sebut masih dibayangi oleh produksi yang berasal dari pertambangan ilegal. Yang dalam lima tahun terakhir masih marak terjadi di Kaltim. Terutama yang berasal dari Kutai Kartanegara dan Samarinda.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Mareta Sari menyebut, sedikitnya dari pantauan dan laporan yang masuk, ada 160 titik aktivitas tambang ilegal di Kaltim. Di mana ada 11 lokasi tambang ilegal yang menjadi objek laporan Jatam bersama warga setempat sejak 2018 lalu ke kepolisian. Di mana delapan kasus belum mendapat kejelasan tindak lanjut.
“Seperti Kaltim pada masa pemberian izin penguasaan hutan, kemudian muncul aktivitas illegal logging. Kondisi yang sama terjadi ketika pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tambang. Muncullah aktivitas tambang ilegal ini,” ungkap Mareta, Sabtu (27/5).
Sulitnya memberantas tambang ilegal, kata dia, merupakan efek dari tidak hadirnya negara dalam proses pengawasan. Sampai pada ketegasan penindakan hukum kepada pelakunya. Sehingga muncul indikasi, para pelaku hingga aktor intelektual dibalik munculnya tambang ilegal itu merupakan kelompok dan oknum yang berada di pemerintahan hingga aparat penegak hukum itu sendiri.
Persoalan kewenangan, dari yang sebelumnya dipegang pemerintah daerah kemudian kini dipegang pemerintah pusat, lanjut Mareta, tidak serta-merta mengubah wajah pertambangan Kaltim yang karut-marut. Karena siapa pun pemimpinnya atau pengendali kebijakan tersebut, selama memiliki ketergantungan pada aktivitas industri ekstraktif itu, maka Kaltim tetap akan dihantui kerusakan akibat aktivitas pertambangan.
“Itu berkaitan dengan bentang politik. Siapa yang mendapatkan keuntungan dari pertambangan batu bara ini? Tentu mereka pengusaha yang menjadi penguasa atau penguasa yang menjadi pengusaha. Atau penguasa yang bergantung pada pengusaha untuk bisa menjadi pemimpin. Belum lagi kroni-kroni mereka. Kami sangat meyakini uang dari pertambangan batu bara ini masuk sebagai modal dalam berpolitik. Itu yang disebut oligarki,” jelasnya. “Itu akan sangat tampak menjelang tahun politik,” lanjutnya.
Apalagi keputusan menentukan jumlah produksi batu bara tidak didominasi oleh keperluan dalam negeri saja. Melainkan pasar dunia. Sehingga rakyat di daerah seperti Kaltim tidak bisa berbuat banyak ketika pengusaha bersama pemerintah sepakat untuk meningkatkan produksi yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Belum lagi munculnya lubang-lubang tambang baru dari aktivitas ilegal.
“Lihat saja di Samarinda. Begitu harga batu bara melambung tinggi, muncul banyak titik-titik tambang baru. Belum lagi di Samarinda itu 71 persen luas wilayahnya merupakan konsesi yang diperuntukkan untuk pertambangan. Berarti ada sistem politik dan sistem ekonomi,” tuturnya.
Meski dalam perkembangannya, jumlah perusahaan pemegang IUP di Kaltim semakin sedikit, berdampak pada berkurangnya potensi bukaan tambang baru, namun Mareta tidak serta-merta gembira.
Menurutnya, sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), ada sebuah indikasi skema dari pemerintah pusat untuk lebih mengendalikan kegiatan pertambangan batu bara di Indonesia termasuk Kaltim.
“Saya justru lebih khawatir. Kenapa? Karena oke, jumlah IUP dan PKP2B berkurang. Artinya titik tambang akan berkurang. Tetapi daerah tidak punya kontrol atas dampak yang ditimbulkan aktivitas pertambangan,” bebernya.
Belum lagi bila dampak buruknya langsung dirasakan masyarakat. Dia menduga alasan pusat mengambil kewenangan tersebut, sebagai sumber pembiayaan pelaksanaan pesta elektoral pada 2024 mendatang khususnya melalui PKP2B atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) di Kaltim yang saat ini jumlahnya sekitar 30 perusahaan.
Diketahui, menurut data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, jumlah IUP di Kaltim yang terdata hingga 14 Maret 2019 sebanyak 1.404 izin. Jumlah itu merupakan hasil rekonsiliasi data antara Dinas ESDM dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari jumlah tersebut, sebanyak 386 IUP berstatus clean and clear (C&C) operasi produksi (OP). Namun, hanya 50 persen yang menghasilkan batu bara. Atau sekitar 160 IUP yang berproduksi. Sementara untuk PKP2B ada 30, walaupun belakangan ternyata diketahui PKP2B yang aktif hanya 17.
Di mana dari luas 12,734 juta hektare daratan Kaltim hampir separuh atau 5,2 juta hektare di-kaveling untuk kepentingan pertambangan. Pada 2021 lalu, berdasarkan data Kementerian ESDM, sumber daya batu bara di Kaltim merupakan yang tertinggi secara nasional dengan kontribusi mencapai 40,10 persen terhadap total sumber daya batu bara sebesar 92 miliar ton.
Sementara itu, cadangan batu bara di Kaltim juga menjadi yang tertinggi dengan kontribusi mencapai 42,40 persen terhadap total cadangan batu bara nasional sebesar 25,8 miliar ton. (rom)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: