SANGATTA – Langkah Kutim menuju Kabupaten Layak Anak (KLA) masih cukup berat. Pasalnya seluruh desa wajib menjadi daerah ramah anak. Selain itu belum ada ruang bagi anak untuk menyuarakan aspirasi.
Kepala Dinas Pemberdaan Perempuan dan Anak (DPPA) Kutim Aisyah, menjelaskan KLA dapat dinilai melalu 31 indikator.
“Untuk membangun Kutim menjadi KLA, kita harus menyiapkan berkas mengenai pemenuhan indikator. Walaupun belum semuanya dapat kita penuhi. Tapi ada beberapa yang sudah dilaksanakan,” jelasnya ditemui di ruang kerjanya, Selasa (13/2).
Mencapai KLA memang tidak mudah. Pasalnya semua desa harus menjadi desa ramah anak. Lalu merambah kecamatan ramah anak. Setelah itu memenuhi fasilitas dan kebutuhan anak di seluruh kabupaten. Tujuannya seluruh anak harus makmur. Hal tersebut menjadi syarat utama Kutim menjadi KLA.
“Semua upaya sudah kita lakukan. Kita berharap semua desa dan kecamatan bisa bekerja sama. Karena jika desa dan kecamatan sudah masuk kategori ramah anak. Kami mudah melangkah maju,” papar mantan Kepala Dinas Kesehatan Kutim tersebut.
Ia mengimbau kepada kepala desa dan camat di Kutim, untuk membentuk forum anak. Sehingga forum tersebut dapat menjadi penyalur aspirasi anak. Dirinya menekankan aspirasi anak dapat disalurkan ketika musrembangdes.
“Jika kita ingin melihat makmur tidaknya anak-anak sangat mudah. Salah satunya adanya forum anak yang menghadiri musrembangdes. Dari musyawarah tersebut anak memiliki hak menyuarakan pembangunan. Itu harus,” ucapnya.
Yuliana, Kasi Hak Sipil, Informasi dan Partisipasi BPPA Kutim mengaku mereka tidak tinggal diam. Kegiatan sosialisasi dilaksanakan di18 kecamatan se-Kutim. Mendayagunakan TP PKK sebagai wadah menjalankan program pemberdayaan anak. Seperti Bina Keluarga Remaja (BKR), merupakan program unggulan untuk menggerakan orang tua yang memiliki remaja.
“BKR kita bangun bersama PKK. Hal tersebut memudahkan kami bekerjasama dengan orang tua yang memiliki remaja. Sehingga kita mudah memantau dan mengarahkan anak supaya tidak berbuat salah,” ungkapnya.
Beberapa kendala kerap ia alami. Minimnya anggaran menghambat pembangunan infrastruktur pemenuhan kebutuhan anak. Seperti belum dibangunnya pojok ASI di tempat umum, puskesmas yang ramah anak namun belum di SK, minimnya sanggar seni, kurangnya taman bermain, dan lain sebagainya.
“Jika ada anggaran kita mudah bekerja. Namun dengan minimnya yang ada, kami tetap bekerja. Kami lakukan apa yang bisa tanpa menggunakan anggaran,” ucapnya.
Dirinya berharap KLA dapat dicapai secepatnya. Agar dapat menurunkan angka kriminalitas pada anak. Dan Kutim semakin layak untuk melayani hak hidup anak, dengan bantuan seluruh pihak. Baik lintas sektor dari semua aparatur sipil negara atau dari CSR perusahaan,” tutup Yuli (*/la).
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: