Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengimbau seluruh kontraktor bangunan untuk menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) konstruksi gedung. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi rusaknya gedung akibat gempa bumi, mengingat sebaran titik gempa meluas.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR Danis Sumadilaga mengatakan, saat ini, ada 295 titik rawan gempa yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka ini meningkat cukup kentara ketimbang 2010 silam, dimana titik rawan gempa hanya 81 titik. Adapun, peningkatan titik rawan gempa itu akibat meningkatnya sesar aktif di Indonesia.
Bahkan, kini pantai utara Pulau Jawa sangat rentan terhadap gempa dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Risikonya memang lebih banyak di darat karena banyak bangunan di atasnya. Makanya, untuk menghadapi gempa ini, tentu ada peraturan SNI yang berkaitan dengan gedung hingga struktur jembatan,” ujarnya, Jumat (26/1).
Lebih lanjut ia menjelaskan, SNI yang dimaksud terdiri dari SNI 1726 2012 mengenai tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung.
Tidak hanya itu, kontraktor juga perlu memenuhi SNI, seperti beban minimum untuk perencanaan bangunan gedung dan SNI terkait persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung.
Menurut Danis, penerapan SNI menjadi penting seiring dengan frekuensi gempa yang terjadi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di 2017 lalu, Kementerian PUPR mencatat ada 8.693 gempa, dimana 208 gempa di antaranya memiliki kekuatan di atas 5 Skala Richter (SR).
“Ini bukan menakut-nakuti, tapi memang saat ini rawan gempa terjadi lebih banyak,” imbuh dia.
Rumah Contoh Tahan Gempa
Sebelumnya, pemerintah telah membangun contoh rumah tahan gempa di Pidie, Aceh. Diharapkan, rumah contoh tersebut juga ditiru di wilayah lain.
Di rumah itu, Kementerian PUPR mengaplikasikan teknologi rumah sistem panel instan yang merupakan komponen dari rumah instan sederhana dengan sistem bangunan bongkar pasang.
Danis menuturkan, jika tak ada rumah percontohan, masyarakat mungkin tak tergerak untuk membangun hunian sesuai standar. Di samping alasan karena mereka tak tahu bagaimana cara melakukannya. Makanya, Balitbang Kementeran PUPR sudah menganggarkan Rp720 miliar di tahun ini demi mesosialisaskan rumah tersebut.
“Mungkin bagi sebagian masyarakat agak mahal, tapi mahal bukan selalu diartikan sebagai kondisi yang tidak baik. Ingat, bahwa Indonesia memang sangat rawan akan gempa, terkceuali mungkin Kalimantan yang agak aman,” ungkap dia.
Selain itu, Kementerian PUPR juga meminta bangunan yang sudah berdiri (existing) untuk mengajukan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Ini akan bermanfaat bagi bangunan dengan jumlah lantai lebih dari delapan.
“Jumlah gedung bertingkat di Jakarta ini kan banyak sekali yang rawan, makanya perlu ada sertifikat laik fungsi. Karena, jangankan bicara gedung tinggi, rumah toko dua lantai saja bisa hancur kok. Memang perlu kesadaran bahwa seluruh bangunan ini memang harus antisipasi dampak gempa bumi,” pungkasnya. (bir/al/cnn)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: