SAMARINDA – Penyelidikan kasus dugaan politik kerap kandas karena minimnya alat bukti yang dimiliki Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Keengganan warga menjadi saksi dalam politik transaksional itu juga menjadi batu sandungan untuk mengungkap perkara tersebut.
Kepada Kaltim Post, Ketua Bawaslu Kaltim Saipul Bahtiar mengakui hal itu. Dia menyebut, dari tujuh perkara dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu yang masuk di meja kerja pihaknya, nyaris tidak ada satu pun yang dapat ditindaklanjuti hingga ke meja pengadilan.
Setiap perkara dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu mesti terlebih dahulu didudukkan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Di lembaga itu terdiri dari Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan. Ketersediaan alat bukti yang memadai menjadi syarat mutlak yang ditekankan di Sentra Gakkumdu.
“Dugaan politik uang ini banyak temuan dari pengawas pemilu. Baik pengawas pemilu desa, kecamatan maupun kabupaten/kota. Beberapa dari kasus itu sudah kami tangani, tapi sampai saat ini, yang inkrah di Kaltim belum ada,” tutur Saipul.
Sebelumnya, pengawas pemilu pernah mendapati adanya indikasi politik uang dengan cara membagi-bagikan bahan sembako kepada warga. Namun saat dibawa ke Sentra Gakkumdu, temuan itu tidak dapat diproses ke tahap selanjutnya dengan pertimbangan tidak memenuhi alat bukti.
“Ada tujuh temuan pelanggaran pidana pemilu yang kami tangani. Sebanyak tiga kasus di antaranya masuk dugaan politik uang. Tapi semua itu tidak ada yang masuk sampai putusan pengadilan. Alat bukti jadi kendala kami,” jelasnya.
Kata dia, seperti temuan pembagian sembako dan tandon, dari sisi teknis lapangan ditemukan adanya unsur dugaan pelanggaran pemilu. Namun dalam proses pembuktiannya sulit dilakukan. Salah satunya karena ketiadaan saksi dalam perkara itu.
Pada Pasal 515, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menyebutkan pelaksana atau pemberi dalam praktik politik uang harus masuk dalam unsur kampanye politik atau bagian dari tim pemenangan calon legislatif (caleg) atau partai politik (parpol) yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Di situ kami sedikit kesulitan menyediakan alat bukti. Perdebatan di Sentra Gakkumdu itu biasanya soal alat-alat bukti pendukung. Ini yang menjadi tantangan dan kendala bagi kami,” ujar dia.
Upaya manipulasi terhadap praktik politik uang di masyarakat terbilang kian hari kian halus. Dari hasil identifikasi atas tingkat kerawanan pemilu, Bawaslu mendapati adanya potensi warga menerima politik uang dalam bentuk-bentuk lain. Misalnya, menerima barang hingga transfer pulsa.
Ada pula beberapa dari caleg menggunakan dalih uang saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan dalam ketentuan UU 7 Tahun 2017, saksi yang diperkenankan hanya saksi yang berasal dari peserta pemilu atau parpol.
Seperti calon anggota DPRD kabupaten/kota, provinsi, dan DPR RI, maka yang berhak menyediakan saksi TPS adalah parpol. Yang diizinkan dari perseorangan hanya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pasangan calon seperti calon presiden dan wakil presiden.
WAJIB NETRAL
Netralitas penyelenggara pemilu menjadi salah satu kunci untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, bersih, dan transparan. Karena itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim Rudiansyah mewanti-wanti kepada penyelenggara pemilu, baik KPU kabupaten/kota, kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK), dan panitia pemungutan suara (PPS) untuk menjaga netralitas.
Rudi, sapaan akrab Rudiansyah, memastikan tidak ada celah bagi oknum penyelenggara pemilu melakukan tindakan-tindakan manipulasi surat suara. Karena pengawasan terkait itu sudah dilakukan secara berlapis dan melibatkan semua pihak terkait.
“Bagaimana mungkin dia (penyelenggara pemilu) bisa menggelembungkan (surat suara)? Karena di setiap tingkatan, kami melibatkan seluruh saksi peserta pemilu dan pengawas TPS, beserta Bawaslu dan jajarannya,” tutur dia.
Dia mengungkapkan, peserta pemilu perlu mewaspadai adanya oknum penyelenggara pemilu di tingkat TPS yang mengklaim bisa menggelembungkan suara. Bisa jadi, itu adalah upaya penipuan. Apalagi hal itu sangat sulit dilakukan, mengingat banyak saksi dan pengawas di TPS. Jika ditemukan kasus itu, maka segera laporkan ke Bawaslu. Karena bisa jadi, oknum penyelenggara pemilu tersebut juga bermain di banyak kaki.
“(Saya kira) itu hanya untung-untungan. Sehingga ada caleg yang mendapatkan suara banyak, seolah-olah dia (oknum penyelenggara pemilu) yang melakukan itu. Padahal itu adalah jerih payah caleg itu sendiri. Jangan terperdaya kalau ada oknum-oknum yang menjanjikan begitu (menggelembungkan suara),” imbuhnya.
Sementara untuk logistik pemilu, saat ini KPU Kaltim sedang menunggu pemenuhan pergantian surat suara yang sebelumnya dilaporkan rusak, termasuk permohonan surat suara daftar pemilih tambahan (DPTb).
“Semua logistik pemilu sudah ada di kabupaten/kota. Sekarang yang dilakukan kabupaten/kota yakni mengatur kebutuhan surat suara per TPS. Karena jumlah per TPS-nya berbeda-beda. Sambil juga mengatur kebutuhan formulir dan sampulnya,” jelasnya. (*/drh/rom/k18/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: