Oleh: Muhammad Zulfikar Akbar (Redaktur Pelaksana Bontang Post)
UNDANG-undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) resmi berlaku Rabu (14/3). Meski akhirnya tak ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, produk hukum yang telah disahkan di paripurna parlemen ini tetap berlaku. Dengan demikian, sejumlah pasal kontroversial pun sudah diberlakukan. Seperti pasal anti kritik yang dapat membuat seseorang dipidana atau diproses hukum karena mengkritik DPR.
Setidaknya, ada lima poin pasal yang dianggap kontroversial, yang dikutip Ahmad Hanafi dari Indonesia Parliamentary Center (IPC). Pertama, terkait pengaturan rapat tertutup secara tidak ketat yang berpotensi menimbulkan mafia anggaran. Kedua, terkait kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam memberikan persetujuan tertulis bagi anggota yang dipanggil dan dimintai keterangan oleh pengadilan.
Ketiga, mengenai penghapusan alat kelengkapan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). Keempat, terkait penambahan hak anggota dewan untuk mengusulkan program daerah pemilihan tanpa diikuti mekanisme yang jelas. Terakhir, yakni pasal MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Hampir seluruh masyarakat Indonesia bersepakat, jika UU MD3 ini tidak segera direvisi, maka terjadi kemunduran demokrasi yang nyata di Indonesia.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun turut bergerak, salah satunya melalui petisi daring di change.org. Dalam petisi yang mengatasnamakan Masyarakat Sipil untuk UU MD3 yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, Yappika, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Fitra, mereka mengajak 300 ribu orang untuk bersama menandatangani petisi tersebut. Sejak dimulai sekira empat minggu lalu, petisi tersebut kini telah menembus angka 200 ribu orang. Angka tersebut diprediksi terus bertambah, seiring banyaknya yang mendukung petisi UU MD3 tersebut. (Link petisi tersebut ada di https://www.change.org/p/tolak-revisi-uu-md3-dpr-ri-tidak-boleh-mempidanakan-kritik)
Kehadiran UU MD3 yang baru ini membuat ruang ekspresi masyarakat terhadap DPR semakin berkurang. Jika kritik yang disampaikan oleh masyarakat dinilai merendahkan marwah DPR, maka mereka dapat dipidana. Bentuk kritik itu pun bermacam-macam, entah cuitan di media sosial, dikutip di media massa, ataupun meme yang kini nge-hits.
Padahal, sejatinya kekuasaan itu masih berada di tangan rakyat. Karena rakyat lah yang memilih para wakil-wakilnya yang kini duduk di kursi parlemen. Jika para wakil rakyat itu sekarang membatasi ruang demokrasi dan ekspresi rakyatnya, bukankah itu menjadi sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia? Bahkan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo pun menganggap UU MD3 ini mengancam kebebasan pers (Detik.com,15 Februari 2018).
Dalam pernyataannya itu, Yosep mempertanyakan proses pembuatan UU MD3 soal pemahaman tim penyusun terkait kebebasan pers. Menurutnya, karena pers sudah ada UU yang mengaturnya yakni UU Pers 40/1999, maka tidak boleh ada UU baru yang posisinya setara tapi isinya bertentangan. Meskipun pada akhirnya Yosep meminta insan pers untuk tak khawatir terhadap pemberlakuan UU MD3 ini, selama media tempat wartawan bekerja sudah terdaftar di Dewan Pers. (Kompas.com, 10 Maret 2018).
Kecemasan masyarakat terhadap kehadiran UU MD3 ini dinilai wajar. Sebab, sudah hampir 20 tahun lamanya Indonesia menikmati kebebasan berekspresi sejak masa orde baru berakhir. Ibarat burung yang telah bebas dari sangkar, kini terancam masuk kembali dalam sangkar yang bahkan berisi singa di dalamnya. Meski begitu, nasi sudah menjadi bubur. UU MD3 kini telah berlaku. Tinggal bagaimana perjuangan sejumlah elemen masyarakat yang akan menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Namun sembari menunggu perjuangan itu menanti hasil, untuk saat ini, mari bijak dalam mengkritik para wakil rakyat di parlemen.
MOMEN PERUBAHAN
Meski kehadiran UU MD3 ditentang, namun kita sebagai rakyat Indonesia mesti memandangnya sebagai suatu hal yang positif. Mengapa? Kehadiran UU MD3 ini setidaknya menghasilkan beberapa hal. Pertama, mengurangi jumlah tulisan bernada kebencian dan hoax tentang DPR. Dalam pelaksanaannya hingga beberapa bulan ke depan, kita dapat menghitung sejauh mana berita-berita hoax maupun tulisan bernada kebencian terkait DPR ini beredar. Apakah berkurang drastis? Ataukah masyarakat justru makin “nekat”?
Saya tidak bilang masyarakat tidak boleh mengkritik lagi. Namun, kita harus lebih pandai dan jeli dalam mengkritik, sekaligus memilih padanan kata yang pas sehingga tidak mudah kena tuntutan pidana. Hal tersebut berhubungan dengan hal kedua yang saya utarakan, yakni masyarakat akan lebih kreatif dan berbobot dalam mengkritik. Alih-alih kritik pedas tanpa fakta, masyarakat justru akan mencari berbagai data dan fakta di lapangan untuk mengkritik para wakil rakyat. Yakinlah, jika kita bisa mengkritiknya dengan segudang alasan dan fakta yang benar, mereka tidak dapat mengelak.
Yang terakhir, kehadiran UU MD3 ini diharapkan menjadi momen perubahan bagi seluruh rakyat Indonesia, agar berhati-hati dalam memilih wakil rakyat yang akan melenggang ke kursi parlemen. Terlebih, 2019 mendatang merupakan tahun politik, dan mereka yang berminat menjadi anggota DPR sudah mulai berancang-ancang di tahun ini. Semoga kita semua diberikan kebijakan dan kekuatan dalam menghadapi tahun-tahun yang keras ini. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: