Alih-alih mendapat uang ratusan juta rupiah dengan mengikuti arisan online, mereka malah menjadi korban penipuan. Kerugian puluhan hingga ratusan juta harus ditanggung peserta, sementara pelaku kabur entah ke mana.
Ini dialami Ana Maria, 43, warga Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari. Dia menjadi salah satu korban TR, buron kasus arisan fiktif yang saat ini sudah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Polresta Surakarta. Hubungan Ana dengan pelaku sebenarnya merupakan teman dekat.
“Kenal dengan TR sekitar empat tahun lalu. Jadi sudah sangat dekat. Makanya percaya banget dengan dia. Kemudian dia mengajak saya ikut arisan, tapi sistemnya online, yaitu lewat group WA (Whatsapp). Dia mengaku owner arisan atas nama P. Tapi dia mendirikan arisan juga tanpa sepengetahuan P,” katanya seperti dikutip Radar Solo (Jawa Pos Group), Senin (5/8).
Ana mengatakan, para korban tertarik dengan arisan sistem menurun yang ditawarkan oleh TR. Dalam sistem menurun itu terdapat daftar sesuai jumlah peserta dan berurutan sesuai bulan dimulainya arisan. “Jadi sistem arisannya itu tidak dikocok, tapi kita menentukan arisannya mau diambil bulan apa, tinggal tanggalnya sesuai kesepakatan. Lewatnya transfer via rekening,” katanya.
Kalau memilih bulan-bulan akhir perolehan arisan akan ada keuntungan. Hal itu membuat korban tertarik ikut arisan. Tapi setelah dicek, ternyata nama-nama peserta arisan yang memilih perolehan arisan awal bulan semuanya fiktif.
Perempuan ini mengurai sistem arisan menurun itu di mana peserta ada tujuh orang berada di dalam sebuah grup Whatsapp yang diberi nama sesuai nominal arisan. Arisan dimulai April. Terdapat tujuh daftar berurutan. Pertama senilai Rp 22,5 juta dikocok bulan pertama atau yang menghendaki perolehan dana arisan April.
Urutan selanjutnya, korban yang menghendaki mendapat arisan Mei pembayaran senilai Rp 14,5 juta. Bulan selanjutnya, pembayaran arisan Rp 14 juta hingga bulan terakhir atau Oktober pembayaran peserta arisan hanya Rp 11,5 juta.
Peserta yang memilih keluar April akan memperoleh uang Rp 100 juta. Namun, dia harus membayar Rp 157,5 juta. Sehingga, tidak ada keuntungan apabila memilih pada bulan pertama. Bulan selanjutnya, peserta yang membayar Rp 14,5 juta masih rugi sekitar Rp 1,5 juta. Urutan selanjutanya atau Juni, dia memperoleh keuntungan Rp 2 juta.
“Bulan terakhir keuntungan semakin besar. Peserta hanya membayar Rp 11,5 juta atau apabila ditotal pembayaran keseluruhan Rp 80,5 juta dengan perolehan Rp 100 juta. Keuntungan yang hampir 20 juta itu menjadi daya tarik tersendiri,” ucapnya.
Tapi faktanya setiap ada arisan yang digelar, daftar urutan atas selalu penuh, sedangkan yang kosong yang bawah saja. “Saya menduga nama-nama yang sudah terisi itu fiktif agar kami tertarik. Pelaku juga jual arisan orang lain. Dan itu fiktif juga. Misal dapatnya Rp 50 juta dijual Rp 30 juta,” imbuh Ana.
Ana terjerat karena kepercayaan terhadap TR sebagai teman dekat. Korban sendiri mengalami kerugian Rp 250 juta. Baik itu arisan maupun pembelian arisan. Dia mengaku sudah setahun terakhir ikut arisan tersebut. “Tiba-tiba pas jatah saya orangnya kabur entah ke mana,” paparnya.
Ditambahkan Ana, jumlah korban saat ini terus bertambah. Korban tidak hanya berasal dari Kota Solo, melainkan juga beberapa wilayah di eks Karesidenan Surakarta. Bahkan, terdapat korban dari Kota Semarang. “Kalau dihitung korban sekitar 53 orang dengan kerugian sekitar Rp 5 milar,” paparnya.
