Oleh: Muhammad Zulfikar Akbar (Redaktur Bontang Post dan Manager Bontang TV)
Berita mengejutkan datang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Menteri Rudiantara secara resmi menutup dan memblokir layanan pesan instan Telegram di Indonesia. Adanya konten radikalisme dan terorisme yang beredar di Telegram jadi alasan pemblokiran akhirnya dilakukan oleh kementerian.
Dirjen Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, menegaskan pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lebih lanjut, jika Telegram tidak menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan konten-konten yang melanggar hukum dalam aplikasi mereka, maka pemerintah pun menyiapkan proses penutupan aplikasi Telegram secara menyeluruh di Indonesia.
Kabar ini jelas mengejutkan bagi seluruh pengguna ponsel pintar dan media sosial di Indonesia. Betapa tidak, Telegram merupakan aplikasi alternatif selain Whatsapp dan Line yang menawarkan kemudahan dalam mengirimkan pesan instan, baik kepada individu maupun secara berkelompok/grup. Tak hanya Telegram saja, dua aplikasi yang saya sebut, bersama dengan aplikasi-aplikasi serupa lainnya pun cara kerjanya hampir sama.
Langkah pemblokiran yang dilakukan oleh Kemenkominfo ini sebenarnya sangat disayangkan. Sebab, dengan berbagai keunggulan dan kelebihannya, banyak pengguna aplikasi pesan instan lainnya bermigrasi ke Telegram. Seperti keamanan dalam enkripsi pesan, channel dan super group hingga puluhan ribu anggota, hingga stiker seperti Line dan bot.
Alasan banyaknya konten radikal di Telegram sebenarnya belum bisa jadi alasan yang kuat. Sebab tak hanya di Telegram, bahkan di Line dan Whatsapp pun juga banyak yang menyebarkan konten-konten demikian. Bahkan, Menteri Rudiantara pun sempat memberikan statement meminta maaf apabila Facebook dan Google nantinya akan ditutup. Langkah ini (pemblokiran), menurut saya sangat tidak relevan di jaman digital saat ini.
Jika seluruh layanan seperti Telegram, Whatsapp, Line, Facebook, Google, dan semacamnya akan ditutup di Indonesia, maka perkembangan informasi dan teknologi di Indonesia akan terhambat. Sebab, ponsel pintar yang biasanya digunakan untuk mengakses aplikasi tersebut, sudah tidak akan bermanfaat lagi. Pun masyarakat Indonesia tidak bisa lagi mengetahui kabar yang berada di luar negeri secara cepat seperti saat ini. Pemerintah pun juga tidak bisa lagi mencitrakan kegiatannya secara terbuka ke masyarakat via media sosial. Internet di Indonesia perlahan akan useless.
Lalu, bagaimana solusi win-win solution-nya? Sebenarnya Kemenkominfo sudah melakukan langkah bijak dengan Internet Positif yang dicanangkannya. Melakukan filter khusus kepada konten-konten yang bermuatan negatif sebenarnya bisa jadi solusi. Selain itu, masyarakat juga diberikan jalur untuk melapor ke kementerian jika dijumpai konten yang dilarang. Pemerintah pun bisa bekerjasama dengan perusahaan aplikasi tersebut untuk menyaring konten-konten yang dilarang khusus di Indonesia.
Jadi, bukan aplikasinya yang diblokir, tapi konten negatif yang berada di dalamnya. Sebab, aplikasi sendiri ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan efek positif, namun di sisi lain juga memberikan efek negatif. Aplikasi juga tergantung pula kepada pemakainya. Jika digunakan oleh orang-orang yang baik dengan tujuan yang produktif, maka besar manfaatnya kepada penggunanya. Begitu pula sebaliknya.
Maka, kampanye bijak menggunakan gadget dan media sosial menjadi penting, agar apa yang ditakutkan oleh pemerintah dengan menyebarnya konten-konten yang dilarang, menjadi berkurang atau bahkan hilang. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post