Oleh: Mubin
Wartawan Metro Samarinda
Meski Long Bagun adalah ibu kota Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), tapi jangan bayangkan layaknya Kota Tenggarong, Sangatta, apalagi seperti Samarinda dan Balikpapan. Butuh bertahun-tahun bagi daerah yang berbatasan dengan Malaysia itu untuk sejajar dengan kota-kota yang sudah terlebih dulu terbentuk di Benua Etam.
Bila melihat jalan raya, tak seperti infrastruktur jalan protokol di ibu kota Kaltim yang sudah beraspal atau disemenisasi. Jalan ibu kota tentu saja mulus karena sering dipantau dan diperbaiki pemerintah. Sedikit saja ada yang lecet, saban hari dapat kritikan dari warganet di media sosial.
Mahulu baru saja terbentuk lima tahun yang lalu (2012). Tak heran, pembangunannya masih jauh dari kata sempurna. Sebagai daerah otonomi baru, secara geografis sangat luas dan memiliki beragam potensi sumber daya alam. Tapi Mahulu masih belum banyak dilirik investor dalam negeri dan luar negari.
Dari Samarinda, jika ingin ke Long Bagun, setidaknya kita memerlukan waktu sedikitnya 15 jam. Naik bus dari Samarinda menuju Kutai Barat, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan menyusuri sungai yang jauhnya puluhan kilometer.
Listrik juga tidak kalah sulit. Setiap hari masyarakat di Long Bagun hanya menikmati listrik dari pukul 18.00 Wita sampai pukul 24.00 Wita. Artinya hanya enam jam penduduk setempat merasakan terangnya malam. Selebihnya gelap. Sunyi bak daerah tak bertuan.
Saban pagi hingga sore hari, kala anak-anak, rejama, muda, tua, pedagang, pendidik sedang menjalani aktivitas, listrik dipadamkan. Beberapa di antara mereka masih menggunakan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan listrik. Pemerintah tentu saja punya banyak akses untuk menjangkau listrik, karena punya anggaran dan mesin genset yang medamai.
Bila masyarakat ingin memakai genset, harus merogok kocek pribadi. Solar yang digunakan perliter harganya Rp 20 ribu. Berbeda jauh dengan harga solar yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 6.450. Tentu saja, jika ingin memakai genset, masyarakat harus berpikir ulang. Selain karena harganya selangit, tiap tahun pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) kerapkali hilang di pasaran.
Begitu juga dengan transportasi. Hanya ada dua pilihan, jalan darat atau menyusuri sungai yang jauhnya puluhan kilometer. Karena keterbatasan transportasi, tentu saja butuh biaya yang tak sedikit untuk menjangkau Long Bagun. Bila dari Kota Tepian, setidaknya butuh biaya Rp 1 juta untuk sampai di daerah hasil pemekaran dengan Kubar itu.
Keterbatasan jangkauan informasi, transportasi, dan listrik ini berimbas pada biaya hidup di Long Bagun. Sebagai guru yang sudah malang melintang selama delapan tahun di SMA Negeri 1 Long Bagun, Donny harus mengeluarkan biaya Rp 1,5 juta untuk membayar kontrakan.
Bila di daerah perkotaan atau kabupaten di Jawa, Nusa Tenggara Barat, atau Sulawesi Selatan anda mendapatkan gaji sebagai pengajar Rp 2,5 juta, itu sudah lebih dari cukup menutupi kebutuhan hidup bulanan. Tetapi tidak dengan biaya hidup di Long Bagun. Gaji yang didapatkan Donny sebesar itu hanya cukup untuk bayar kontrakan tiap bulan, listrik, dan operasional pribadi.
Lalu bagaimana dengan kedua anaknya? Istrinya? Donny harus memutar otak dan bekerja keras untuk menutupi hidup keluarganya. Jika pulang dari sekolah pukul 14.15 Wita, lulusan Unima Tondano Sulawesi Utara itu kadang menghabiskan waktu mencari ikan, berladang, dan membantu warga panen padi di sawah.
