Boris Johnson pantas dicatat dalam sejarah Inggris. Perdana Menteri tersebut sukses mewujudkan ambisi Inggris keluar dari Uni Eropa alias Brexit. Seperti diketahui, jalan panjang harus dilalui Inggris untuk bisa keluar dari Uni Eropa.
Negosiasi Brexit telah melalui jalan panjang. Pembahasan yang dilakukan kerap terjadi tanpa kesepakatan serta penolakan. Perdana Menteri Inggris sebelumnya, Theresa May gagal mendapat persetujuan parlemen Inggris dan Uni Eropa hingga akhirnya dia mengundurkan diri.
Saat Johnson terpilih menjadi PM Inggris pada Juli 2019, dalam pidato kenegaraan pertama di Downing Street 10, Rabu (24/7), pria 55 tahun itu kembali mengingatkan akan misi utamanya yakni Brexit.
“Jangan ungkit lagi backstop. Permainan saling menyalahkan sudah berhenti di sini,” ungkap Johnson menurut Sky News. Sekadar informasi, backstop merupakan perincian perjanjian Brexit Theresa May yang menjamin perbatasan Republik Irlandia dan Negara Bagian Irlandia Utara, Inggris, masih terbuka. Johnson menegaskan bahwa Inggris bakal keluar dari Uni Eropa paling lambat 31 Oktober.
Meski sempat mendapat tentangan, Johnson terus melakukan lobi. Inggris meraih kesepakatan dengan Uni Eropa pada Kamis (17/10). Kesepakatan itu sendiri diumumkan oleh Presiden Komisi Uni Eropa, Jean-Claude Juncker, yang kemudian diikuti oleh Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, lewat cuitan di akun Twitter masing-masing. Sebelumnya, seperti dilansir Reuters, Juncker dan Johnson melakukan pembicaraan lewat telepon.
Dihambat Parlemen
Rencana Johnson sempat berantakan. Meski berhasil mengamankan kesepakatan dengan Uni Eropa, parlemen justru memperlambat laju mereka. Evaluasi di parlemen bisa jadi mengembalikan negosiasi Brexit ke titik awal.
Kabinet Johnson sebenarnya telah memperkenalkan isi Withdrawal Agreement Bill (WAB) alias undang-undang kesepakatan Brexit kepada rekan di Istana Westminster, Senin (21/10). Namun, keinginan tersebut pupus. Ketua Majelis Rendah John Bercow menolak usulan itu. Dia sudah berkata tidak saat kabinet Johnson mengusulkan hal serupa pada sidang Sabtu (19/10).
Pada akhirnya kesepakatan Brexit kembali mundur. Uni Eropa mengumumkan perpanjangan negosiasi Brexit. Senin (28/10), Presiden Komisi Eropa Donald Tusk mengundurkan tenggat Brexit hingga 31 Januari 2020. Di sisi lain, Johnson dan seluruh isi parlemen sedang sibuk membicarakan isu lain yakni pemilu dini.
Partai Konservatif Menang
Dalam pemilu dini yang digelar Kamis (12/12), Johnson bisa tersenyum lebar. Partai Konservatif menang dengan meraih suara mayoritas. Tak pelak, Johnson langsung menegaskan bahwa Inggris akan keluar dari Uni Eropa pada 3 Januari 2020. ”Kita akan Brexit tepat waktu pada 31 Januari, tidak ada kata jika, tapi, dan mungkin,” tegas Johnson.
Partai Konservatif memiliki mandat mutlak untuk merealisasikan perceraian Inggris dari Uni Eropa (UE) secepatnya. Konservatif mendapat 364 kursi dari 326 kursi yang dibutuhkan untuk menjadi pemilih suara mayoritas. Kemenangan Johnson itu didorong keinginan penduduk agar negara mereka tidak tersandera proses Brexit. Proses perceraian dari UE yang terus-menerus mundur membuat masa depan Inggris tak pasti.
Pada akhirnya, Johnson menuntaskan janjinya. Undang-Undang Brexit alias Withdrawal Agreement Bill (WAB) lolos dalam pemungutan suara di parlemen, Jumat (20/12). Artinya, apa pun yang terjadi, pemerintah Inggris bakal mengambil sikap tegas untuk keluar dari Uni Eropa (UE).
Menurut BBC, WAB lolos setelah mendapatkan dukungan dari 358 anggota majelis rendah. Sedangkan suara yang menolak mencapai 243. Persetujuan atas proposal Brexit ala Johnson itu membuat Inggris tak akan melakukan negosiasi perpanjangan waktu dengan UE. Peristiwa tersebut juga menjadi prestasi bagi Johnson. Untuk diketahui, pendahulunya, Theresa May, gagal meloloskan Undang-Undang Brexit. WAB merupakan proposal perceraian dari Uni Eropa ala Johnson yang akan menentukan nasib Inggris di masa depan.
Titah Ratu Elizabeth II
Keinginan Johnson proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa tidak molor didukung titah Ratu Elizabeth II. Dalam pidato di House of Lords, Kamis (19/12), Ratu Elizabeth II mengatakan dalam kalimat pembuka, “Prioritas pemerintahan saya adalah melepas Kerajaan Inggris dari Uni Eropa pada 31 Januari.” Kemenangan Partai Konservatif menjadi pintu bagi Johnson untuk merealisasikan keinginannya keluar secepatnya dari Uni Eropa.
Pemerintah Inggris juga sudah menyiapkan RUU Imigrasi sebagai persiapan perceraian dari UE. Jika RUU itu disahkan, penduduk UE tidak bisa lagi keluar masuk Inggris dengan mudah. Mereka akan diperlakukan sama dengan penduduk negara lain non-UE. RUU itu mengakhiri kebebasan bergerak antarwarga negara UE. Demikian juga, penduduk Inggris tidak bisa lagi leluasa masuk negara-negara UE. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post