Dia mengaku bersama para korban sudah berusaha mencari terduga pelaku, TR. Baik di rumahnya dan dua kosnya. Namun, hingga saat ini tidak ada iktikad baik dari TR untuk memberi kejelasan terkait uang para korban yang merupakan rekan-rekan usahanya. Hingga akhirnya, dia beserta empat orang korban lainnya melaporkan kasus itu ke Mapolresta Surakarta.
Korban lain, Dian Maya, 23, warga Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, mengaku mengalami kerugian hingga Rp 30 juta. Semula, dia mengikuti kelompok arisan melalui grup Whatsapp senilai Rp 10 juta dan berjalan lancar. Lantas, dia ikut beberapa grup arisan lagi. Hingga akhirnya, penyelenggara arisan yang dia kenal setahun terakhir menghilang.
Dia mengenal pelaku TR dari kegiatan yang kerap mendapat job bernyanyi sekitar setahun lalu. Dari perkenalan itulah, mereka makin akrab dan akhirnya dia mengikuti arisan dengan sistem kocokan bersama komunitas mereka.
“Awal kenal setahun lalu. Terus ikutan arisan kocokan itu. Semula tidak ada masalah, semuanya beres. Lalu dia sering menawarkan lewat Whatsapp arisan dengan sistem menurun atau beli arisan. Bisa mendapatkan Rp10 jutaan hanya dengan bayar arisan Rp 7,5 juta. Lha siapa yang tidak tergiur,” ungkapnya.
Hal ini juga dialami WL, 24. Warga Kecamatan Laweyan, Solo mengaku, saat ini kerugian yang dia alami mencapai Rp 70 juta. Ini merupakan biaya pembayaran arisan Juni, Juli, dan Agustus. Tanggal pencairan uang berbeda-beda sesuai kesepakatan.
Dia mengaku, saat pertama dibuka arisan berjalan tertib dan tepat waktu pembayaran. Namun, lama-lama pemenang arisan harus menagih uangnya hingga akhirnya teradu menghilang. “Setelah memperoleh uang arisan, saya ditawari lagi untuk pembelian arisan dengan modus arisan milik seseorang senilai Rp 50 juta hanya diminta membayar Rp 35 juta. Setelah waktunya cair, saya tagih malah nomor saya diblok sama dia,” ujarnya.
Tidak hanya kasus TR, Polresta Surakarta juga mendapat laporan modus arisan online lainnya. Salah satu korban yang sudah melapor adalah Dini Indriai, warga Desa Madegondo, Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Orang yang dilaporkan adalah RW alias NN, warga Laweyan, Solo. Dari hasil arisan online abal-abal, perempuan ini menderita kerugian sebesar Rp. 26 juta.
Pelapor sendiri sudah menjadi korban sejak setahun terakhir. Awalnya dia mengenal pelaku karena ada hubungan bisnis pakaian melalui medsos. Karena sering transaksi, RW kemudian mengajak Dini ikut arisan dalam kelompoknya.
Dia mengaku semula arisan yang digelar RW berjalan melalui pertemuan dua pekan sekali. Namun, kebiasaan itu berubah menjadi arisan grup Whatsapp dan sistem pembayaran melalui transfer. “Satu grup WA pesertanya ada sekitar 14 orang. Tapi kalau jumlah grupnya berapa saya tidak tahu,” ujarnya.
Dini mengaku ikut dua kelompok arisan. Setiap dua pekan peserta harus membayar Rp 1 juta sebagai biaya arisan. Namun dia merasa tertipu oleh penyelenggara arisan. Seharusnya peserta arisan dapat Rp 26 juta, tapi hanya cair Rp 25 juta. Alasannya yang Rp1juta sebagai biaya administrasi. Padahal, tidak ada kesepakatan di awal.
Dini mengatakan, kuota arisan pertama telah dibayarkan Rp 25 juta. Namun, slot keduanya hanya dibayarkan Rp 3,3 juta. Penyelenggara tidak membayar perolehan arisan secara utuh dengan alasan Dini harus meminta kepada peserta yang lain.
“Saya tidak mau menerima uang karena tidak utuh, kemudian Rp3,3 juta langsung saya kembalikan. Dia telah menerima Rp 1 juta dari potongan yang dibuat sepihak oleh pelaku. Seharusnya sebagai penyelenggara profesional. Kan dia sudah memotong Rp 1 juta setiap perolehan arisan setiap dua pekan sekali,” imbuhnya. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post