“Dari pekerjaan membantu warga ini, saya dapat upah,” kata Donny. Dari situ pula kebutuhan hidup bersama keluarga kecilnya dapat terpenuhi. Supaya dapur bisa tetap mengepul, hidup tak dirundung hutang atau meminta-minta belasan kasihan tetangga atau keluarga.
Sebenarnya kepala sekolah sudah memberikan insentif untuk Donny dan 11 orang guru honorer lainnya. Tapi pencairannya setiap enam bulan sekali. Insentif mereka masih bergantung pada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan daerah. Nilainya juga tak seberapa, kurang dari Rp 400 ribu perbulan.
Sebelum kewenangan pengajian guru honorer SMA Negeri dari kabupaten/kota ke provinsi 2017 lalu, Donny masih mendapat gaji Rp 3,8 juta. Tentu saja gaji yang melampaui Upah Minimun Provinsi (UMP) itu dapat menutupi seluruh beban ekonominya bersama keluarga.
Semenjak kebijakan itu bergulir, Donny dan guru honorer lainnya harus merasakan lambannya proses pencairan. Teranyar, pada Januari hingga Maret, ia belum mendapatkan gaji dari pemerintah provinsi.
“Terpaksa saya berhutang,” ujarnya dengan lirih. Karena kian hari hutang semakin menggunung, ia bersama teman-temannya gelisah. Beberapa hari yang lalu, puluhan guru mengetuk pintu nurani wakil rakyat di Karang Paci, agar berkenan mendorong Dinas Pendidikan Kaltim segera mencairkan anggaran untuk guru honorer SMA Negeri di Mahulu.
Tentu saja pemerintah daerah terlihat tanggap karena mendapat dorongan dari Komisi IV DPRD Kaltim. Terakhir Donny dan kawan-kawan dijanjikan bahwa gaji mereka akan segera dicairkan.
Donny adalah tipe seorang guru yang keras terhadap prinsip. Dia pernah ditegur guru-guru honorer SMA Negeri 1 Long Bagun, agar tak banyak menuntut pemerintah. “Toh juga nanti akan dicairkan pemerintah,” begitu temannya menasehati Donny. Tapi tidak demikian dengan dirinya, tak bisa diam, tak ingin haknya sebagai guru tertunda berbulan-bulan.
Lalu bagaimana proses belajar bahasa Jepang di sekolah tersebut? Donny pernah kewalahan mengajar muridnya bahasa Negeri Sakura itu. Tetapi apa boleh buat, sebagai guru, ia harus memiliki kesabaran ekstra untuk mencerdasarkan generasi bangsa.
Setiap kali mengajar bahasa Jepang, Donny menggunakan metode langsung (direct method). Di kelas, suami Lidia itu kadang membawa gambar atau menyediakan audio untuk memperagakan secara langsung setiap obyek yang ingin diajarkan pada murid.
“Kalau tidak di kelas, saya ajak anak-anak belajar di alam terbuka. Misalnya ada sesuatu yang baru dilihat, saya tanyakan apa bahasa Jepang dari obyek itu pada murid. Jadi mereka bisa menyebutkannya secara langsung,” katanya.
Meski sudah menggunakan direct method, tak mudah mengarahkan murid-muridnya mengusai bahasa Jepang. Walau sudah bekerja keras saban hari, tetap saja banyak murid yang tak senang dengan bahasa tersebut. Ada pelajar yang bahkan dengan enteng menyebut bahasa Jepang tak bisa digunakan di kampung.
“Lucunya lagi ada murid yang bilang malu jika menggunakan bahasa Jepang. Takut nanti dimarahi orang tuanya. Dianggap tak cinta bahasa daerah,” ungkapnya. Tapi di antara ratusan murid itu, tak semuanya yang berpikir demikian, ada saja satu atau dua orang yang cinta bahasa Jepang.
“Ada satu murid saya yang senang bahasa Jepang. Dia diminta ayahnya belajar bahasa asing. Dia ikut les dengan saya. Bahkan saya pernah diminta agar anaknya diuruskan pendaftaran kuliah di Jepang,” ucap Donny. (****)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: