bontangpost.id – Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Diani Sadia Wati menyebut, bentuk pemerintah daerah khusus ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur tidak akan keluar dari konstitusi.
”Walau bentuk pemerintahannya khusus, harus tetap konstitusional. Kita belajar dari hal itu, harus tetap berdasar Undang-Undang Dasar 1945, tapi tetap mengadopsi kebutuhan dalam rangka mewujudkan IKN yang lincah,” ujar Diani seperti dilansir dari Antara, Rabu (29/12).
Dengan model pemerintahan daerah khusus, IKN diharapkan dapat memiliki tata kelola yang lebih baik. Sehingga, dapat menjunjung tinggi hubungan manusia dengan lingkungan hidup. Tidak hanya model pemerintahan, salah satu tantangan lain dalam rencana pemindahan IKN adalah penguatan pertahanan negara. Pemindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan membuat strategi pertahanan dan keamanan yang berbeda diperlukan.
Kementerian PPN/Bappenas telah menyusun sistem pertahanan dan keamanan di mana IKN sebagai center of gravity dan enabler.
”Sebagaimana negara lain, pertahanan dan keamanan adalah syarat keberlangsungan pembangunan di segala bidang. Negara dengan konflik tinggi cenderung sulit menyejahterakan masyarakatnya,” ujar Direktur Pertahanan dan Keamanan Kementerian PPN/Bappenas Bogat Widyatmoko.
Dalam Masterplan IKN, Kementerian PPN/Bappenas sudah mempersiapkan sistem yang mengantisipasi ancaman pertahanan dan gangguan keamanan dengan teknologi tinggi. Baik di udara, laut, darat, dan siber.
Sistem pertahanan itu juga sudah dikaji sehingga tidak melanggar Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). ”Sejalan dengan konsep IKN sebagai smart city, masterplan dirancang dengan muatan teknologi canggih dan local wisdom sehingga bercirikan smart defence dan smart security,” terang Bogat.
Anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) Guspardi Gaus menilai harus ada penanganan yang serius terkait status lahan calon ibu kota negara di Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur. Menurut dia, wilayah IKN direncanakan seluas 256.142,74 hektare meliputi kawasan IKN kurang lebih 56.180 hektare, termasuk kawasan inti pusat pemerintahan dengan luas wilayah yang disesuaikan dengan rencana induk IKN dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional (KSN) IKN.
Karena itu dia menilai, persoalan status tanah harus clear and clean dulu sebelum pembangunan di lokasi ibu kota baru (IKN) dilaksanakan. Berdasar data hasil analisis spasial yang dilakukan Forest Watch Indonesia (FWI), status kawasan di wilayah tersebut juga menunjukkan hampir tidak ada areal yang tidak berizin.
”Wilayah di sekitar Tahura Bukit Soeharto sudah padat dengan izin tambang, perkebunan kelapa sawit, HPH, dan HTI. Ada sekitar 92 izin yang terdiri atas 1 izin HPH, 2 izin HTI, 12 IUP perkebunan, dan 77 IUP pertambangan,” terang Guspardi.
Anggota komisi II DPR itu menilai masifnya izin-izin konsesi di wilayah ibu kota negara (IKN) juga memerlukan penanganan serius. Sebab, akan berimplikasi menimbulkan kemungkinan mekanisme tukar guling yang mungkin akan terjadi untuk lahan-lahan yang sudah berizin.
Dia menilai terkait persoalan tersebut perlu dilakukan penyisiran dan dilakukan pengkajian untuk selanjutnya dibuat kebijakan bagaimana menyelesaikannya agar jangan terjadi polemik dan dinamika yang kurang baik ke depannya.
Guspardi mengatakan, hal lain yang tidak kalah penting dan seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah adalah keberadaan masyarakat adat dan lokal yang sudah lama bermukim di sana. ”Diperkirakan ada sekitar 20 persen lahan masyarakat dengan bukti sertifikat hak milik (SHM) yang harus dibebaskan. Tentu perlu dilakuka n sosialisasi dan pendekatan yang persuasif dengan masyarakat setempat,” tutur Guspardi. Menurut dia, jika ada pembebasan lahan milik masyarakat, seharusnya dilakukan dengan ganti untung. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post